Bab 1 Part 2

3.9K 104 30
                                    

Cherry menutup hidungnya.

Bau pesing di gang yang sedang dilaluinya sangat tajam. Gang yang setiap hari harus dilaluinya karena cuma gang itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan lingkungan kumuh (yang selama enam belas tahun ditinggalinya) dengan lingkungan lain yang lebih beradab.

Cherry membayangkan segala beban yang dipikul oleh keluarganya. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan yang harus menghidupi enam orang anggota keluarganya. Ibunya lumpuh dan hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Tiga orang adiknya masih sangat kecil.

Tapi Cherry tidak peduli dengan semua itu. Cherry bukanlah seorang anak yang lemah. Kemiskinan baginya bukanlah sebuah halangan untuk maju. Maju. Ya, hal inilah yang selalu diperjuangkan olehnya. Dia ingin berkembang. Walau harus dewasa sebelum waktunya.

Teman sekelasnya, seorang anak yang orangtuanya kaya raya, pernah bertanya dengan sinis mengapa dia diberi nama ‘Cherry’. Nama yang tidak sesuai bagi anak miskin seperti dia.

Masih segar dalam ingatan Cherry bagaimana cara dia menjawabnya. “Jadi… harus seperti apa namaku? Apa kubangan lumpur? Atau air selokan? Atau… apa? Nama apa yang bisa membuatmu puas? Lalu bagaimana standar perbedaan nama antara orang kaya dan orang miskin? Memangnya ada ketentuannya? Atau kamu mau membuatnya?”

Cherry menghela nafas. Tidak  ada gunanya mengingat-ingat masa lalu. Cherry ini adalah Cherry yang ceria. Tapi seceria apa?

Cherry melompat menghindari genangan air. Gang itu memang penuh genangan air. Jalan yang sudah sangat rusak.

Sesekali dia berpapasan dengan tetangganya. Kebanyakan dari mereka tidak mempedulikannya. Beberapa lagi hanya memandangnya sekilas. Bahkan ada juga yang malah bermuka masam. Cherry tak bisa berharap dia bakal disukai oleh lingkungannya. Anak yang sekolah sampai SMA seperti dia sangatlah jarang dilingkungannya. Dengan caranya sendiri, Cherry kadang menegur tetangganya yang cenderung sangat jorok dan membahayakan warga lainnya. Hasilnya di luar dugaan. Dia malah dianggap bertingkah dan terlalu sok pintar.

Langkah Cherry semakin cepat. Entah sejak kapan dia mulai menyadari bahwa gang itu terasa ‘lebih panjang’ dari biasanya. Rasanya dia sudah berjalan satu jam lebih, padahal biasanya cuma ditempuhnya dalam 15 menit. Cherry menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang, tak ada siapapun. Saat dirinya membalikkan badan, Cherry melihat sebuah benda melayang di depannya.

Matanya tidak salah. Benda berwarna biru itu memang melayang. Yang Cherry herankan adalah dirinya seakan ‘ditarik’ mendekati benda itu. Saat cuma berjarak satu meter langkah Cherry spontan terhenti. Benda biru tersebut ternyata sebuah amplop dengan ukiran huruf G di tengahnya. Tatapan Cherry seakan terpaku pada amplop itu.

Dengan lembut amplop tadi mulai berputar. Semakin lama semakin cepat, dan hanya menyisakan sehelai kertas berwarna kuning gading.

Sementara itu kabut mulai menyelimuti gang itu. Sedikit demi sedikit mengkristal dan membentuk pilar-pilar es. Kerongkongan Cherry terasa kering. Mulutnya bagaikan terkunci. Pandangannya kembali menuju kertas aneh tadi. Ternyata kertas itu berisi semacam puisi.

Cherry merasa tubuhnya mulai membeku. Es dengan cepat menjalar dari kakinya menuju ke seluruh tubuh. Tepat sebelum mulutnya juga diselimuti oleh es, Cherry membaca puisi tadi.

Peri es suci pelindung Gaist.”

***

“Dalam waktu lima menit kita akan segera mendarat. Mohon kencangkan sabuk pengaman dan naikkan sandaran kursi Anda.”

Andrew menguap.

Suara rekaman pramugari tadi telah membangunkannya. Andrew melihat jam tangannya. “Sialan, mati!” lirihnya. Dia melakukan semua yang dipinta sang pramugari.

The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang