1- Murid Baru

8.9K 622 28
                                    

Kamu seperti malam.
Gelap, dingin, dan tak tersentuh.
***

Derap langkah menggema di sebuah ruangan yang cukup luas. Seorang gadis berjalan gontai, tak mempedulikan dua orang yang duduk santai sambil tertawa renyah. Ia hendak menaiki tangga ketika sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh pada orang yang mengajak bicara.

"Jam berapa ini? Kenapa baru pulang?" sentak lelaki paruh baya menunjuk jam di dinding ruangan. Bukan takut, gadis itu malah melengos. "Maura, lihat papa!"

Maura meringis merasakan pergelangan tangannya ditarik. "Sakit, Pah."

"Seharusnya kamu contoh kakakmu yang tidak pernah membangkang!"

Maura menatap gadis dengan rentang usia dua tahun lebih tua darinya, tampak asik mengamati pertikaian mereka tanpa berniat ikut campur. Entah apa yang ada dipikirannya, mungkin senang karena dirinya lagi-lagi terkena amarah sang papa.

"Aku bukan dia!" Maura menatap sengit ke arah gadis berambut sebahu yang kini mengernyitkan dahi.

"Maura! papa tidak pernah mengajarkan kamu bersikap tidak sopan seperti ini!" tegas lelaki paruh baya tersebut. Putri bungsunya selalu membuat tensi darahnya naik.

"Iya, karena papa emang gak pernah ngajarin aku apa-apa. Papa gak pernah peduli apa yang aku lak-"

Plak

"Kamu ... "

Maura meringis memegang wajahnya yang memerah.

"Udah cukup, Pa. Percuma bicara sama dia!" ucap sang kakak yang sudah berdiri memegangi lengan papanya.

"Papa tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kamu yang kian ngelunjak. Kamu pikir papa gak khawatir liat kamu pulang malem kayak gini?"

Maura hanya diam merasakan perih di wajahnya, berusaha keras untuk tak menangis. Sikap peduli sang papa menyakitinya. "Aku emang bebal karena papa sendiri yang buat aku jadi kaya gini!" teriak Maura lalu beranjak menaiki tangga.

"Maura, papa belum selesai bicara!"

Tidak peduli, Maura menutup pintu kamarnya dengan keras. Menyandarkan tubuhnya dan meringis merasakan perih di wajahnya. Ia menatap sendu sebuah figura di dinding kamar yang menampilkan sepasang ibu dan anak, tersenyum ke arah kamera. "Karena nyatanya papa gak akan pernah mau tahu kalau Maura benci dengan keadaan seperti ini, ma."

***

Cewek bermata belo itu menatap keadaan kantin yang masih lenggang lalu menggeser piring kosong di depannya. Bukan tak sempat sarapan, Maura terlalu malas berhadapan dengan sepasang ayah dan anak yang selalu membuatnya iri. Makanya ia memilih sarapan di sekolah.

Merasa ada yang memperhatikan ia mengarahkan tatapan ke penjuru kantin. Tidak mungkin ada yang sengaja menguntitnya, 'kan? Maura sudah jelas bukan cewek populer seperti Naina, kakak kelas yang banyak mendapat sanjungan.

Maura hanya murid biasa yang begitu mengagumi kakak kelasnya bernama Nathan Arkana Biru. Sebenarnya Maura termasuk siswa yang memiliki penampilan menarik. Hanya saja ia selalu merasa kurang percaya diri, apalagi saingannya untuk mendapatkan hati Nathan terasa jauh di atasnya.

Maura tidak tinggi, tapi tidak pendek juga. Cewek itu memiliki mata belo yang jika sedang menatap orang lain selalu tampak polos dan menggemaskan. Senyumannya juga manis, tapi sikap manjanya kerap membuat orang-orang merasa kesal. Ah ya, satu lagi yang menjadi daya tarik cewek itu. Kalau tersenyum, bibir Maura akan membentuk simbol love.

"Boleh duduk di sini?"

Lamunan Maura buyar. Mendongak, ia mendapati sosok asing yang sudah berdiri di depannya, tak ketinggalan dengan senyum lebar ala iklan pepsodent. Belum sempat mengizinkan, sang penanya sudah duduk di sebelahnya, langsung melahap bubur ayam yang masih tampak mengepul.

Merasa diamati, kunyahan cowok itu terhenti dan menoleh kea rah Maura. "Kita belum kenalan ya?" kekehnya melepasakan sendok lalu mengulurkan tangan. "Kenalin anak baru, Rayyan Azka Verandy. Panggil aja Azka atau ganteng juga boleh."

Maura yang hendak membalas jabatan tangan tersebut melengos, tak jadi beramah tamah. Cowok di depannya memiliki tingkat kenarsisan yang tinggi. Pasti di sekolah lamanya terkenal sebagai playboy. Jika diperhatikan, dia memiliki tampang yang lumayan.

"Lo Maura Anindya anak XI IPA-3, 'kan?"

Maura yang tidak berniat mengenalkan diri tentu saja terkejut. Dari mana cowok asing itu tahu namanya dan kelasnya? "Dari mana lo tau nama gue?"

Tatapannya berubah waspada. Hal tersebut membuat Azka terkekeh. "Gak usah takut. Gue terlalu ganteng buat jadi orang jahat."

Maura menganga tak percaya mendengar ucapan super pede tersebut. Ia memutuskan untuk kembali ke kelas daripada berurusan dengan cowok tak jelas yang mungkin saja memiliki maksud jahat padanya.

"Ey, mau ke mana?"

Maura melemparkan tatapan tidak suka saat cowok itu menahan lengannya. Mengikuti arah pandangnya, Azka meringis dan langsung melepas cekalannya. "Sorry."

Hanya dengkusan yang Maura berikan sebelum kemudian melangkah cepat meninggalkan si anak baru. Ia harap mereka tidak akan bertemu lagi. Namun, sepertinya Maura mengambil keputusan yang salah saat dirinya mendapati keberadaan wania paruh baya yang baru keluar dari ruang guru. Hampir saja ia mekutar arah, tapi namanya sudah terlanjur terpanggil.

Mendesis, Maura memaksakan senyum dan berjalan mendekat. "Iya, kenapa bu?"

"Kamu ke meja ibu, terus bawa tumpukan buku ke kelas 12 IPA-2 ya?"

Aduh! Mana jauh lagi! Batinnya meringis.

"Eum tapi bu itu ... aduh saya mau masuk kelas, mau ada ulangan harian, hehe." Maura cengengesan sambil melirik ke berbagai arah.

Sang guru bersedekap dada dengan mata memicing. Maura sendiri hanya memainkan jemarinya tak sabaran, padahal ia sudah ingin sampai ke kelas.

"Maura Anindya, kamu tidak lupa, kan, kalau sekarang jam pelajaran ibu di kelas kamu?"

Maura merasakan tenggorokannya tercekat. Ya ampun! Kenapa gue bisa lupa jadwalnya Bu Tatina sih? Cewek itu mengusap tengkuknya. Tak lupa dengan ringisan yang ia tampakan.

"Sekarang kamu antarkan buku ini ke kelas XII IPA-2 dalam waktu lima menit. Dan setelah itu saya tunggu kamu di kelas untuk mempresentasikan materi yang minggu kemarin saya jelaskan!" ucapan sang guru membuatnya menatap nelangsa. Maura sangat kurang dalam pelajaran Matematika. "Ta-tapi bu-"

"Cepat Maura, waktu saya tidak banyak!" potong sang guru diiringi tatapan tak mau dibantahnya.

Cewek berambut sepunggung itu mengangguk pasrah lalu berjalan dengan terseret memasuki ruang guru.

Halo!
Ada yang kangen gak sama Maura?

Siapa nih yang udah pernah baca cerita ini sebelumnya?
Semoga tetap suka yaaa

(Not) With You ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang