Under Stars

7.3K 649 29
                                        

"Morning, Draco!"

Remaja laki-laki berambut pirang platinum yang tertata rapi dan bermata kelabu itu menoleh saat ada yang menepuk pundaknya, "morning, Harry," sapanya pada remaja laki-laki sebaya dengannya yang berambut hitam berantakan itu.

Mereka berpapasan di koridor menuju ke Aula Besar untuk sarapan.

"Essay Pertahanan terhadap Ilmu Hitam-mu sudah selesai, Draco?" tanya Harry.

"Yang pasti sudah. Aku tidak mau kena detensi lagi sama Profesor Lupin.

Harry tertawa, "Profesor Lupin memang kalem, tapi kalau kasih detensi tidak tanggung-tanggung," dia membenahi letak tasnya.

"Tumben hari ini kau sendiri?" tanya Draco.

"Kau seperti tidak tahu Ron dan Hermione saja. Akhir-akhir ini aku jadi merasa seperti jadi lalat penganggu di antara mereka. Rasanya jadi ingin punya pacar juga.

Draco tidak berkomentar, lalu mereka mengobrol ringan sampai mereka tiba di Aula Besar. Di ruangan utama di kastil Hogwarts, sekolah mereka, Draco dan Harry berpisah. Harry menuju ke meja panjang asrama Gryffindor sementara Draco ke Slytherin.

Meski keduanya beda asrama, tapi mereka merupakan teman dekat sejak kelas satu. Persahabatan mereka seperti mematahkan kisah lama yang mengatakan kalau Gryffindor dan Slytherin tak akan bisa cocok. Draco dan Harry justru merasa kalau banyak kesamaan diantara mereka.

Mereka suka –atau maniak- dengan Quidditch. Mereka jago terbang. Mereka suka memborong permen dan coklat di Honeydukes. Perbedaan diantara mereka juga tidak jadi masalah. Draco jago di Ramuan sedangkan Harry jago di Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Mereka jadi bisa membantu satu sama lain.

Tapi agaknya persahabatan yang sudah berjalan enam tahun itu mulai berubah arah dalam diri Draco. Si pirang itu mulai merasakan suatu perasaan yang lain terhadap Harry. Bukan lagi sekedar rasa sayang pada teman, atau saudara... tapi perasaan yang lebih posesif...

Suka.

Mungkin...

Cinta.

Draco sudah berusaha mati-matian menahan apa yang dia rasakan tiap Harry berada di dekatnya. Tapi semakin lama pula perasaan itu tak terbendung lagi dan sudah berkali-kali Draco nyaris lepas kendali.

Tapi akhirnya Draco menemukan jalan untuk menumpahkan apa yang dia rasa. Dengan menuliskan perasaannya dalam rangkaian kata. Dia tak pernah menyangka dia cukup bagus dalam menulis. Bukan puisi, tak berbait tak berima, hanya—sekedar tulisan yang mewakili isi hatinya.

Dan sekarang, Draco punya satu jurnal khusus yang menjadi tempat curhatnya. Jurnal kecil yang tersembunyi di sudut terdalam tas sekolahnya. Tak diketahui bahkan oleh teman-teman satu kamarnya di asrama.

Well—buku itu hanya ada untuknya seorang.

***

"Liburan musim panas di rumahmu?" Harry memandang Draco yang baru saja memberitahukannya isi surat dari ayah dan ibunya.

"Mum memaksa supaya kau bisa datang ke Malfoy Manor. Dia sudah kirimkan surat pada Sirius. Padahal ujian belum saja dimulai."

Harry tersenyum, "Sirius pasti ngomel-ngomel dulu sebelum mengizinkan aku menginap di rumahmu."

Draco mengangkat bahunya, "pokoknya Mum tunggu jawabanmu dua hari setelah liburan."

"Oke. Aku akan coba bujuk Sirius."

"Tak akan susah kalau kau berhasil membujuk Profesor Lupin untuk tinggal di Grimmauld Place selama satu atau dua minggu."

Harry nyengir, "ide bagus. Akan aku coba nanti," katanya, "aku harus bergegas ke kelas Herbology. Sampai nanti, Draco!"

DraRy OneShootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang