Bab 2 Part 4

2.4K 60 7
                                    

Cherry merah padam. Tersisa dia dan Oldryk. Untungnya, “Ah, aku ingat! Hoo… rasanya amplop itu menyebutku… ‘Peri es’.” Akhirnya berhasil. Cherry merentangkan tangannya lebar-lebar saat menembus tubuh Haber. Setelah sampai di seberang dia memeluk Meisya dan ber-toss ria dengan Willy yang masih kikuk meladeninya.

Semuanya memandang ke seberang tersadar bahwa Oldryk masih tertinggal.

“Ngomong-ngomong Oldryk punya kata kunci juga nggak?” kata Revin.

Cherry menggeleng. “Amplop biru saja tampaknya dia baru tahu.”

“La-lalu ba-bagaimana caranya dia lewat?” tanya Willy pada Andrew.

“Aku tidak peduli!” Andrew melotot pada Willy.

Suara tepukan membuat kelimanya terdiam. Oldryk masih terus bertepuk tangan meminta perhatian mereka. “Tolong dengarkan aku. Mulai sekarang kalian harus melanjutkan perjalanan tanpa diriku.”

“Tapi—“ potong Cherry.

“Aku tidak akan pernah bisa melewati Haber ini.”

“Kenapa tidak dicoba?” kata Andrew melecehkan.

“Karena tempat ini diciptakan bukan untuk penduduk asli Taltarin. Kalian telusuri saja jalan di depan. Tinggal dua penjaga lagi. Penjaga batas tengah; Ostwald, serta penjaga batas kiri; Fischer. Ray Bartez pasti menunggu kalian di ujung jalan sana.”

“La-lalu kau mau kemana?” ucap Willy gugup.

“Aku akan pulang ke Antelon.” Oldryk menengadah menatap langit.

“Oldryk, hati-hati…” kata Revin tulus.

“Sebaliknya… mulai sekarang kalianlah yang harus hati-hati. Bersatulah selalu. Perlu kalian ketahui, dunia ini sangat berbeda dengan dunia kalian. Banyak hal baru yang pastinya akan kalian temui nanti. Saranku, jangan menilai sesuatu atas apa yang kalian lihat pertama kali. Taltarin banyak memiliki rahasia, bahkan bagi kami, penduduk yang sudah lama mendiami dunia ini.” Oldryk mengangguk. “Senang sekali bisa bertemu dengan anak-anak seperti kalian. Selamat tinggal, semuanya…” Dia melangkah menuruni jembatan. Tiba-tiba…

“Tuan.”

Oldryk membalikkan badannya.

Di seberangnya Meisya sedang menunduk hormat. “Tuan, terima kasih.”

Secara spontan keempat orang lainnya juga berterima kasih dengan cara yang berbeda-beda.

Oldryk memandang kelimanya secara bergantian. “Tenang saja,” katanya ceria. “Kalau salah satu dari kalian memang orang itu kita pasti akan bertemu lagi.”

“Apa maksudnya?” bisik Cherry ke kuping Meisya.

“Aku harus segera pergi. Walau aku tidak tahu apa bisa selamat melewati puluhan tengkorak itu.” Oldryk menertawakan leluconnya sendiri. Dilambaikannya tangannya dan melompat menerjang tulang-tulang hidup di Ladang Jiwa. Kecepatannya sangat mengagumkan, tulang-tulang itu tak mampu menyentuhnya, Oldryk melesat melewati mereka. Sosoknya tak terlihat lagi tertutupi puluhan kerangka yang mengejarnya.

Setelah dianggapnya Oldryk sudah sangat jauh, Revin mengangkat tangan Willy bermaksud memapah lagi.

“Tu-tunggu. Ku-kurasa aku sudah bisa berjalan sendiri.”

Revin memeriksa kaki Willy. Tak ada bekas luka. Mulus, tak terlihat bahwa kaki itu pernah ditembus anak panah. Bahkan bercak darah di kaus kakinya pun menghilang.

“Se-sembuh sendiri.” Willy tersenyum kikuk. “Kurasa lukamu dan luka yang lain juga sudah sembuh.”

Revin mencoba menggerakkan tangannya. Benar juga. Tangannya tak sakit lagi.

The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang