Epilog

7K 364 57
                                    


Dalam ruangan berukuran persegi itu, sebuah lagu dengan iringan gitar mengalun merdu. Sepasang remaja berbeda jenis kelamin tengah duduk berdampingan, secara bergantian melantunkan lirik lagu.

Tak ketinggalan beberapa siswa di ruangan tersebut ikut menghayati sambil mengangkat kedua tangan di udara. Mereka seperti tengah menonton konser kecil. Raut wajah si gadis terlihat sangat ceria, sedang lelaki di sampingnya beberapa kali meliriknya dengan senyuman penuh.

Namun, tiba-tiba ruangan tersebut menghilang, berganti menjadi sebuah lapangan hijau yang luas. Suasana yang begitu ramai, serta sorak-sorai muda-mudi yang membawa beberapa banner besar, terompet, gendang dan berbagai alat lainnya yang mereka gunakan untuk mendukung beberapa temannya yang akan bertanding.

Di sana di antara banyaknya penonton, seorang gadis mungil dengan serius mengamati lelaki bernomor punggung 9 yang terlihat begitu tampan mengenakan kaos olahraganya. Lelaki itu meliriknya yang balas memberikan senyuman lebar, tak lupa mengangkat tangan kepalan tangannya, menggumamkan kata 'semangat'. Si lelaki terkekeh sembari menggaruk belakang lehernya salah tingkah.

Lalu seperti sebelumnya, suasana berganti menjadi sebuah lapangan yang lebih kecil. Masih dengan sosok yang sama. Berdiri menundukkan wajah di hadapan lelaki paruh baya yang tengah memarahinya sambil bertolak pinggang. Lelaki remaja itu kemudian mendongak hingga mata mereka bersirobok. Tatapan itu begitu dingin, penuh kebencian. Begitu menusuk hingga menyebarkan rasa sakit yang menembus ulu hatinya. Tanpa sadar beberapa bulir kristal mengalir di wajahnya. Lebih mengerikan lagi ketika lelaki itu tiba-tiba menyeringai lebar, seperti seorang penjahat yang hendak membunuh mangsanya.

Menyadari perubahan itu, si gadis terlihat kaget dan sontak memundurkan langkah. Namun, langkahnya kali ini membuat dia tertarik bagai magnet. Tempat lagi-lagi berganti bagai sebuah slide.

Kali ini dirinya malah sudah berdiri saling berhadapan dengan lelaki yang tadi sempat dihindarinya. Riuhnya hujan, hawa dingin yang menusuk, serta rasa sakit yang begitu menyiksa.

"Apa gue harus punya alasan buat peduli sama lo?" tanyanya kesal.

"Dan apa gue juga harus punya alasan buat nggak nyertain tentang keadaan gue?" Lelaki di hadapannya bertanya balik.

"Oke terserah." Dirinya mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah. "Gue udah nyoba buat peduli karena lo temen gue dan bener, lo adiknya kak Gavin, makanya mungkin sikap peduli gue berlebihan, lo adalah orang terdekat dari cowok yang gue sayang, tap-"

"Berhenti! Berhenti ikut campur. Lo bukan siapa-siapa gue."

Lelaki itu mengangkat telunjuk tepat di depan wajahnya. Tanpa berkata apapun dia melangkah mundur, mengabaikan deras air hujan. Tatapannya yang sendu masih begitu terlihat meski jarak mereka yang semakin menjauh, sampai akhirnya sebuah suara membuat si gadis tersentak. Tak jauh dari tempat lelaki itu berdiri sebuah truk tengah melaju dengan kecepatan tinggi.

"Azka, awas!" Berkali-kali ia menyerukan sang pemilik nama, tapi diabaikan. Lelaki itu malah terus menatapnya sambil tetap berjalan mundur, sebuah seringaian kembali muncul di bibirnya sebelum kendaraan besar itu menabrak tubuh kurus tersebut sampai terpental, menimbulkan bunyi yang sangat mengerikan.

"Azka!"

Gadis itu terbangun dengan napas tersengal. Untuk kesekian kalinya ia memimpikan orang yang sama, padahal beberapa tahun sudah berlalu. Dirinya bukan lagi sosok gadis remaja yang terobsesi dengan cinta yang menggebu-gebu.

"Mou? Kamu udah bangun?"

Suara seseorang di luar sana membuatnya menatap ke arah pintu yang tertutup rapat.

"Kenapa?" tanyanya serak.

"Ada undangan buat kamu."

Maura mengernyitkan dahi, mengingat siapa diantara temannya yang kira-kira berencana untuk menikah atau bertunangan. Ia tidak yakin jika itu adalah undangan ulang tahun.

(Not) With You ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang