.
.
.
Kau dan aku, seolah berada dalam jalur lingkaran.
-x-
Bertepatan dengan Sehun keluar dari rumah untuk mengambil dompet yang tertinggal di dalam mobil, ia melihat laki-laki berparas tinggi itu melintas di depan rumahnya. Sehun menutup pintu mobil dan laki-laki itu menoleh ke arahnya.
"Oh, kau..." Sehun mengingat-ingat sebentar namanya. "Hanbyul. Benar?"
Hanbyul berhenti berjalan dan mengangguk. "Mau pergi?" tanyanya. Matanya menatap heran pada kaca lampu depan sebelah kiri mobil yang pecah dan penyok di bagian pintu pengemudi, tapi ia tidak bertanya apa-apa.
"Tidak. Hanya mengambil sesuatu." Sehun menggoyang-goyangkan dompet di tangannya. "Kau mau ke mana?"
"Nuna belum pulang kerja, tidak ada makan malam," Hanbyul menjawab dengan nada menggerutu—mungkin gerutuan itu ditujukan pada kakaknya. "Aku mau beli kimbab di supermarket."
"Oh." Sehun mengangguk. Ia melirik jam di tangannya, dan tiba-tiba ide itu melintas di kepalanya. Sebelum ia sempat mencernanya, bibirnya sudah berucap, "Aku juga tidak memasak malam ini. Mungkin aku akan memesan pizza saja. Kau mau makan di sini?"
Hanbyul menyambut undangan itu dengan senang hati.
Mereka duduk di ruang tamu Sehun setengah jam kemudian dengan pizza yang hangat dan beraroma enak serta dua botol cola. Selama lima pertama mereka sama-sama makan dalam diam. Sehun merasa diperhatikan, dan benar saja, saat ia mendongak, sepasang mata Hanbyul sedang terarah padanya dengan agak menyipit.
"Ada sesuatu di mukaku?" tanya Sehun.
Hanbyul menggeleng dengan pipi menggembung penuh pizza. Setelah menelan, baru ia berkata, "Sepertinya aku pernah melihatmu entah kapan."
Sehun menghela napas. "Memang," jawabnya malas.
"Oh, ya?" Hanbyul mengerjap-ngerjap takjub. "Di mana?"
"Di kelab. Kau diseret pergi oleh nuna-mu dari sana dengan menarik telingamu. Nuna-mu menabrak bahuku, lalu kau lari."
Kedua daun telinga Hanbyul memerah. "Oh, benar juga. Aku ingat."
"Nuna-mu tidak ingat sama sekali." Gumaman Sehun terlontar keluar dengan nada jengkel. Jelas saja, kan? Mereka bertemu tidak hanya sekali itu, tapi juga di hotel dan di jalan (secara teknis hanya Sehun yang melihat Hanna dan Hanna tidak melihatnya di dalam mobil, tapi tetap saja), dan Hanna tidak mengenalinya sedikit pun? Bukannya sombong, tapi wajah Sehun kan bukan wajah yang bisa ditemui di persimpangan jalan setiap hari?
Hanbyul yang mendengar itu hanya mendengus. "Ingatan nuna memang payah. Dia hanya mengingat hal-hal yang jelek dan mengabaikan yang bagus. Misalnya, dia marah saat aku mendapat nilai dua untuk bahasa Inggris, tapi tidak ingat kalau aku mendapat nilai sembilan untuk matematika. Aku kan harus memilih prioritas, dan pada zaman sekarang, tentu saja matematika lebih penting. Meskipun aku tidak melihat apa gunanya rumus tangen ketika aku bekerja."
Sehun tidak menanggapi keluhan Hanbyul mengenai prestasi akademiknya. Hanna mengingat hal-hal jelek saja. Berarti Sehun bisa digolongkan pada hal-hal bagus. Kesimpulan itu membuatnya senang.
Keluh-kesah Hanbyul dihentikan oleh dering ponselnya sendiri. Ia mengelap tangannya yang berminyak pada ujung kausnya dan merogoh ponselnya dari saku celana jins longgarnya yang robek-robek. Ia menyentuh ikon jawab dan semburan kepanikan meluap. Bahkan Sehun bisa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Racy Lady
Fanfiction[trilo(ve)gy 2--for you who don't believe in love] Tidak ada kebaikan cuma-cuma di dunia ini. Semua manusia terhubung dengan satu sama lain karena kebutuhan, bukan perasaan--apalagi hal seabstrak cinta. Oh Sehun sudah membuktikan hal ini sendiri...