8- Weekend

4.1K 341 2
                                    

Aku selalu ada, betapa pun kamu tak menatap ke arahku. Di sini, masih di tempat yang sama.
***

Maura membolak balikan badannya sembari men-stalking instagram Nathan. Setelah pulang jonging dan membersihkan diri, ia langsung mengurung diri di kamar seperti yang biasa dilakukannya setiap hari minggu. Tak pernah ada interaksi dengan orang-orang rumah selain pembantu rumah tangganya. Maura akan makan sendiri jika merasa lapar lalu kembali ke kamarnya. Ia menahan diri untuk tak menonton televisi di ruang keluarga karena tak cukup mempunyai keberanian untuk bersitatap dengan sang papa yang kebetulan selalu ada di rumah setiap weekend.

Dengan santai Maura melihat foto-foto Nathan tak bosan, sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman. Menurut Maura hanya dengan melihat Nathan tertawa dalam foto saja sudah cukup membuatnya bahagia. Meski terkadang hatinya sangat iri sekali karena kebahagiaan Nathan bukan karena dirinya, tapi karena cewek yang setiap waktu menempel terus pada cowok itu. Ah, kenapa bukan Maura yang menjadi sahabat Nathan?

Sedang asik-asiknya memikirkan hubungan kedua insan tersebut, ponsel di genggamannya bergetar membuat Maura mengalihkan tatapan pada benda pipih di genggamannya. Ia mengerutkan keningnya membaca sederet pesan yang baru saja ia terima dari kakaknya. Maura sengaja tak menyimpan nomor sang kakak karena malas.

0821xxxx: Jangan keluar kamar, temen-temen gue mau dateng!

Maura berjalan menuju jendela mengintip siapa yang datang di tengah terik seperti ini. Benar saja, dua cewek cantik keluar dari mobil tersebut yang disambut dengan pelukan hangat oleh sang kakak, mereka berjalan beriringan seperti tengah membahas sesuatu sambil berjalan ke arah pintu utama. Maura saja tidak pernah diperlakukan seperti itu sebagai adiknya.

Cewek itu menepuk keningnya, baru ingat bahwa ia mudah sekali kehausan. Bagaimana kalau nanti ia ingin minum? Tidak mungkin jika Maura harus turun ke bawah. Masih mending kalau tidak ketahuan, kalau ketahuan? Bisa menjadi masalah besar. Maura juga baru ingat bahwa mbak Nana sedang pergi keluar, tidak tahu kembali kapan. Jadi, ia tak bisa minta bantuan pada siapapun dan sudah dipastikan ia harus menahan diri untuk tak meminum air keran dari kamar mandinya.
***

"Wah, air gue abis nih. Padahal masih haus."

"Yaudah sih, ambil aja sendiri Cin. Gak lupa, kan, letak dapurnya di mana?"

"Iya, Cin. Sekalian bawa cemilan yah kalau ada?" Cewek yang sejak tadi bergelut dengan handphone-nya ikut menanggapi.

"Kalau gak salah masih ada di kulkas. Ambil aja, Cin." Si empunya rumah menambahkan.

"Elo ish, sama tamu juga nyuruh-nyuruh."

"Kan sekalian, Cin."

"Iya deh, iya. Gue ambil dulu kalau gitu."

Cindy beranjak dari kamar sahabatnya menuju dapur, kebetulan mereka tengah bergosip ria di kamar si empunya rumah yang kebetulan terletak di lantai dua. Jadi ia harus menuruni tangga terlebih dahulu. Cindy menatap penjuru ruangan yang begitu luas, jauh sekali jika dibandingkan rumahnya yang sederhana. Ia memang beruntung bisa bersahabat dengan Naina dan Dinda yang notabennya orang berada. Yah, ia akui kedua sahabatnya memang sering memandang rendah orang-orang di sekitarnya. Wajar saja, karena mereka mempunyai sesuatu yang pantas untuk disombongkan. Namun, anehnya mereka tak pernah sekalipun memandang remeh dirinya

Setelah menuangkan minuman dan mengambil beberapa snack, cewek itu kembali ke lantai atas. Namun, ketika di ujung tangga langkahnya terhenti mendengar suara seseorang bersenandung. Cindy membalikan badannya berjalan ke arah ruangan yang terletak di ujung sebelah kanan tangga berlawanan dengan arah kamar sahabatnya. Suara itu semakin jelas terdengar ketika ia mendekati ruangan bercat biru laut di hadapannya. Pintu yang ditempeli beberapa stiker itu seolah terlihat hidup, ditambah dengan suara seseorang yang masih bersenandung meski terdengar samar.

Cewek itu masih bergeming dengan beberapa pertanyaan yang kini berkeliaran di benaknya. Cindy benar-benar merasa penasaran, tentang siapa seseorang yang berada di dalam ruangan tersebut. Bukankah Sahabatnya itu tak merupakan anak tunggal? Dan hanya tinggal dengan papanya dan juga satu pembatunya. Ini suara suara cewek, apakah mungkin ...

"Cin?"

Cindy terkesiap mendengar teriakan Dinda. Sontak ia berbalik menuju kamar sahabatnya, mengenyahkan terlebih dahulu apa banyaknya pertanyaan di benaknya.

"Sorry yah, lama."

"Lo kemana aja sih Cin? Gak mungkin nyasarkan?"

"Eng, enggak. Tadi tuh gue ... emm ini minumannya tumpah, jadi yang ngambil lagi."

"Oh, kirain."

"Iya tadi pas mau ke sini, gue ..."

"Apa?"

"Ahh, enggak. Gak jadi."

"Apasih Cin? Mau ngomong apa?"

"Enggak, gak penting juga sih." Cindy mengembuskan napasnya, tadinya ia hendak menanyakan siapa yang menempati ruangan di ujung sana. Namun, ia urungkan mengingat beberapa hari terakhir ini mood sahabatnya terlihat kurang baik. Lagian setelah dipikir-pikir tidak terlalu penting juga. Toh mungkin saja itu saudaranya yang sedang menginap di sini.

Lanjut gak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lanjut gak?

(Not) With You ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang