BLUK.
Revin tersenyum lebar. Lemparannya tepat masuk ke ring. Peluit tanda pertandingan basket tersebut telah berakhir disambut dengan yell kemenangan yang terdengar membahana ke seantero lapangan. Tempat duduk penonton di sebelah kiri sangat ribut. Sementara tim yang menang saling berpelukan. Pelatih tim mengacungkan jempolnya. Para pemandu sorak tampak melompat-lompat kegirangan. Pemain cadangan melakukan tos bersama.
Ya.
Suasana seperti inilah yang selalu didambakan Revin. Kegembiraan dari sebuah kemenangan yang disebarkan ke semua orang. Senyum dan tawa yang mewarnai hampir seluruh tempat (terkecuali bagi pihak yang kalah). Karena ingin mengulang kegembiraan seperti inilah Revin masuk klub basket. Olahraga inilah yang mengantarkannya untuk dapat selalu merasakan kegembiraan itu.
Di bawah kucuran air di kamar mandi di ruang ganti barulah dirinya sadar bahwa tubuhnya sangat letih. Otot-ototnya terasa lebih kencang dari biasanya. Revin mengucek rambutnya. Rambut yang malas untuk dirawatnya. Tumbuh dengan tidak rapi. Rambut yang sering dipelototi oleh guru-guru dan hanya dibalas dengan cengiran oleh Revin.
Revin mematikan keran, mengambil handuk dan membuka pintu kamar mandi.
Dengan keheranan Revin memandangi setiap sudut ruang ganti. Tak ada seorangpun di sana. Handuk berserakan di mana-mana. Pintu locker dan kamar mandi yang terbuka menimbulkan bunyi derit aneh. Menggema ke seluruh ruangan. Gelas-gelas plastik berhamburan. Menumpahkan isi masing-masing. Genangan berwarna putih dan cokelat dari softdrink di kursi panjang tampak menetes ke lantai marmer. Ruangan itu benar-benar ‘mati’.
“Hei… bukan waktunya bercanda!!!” bentak Revin. Wajahnya mengkerut. “Ayolah… kalian sudah tujuh belas tahun! Jangan seperti anak kecil. Main petak umpet segala. Hei… keluarlah! Aku…?”
Revin tertegun.
Tepat di atas ranselnya terdapat sebuah amplop biru. Di tengah-tengah amplop terdapat huruf G kecil berwarna emas. Huruf itu dibuat dengan benang yang sepertinya dijahit langsung ke amplop.
Dengan kesal Revin mengambil amplop itu. Menelitinya sebentar. Kemudian berteriak lagi, “Ini tidak lucu! Apa kalian mau menakut-nakutiku?!” Revin terdiam. Rasanya ulang tahunnya masih 4 bulan lagi. Hari ini juga bukan April mop. Semakin dipikirkannya semakin disadarinya bahwa teman-temannya sama sekali tidak punya alasan kuat untuk mau-maunya menjahili dia sampai sejauh ini. Apa hanya untuk merayakan kemenangan mereka tadi? Pasti tidak. Revin kenal teman-temannya. Bukan ‘gaya’ mereka untuk berbuat seperti ini. Mungkin cuma terburu-buru. Itulah hasil akhir yang berhasil didapatkan otaknya.
Dilambai-lambaikannya amplop biru tadi. Sangat tipis. Dan Revin sadari bahwa dia mulai tertarik untuk mengetahui isi dari amplop itu. Anehnya amplop itu sama sekali tidak mempunyai bagian yang bisa dianggap sebagai tutup.
“Bagaimana cara membukanya?” lirih Revin.
Seakan bagai sebuah jawaban, huruf G di amplop tadi berpijar. Dengan kagum Revin mengusap huruf itu. Seketika amplop itu melesat ke atas dan berputar-putar dengan cepat. Warna biru berubah menjadi kuning gading. Amplop itu berhenti tiba-tiba, namun yang tersisa kini hanyalah kertas kuning gading dengan sebuah kalimat aneh.
Revin membacanya.
“Pasir dalam jiwa abadi seorang Gaist.”
Yang terakhir diingat Revin setelah membaca kalimat itu adalah tubuhnya yang berubah menjadi debu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The World
AdventureGaist, Taltarin, Votran dan Jiljaron. Keempat dunia ini memiliki kesamaan yaitu 'berada diambang kehancuran'. Lima anak ditakdirkan memiliki pilihan, sebagai 'penerus penghancuran' atau sebagai 'pelahiran kembali'. Takdir yang akan menuntun mereka p...