5- Bayangan Luka

4.8K 450 10
                                    

Melihatnya, seperti bayangan sebuah luka.
***

"Maura udah tiga hari gak masuk, sakit katanya. Apa kemarin gue keterlaluan ya ngasih dia hukuman?"

Sedari tadi cowok itu duduk gelisah sambil memainkan makanan di hadapannya. Setelah mendengar ucapan Dino tadi pagi, perasaan bersalah menyelimutinya, bahkan Naina yang sedari mengajaknya bicara ia abaikan.

"Mikirin apa, Nath?"

Nathan yang tersadar telah mengabaikan sahabatnya tampak gelagapan, "A-ah enggak bukan apa-apa."

Cewek di seberangnya memicingkan mata. Naina bersedekap, sahabatnya tak pandai berbohong. Terbukti dengan cowok itu yang malah menghindari tatapannya. Akhirnya ia mengangkat bahunya membiarkan. Namun yang membuatnya kesal adalah ketika mendapati Nathan kembali melamun.

"Nath?"

"Nathan!"

"Ah, ya Mou?"

Rahang Naina mengeras, menatap Nathan tajam. "Mou? Maksud kamu cewek yang suka kejar-kejar kamu itu?"

Menyadari kebodohannya, Nathan meringis. Naina memang selalu sensitif jika berhubungan dengan adik kelasnya, padahal kalau memang tidak ada rasa, Naina seharusnya tak berlebihan. "Maaf, Nai. Aku gak bermaksud, aku-"

"Apa?" potong Naina dengan wajah yang sudah berubah keruh.

Sabar, Nath. Cowok itu meraih tangannya, memberikan genggaman hangat. "Aku cuma ngerasa bersalah karena biarin dia pulang sendiri sampai sakit."

Tentu saja Naina tak percaya begitu saja. Butuh beberapa menit untuk membuatnya memberikan respon. "Bener cuma rasa bersalah?

Nathan mengangguk mantap. "Iya, cuma rasa bersalah."

Lalu, senyum Naina mengembang begitu saja.

***

Cowok berambut ikal itu melangkah sembari bersenandung kecil. Mendengar suara tak asing, ia menghentikan lajunya. Tatapannya tertuju pada lorong koridor yang cukup sepi karena bangunan tersebut hanya di isi oleh ruang UKS, laboratorium IPA dan IPS.

Merasa penasaran, ia berjalan dengan pelan agar tak ketahuan. Didapatinya punggung seseorang yang tengah bertelepon. Hal yang membuatnya merasa curiga adalah saat sosok berambut sebahu tersebut yang tampak berusaha agar mengeluarkan suara keras.

"Dia cuma demam mbak bukan lumpuh!"

Nada kesal terdengar dari bibir cewek itu.

"Adik? Dia ... dia bukan adik aku!" elaknya tercekat. Ada penolakan yang tak sepenuhnya benar-benar tidak menginginkan.

Gavin, cowok itu sempat terkesiap mendengarnya. Ia juga dapat melihat bagaimana sebelah tangan yang kosong itu mengepal.

"Hh, ya udah anterin dia ke dokter, mbak. Oh ya, jangan bilang ke papa, dia baru berangkat kemarin." Mematikan panggilan, cewek itu menengadah untuk menatap langit biru. Embusan napas berat terdengar jelas sebelum dirinya berbalik.

Keterkejutan tampak di wajahnya mendapati keberadaan Gavin. "K-kamu sejak kapan di sini?"

Bukan menjawab, Gavin malah balik bertanya, "Sejak kapan lo punya adik?"

"Ke-kenapa mau tau?" tanyanya tergagu.

"Menyedihkan banget ya, dia punya kakak kayak lo. Gak mau ngakuin adiknya sendiri!"

Tatapan cewek itu menyendu. Ucapan tersebut berhasil melukai hatinya. Gavin tidak tahu apa-apa, tapi bersikap seolah tahu segalanya. Cowok itu tak pernah berubah sejak dulu. Selalu menyimpulkan segala sesuatu seenaknya tanpa mencari tahu kebenarannya.

Menahan air mata yang hendak keluar, ia tersenyum pedih. "Kamu gak tau apa-apa, Vin."

Gavin sempat terpaku melihat cairan bening yang sebentar lagi jatuh tersebut. Namun, ia segera mengerjap lalu terkekeh sinis. "Sayangnya gue gak niat buat nyari tau!"

Setelah itu, Gavin berbalik menghiraukan isakan tertahan dari cewek di belakangnya. "Bahkan tanpa tau siapa, kamu bersikap peduli sama anak itu, Vin."

***

Setelah tiga hari menghabiskan waktunya di dalam kamar, Maura kembali bersekolah meski sakit di kepalanya masih terasa. Ia tidak mau terlalu banyak ketinggalan pelajaran, apalagi dengan kapasitas otaknya yang pas-pasan. Maura berjalan pelan sembari mengeratkan cardigannya, gerimis subuh tadi masih menyisakan hawa dingin di tubuhnya.

"Halo, adik manis!"

Sapaan tersebut membuat Maura mendongak. Didapatinya Gavin yang sudah berdiri di sebelahnya. Cowok itu tersenyum manis lalu menyimpan tangan di bahunya.

"Hai, Kak!" balasnya lemah. Maura tak berniat melepaskan rangkulan tersebut.

"Kata Azka kamu sakit. Kirain bohongan," ucap Gavin terkekeh. "Strong women ternyata bisa sakit juga."

"Aku juga manusia kali, Kak." Maura menjawab dengan bibir mengerucut.

Gavin yang memperhatikan ekspresi adik kelasnya merasa gemas. Raut wajah cewek itu tampak pucat, tapi tak menghilangkan kadar keluguan di sana. Bukan hanya itu saja, tingkah Maura selalu mengingatkannya pada seseorang dan hanya berdekatan dengannya, hati Gavin merasa tenang. Luka itu seolah tertutup begitu saja.

Entah sejak kapan Maura menjadi orang yang cukup penting untuknya. Cewek yang hanya dengan melihat pancaran matanya saja membuat dirinya membeku. Ia sakit, namun juga rindu.

"Udah nyampe!"

Seruan Maura menyadarkannya. Gavin melepaskan rangkulannya dan pamit setelah menawarkan diri mengantar sampai dalam kelas. Tentu saja ia menolak. Bisa-bisa teman sekelasnya salah paham dengan perhatian cowok itu.

"Belajar yang rajin ya, kalau masih pusing ke UKS aja." Gavin memberikan usapan lembut di kepalanya sebelum berlalu.

Maura dibuat tertegun dengan apa yang dilakukan kakak kelasnya. Ia menyentuh dadanya saat merasakan desiran hangat di dalam sana. Bukan. Bukan perihal ia jatuh cinta, melainkan rasa haru yang menyeruak begitu saja.

Ini yang sejak dulu Maura inginkan. Perhatian kecil yang tidak pernah ia dapat dari keluarganya. Tak dapat dipungkiri, Maura merasa menemukan sosok kakak dalam diri cowok itu. Tidak apa-apa, kan, kalau Maura berharap Gavin akan selalu berada di sampingnya? 

 Tidak apa-apa, kan, kalau Maura berharap Gavin akan selalu berada di sampingnya? 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Not) With You ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang