.
.
.
Mati terinjak, bunga yang belum mekar itu.
-x-
Ketika Sehun melangkah melewati gerbang besi tinggi, dan Hanna ada di sana, melambai tinggi-tinggi dengan senyum mahalebar, ia tidak bisa tidak memerhatikan bahwa dadanya otomatis berdebar-debar cepat tanpa alasan. Beberapa hari yang dilaluinya di dalam penjara yang menjijikan tanpa melihat gadis itu (setidaknya, tidak sesering biasanya) membuatnya menyadari hal-hal yang bahkan tidak pernah ia duga akan muncul di kepalanya suatu hari.
Dan ketika Hanna berlari kecil ke arahnya lalu menghambur memeluknya-ralat, mencekik mungkin lebih tepat-Sehun nyaris bisa mengingat seperti apa rasanya benar-benar bahagia. Hanna beraroma seperti sabun dan sampo dan rumah-yah, segala hal baik yang bisa Sehun pikirkan.
"Senang bertemu denganmu," Hanna berbisik dibuat-buat dengan bahasa formal dan tertawa pelan.
Sehun bisa saja berdiri di sana selamanya dengan Hanna melingkari lehernya, kalau saja mereka tidak disela suara klakson yang memaksa mereka memisahkan diri, dan di sanalah hal kedua yang paling ingin Sehun lihat; Nina.
Ya, ia tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa Porsche-nya punya nama.
Luhan keluar dari balik kursi pengemudi dengan lagak selangit, rambut bergaya karena gel dan kacamata Ray-ban. "Yo." Ia melambaikan satu tangannya acuh.
Dan pergilah segala kebaikan untuk hari ini.
Sehun menyingkirkan pikiran-pikiran pribadinya ke belakang tengkorak dan memaksakan senyum. Ia mendekat dan Hanna mengikutinya dengan langkah-langkah melambung. "Hyeong."
"Aku mengambil si cantik ini," Luhan menepuk atap Porsche-nya, "dari tempat Zitao tadi pagi."
"Sebenarnya tidak perlu, aku pasti ke sana nanti," kata Sehun. "Tapi terima kasih."
Luhan mengangkat bahunya acuh. Sulit menebaknya, tapi Sehun mengira laki-laki itu sedang memelajari raut wajahnya dari balik sepasang lensa gelap itu, jadi Sehun mengalihkan pandangan dan berjalan ke pintu belakang sebelah kiri, dan Hanna berjalan ke pintu belakang di kanan. Tahu-tahu, Luhan menyembur, "Tunggu, kalian tidak boleh duduk berdua di belakang dan pacaran. Kalian pikir aku supir taksi?"
Hanna langsung gelagapan, "Apa? Kami tidak-"
Sehun menyahut hampir di saat yang sama, "Jadi, aku menyetir dan kau duduk dengan Hanna? No way."
"Kalau begitu aku saja," Hanna menyeletuk.
Untuk pertama (dan mungkin terakhir kalinya) Sehun dan Luhan sepakat, "Tidak."
Hanna menatap mereka bergantian, lalu cekikikan sendiri. "Bercanda," katanya. "Aku tidak bisa menyetir. Dan kurasa kau akan mematahkan kakimu kalau duduk di belakang denganku. Mobilmu sempit sekali," ia menambahkan pada Sehun.
Setelah itu, Hanna membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Sehun mengulurkan tangan untuk meminta kunci, yang kemudian dilemparkan Luhan sembarangan (tapi berhasil ia tangkap). Lalu, entah mendapat ide dari mana, Sehun menyeletuk pelan, "Iya, kerdil silakan duduk manis di belakang."
Luhan memutar bola matanya dan berjalan gagah ke kursi penumpang depan. "Shut. The fuck. Up."
Sehun tersenyum simpul. Seberapa pun takutnya, senang mengetahui bahwa ia masih punya selera humor untuk menghadapi eksekusinya yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Racy Lady
Fanfiction[trilo(ve)gy 2--for you who don't believe in love] Tidak ada kebaikan cuma-cuma di dunia ini. Semua manusia terhubung dengan satu sama lain karena kebutuhan, bukan perasaan--apalagi hal seabstrak cinta. Oh Sehun sudah membuktikan hal ini sendiri...