Meisya berterima kasih, menarik nafas panjang dan meletakkan kartu As Hati ke dalam lingkaran kuning. Keempat temannya terlihat tegang. Menunggu. Lingkaran kuning bersinar menyilaukan.
Ostwald membuka mulutnya, “Jiljaron. Kartu tepat. Masukkan kartu kedua!”
Kelimanya bersorak. Cherry merangkul erat Meisya. Revin menepuk-nepuk bahu Willy. Bahkan Andrew sendiri pun tak bisa menutupi rasa senangnya. “Masih tiga kartu, masih tiga kartu lagi!” katanya mengingatkan.
“Ayo Meisya, kartu keduanya yang mana?” Cherry menyemangati.
“Eh, aku tidak tahu,” jawab Meisya.
Cherry melongo. “Hah? Kau bercanda kan?”
“Aku benar-benar tidak tahu.”
Yang lainnya terdiam seketika.
“Padahal kukira kita sudah lolos,” lirih Revin.
“Heuh, kita harus berpikir mulai dari awal lagi.” Cherry melipat tangannya, mengambil pose pemikir keras. “Hei, kamu sedang apa?”
Andrew yang menunduk meneliti ketiga kartu yang tersisa menjawab, “Bukan apapun!”
“Kau bohong! Dari mimik wajahmu ketahuan kau telah menemukan sesuatu.”
“Tidak.” Andrew menantang Cherry.
Revin menyela, “Andrew, katakan, apa kamu ingin keluar dari tempat ini?”
Cibiran Andrew menjadi jawaban.”Tentu saja.”
“Kalau begitu. Beritahu kami, apapun yang kau mengerti tentang kartu-kartu tersebut, bodoh!”
Andrew menjilat bibirnya yang kering. Dipelototinya Revin. Pemuda yang dipelototi tidak mau kalah. Kepalan Revin bersiap, mengancam.
“Baiklah!” Andrew malas-malasan menerangkan. “Kartu pertama Hati. Lalu kartu kedua apa? Kalau Meisya berpikir awal dari kehidupan adalah kasih sayang. Maka kupikir bentuk lain dari kartu hati adalah kelahiran yang juga awal dari kehidupan. Tapi…”
Alis Revin terangkat. “Lalu? Kami mendengarkan kok.”
“Tapi… karena perkiraan Meisya tepat mengenai arti dari kartu tersebut, maka ada kemungkinan bahwa kartu kelahiran adalah kartu yang kedua. Bukan kartu yang pertama.”
“Aku tidak mengerti,” kata Cherry polos.
“Sudah kuberi tahu kan kau itu paling bodoh? Maksudku kartu Hati adalah kartu perasaan, dengan kata lain kartu ini melambangkan janin. Nah, perkembangan janin itulah yang menjadi kartu kedua yaitu kartu kelahiran.”
“Aku masih tidak mengerti!!!” teriak Cherry frustasi. “Kenapa tidak kau katakan saja yang mana kartunya!”
Andrew terkekeh mengejek, “SEKOP.”
“Kenapa ka-kartu itu?” tanya Willy.
“Skop dilambangkan sebagai tunas.”
“Semakin kau jelaskan semakin pusing aku jadinya.,” sergah Cherry. “Aku tidak tahan lagi. Kita coba saja memasang Sekop sebagai kartu kedua.” Diambilnya kartu itu dan diletakkannya di telapak tangan Andrew.
Andrew terperangah. “Kamu serius?”
“Kenapa tidak? Daripada cuma berdiri di sini selamanya.”
“Pa-pasang saja,” kata Willy.
“Kalian nekat juga ya. Jangan salahkan aku kalau kartunya salah.” Andrew menaruh kartu Sekop tepat di atas kartu Hati. Lingkaran kuning kembali bersinar.
Perintah Ostwald selanjutnya membuat bahu Andrew sakit karena ditepuk dengan keras oleh keempat anak lainnya. Perintah itu berbunyi, “Votran. Kartu tepat. Masukkan kartu ketiga!”
Wajah angkuh langsung dipasang Andrew. “Kubilang juga apa! Dugaanku selalu benar.”
“Kartu ketiga!” tandas Cherry. Dengan semangat meluap-luap diambilnya kedua kartu yang tersisa. “Yang mana… yang mana…”
“Hoi… hoi…” Revin menyipitkan matanya. “Kalau tak tahu, lebih baik mundur saja. Kamu memonopoli seluruh meja tuh! Kamu—!!!”
Tanpa Revin duga, penuh cengiran Cherry memasukkan sebuah kartu ke lingkaran kuning.
“Buoodooohhh—!!!” Lengkingan Revin membahana memekakkan telinga.
Secara refleks tangan Willy terangkat melindungi kepalanya. Meisya berjongkok sambil menutupi wajahnya. Dan Andrew? Dia berlari sangat kencang menjauh dari jembatan tersebut.
“Kita akan mati gara-gara gadis bodoh itu!” teriak Andrew panik.
“Taltarin. Kartu tepat. Masukkan kartu terakhir!”
“Hah?” Revin melongo. Otaknya serasa macet. “Willy, apa aku tidak salah dengar?”
“A-aku juga men-mendengarnya!” tanggap Willy.
Revin menunjuk ke Ostwald. “Pohon itu menyuruh kita memasukkan kartu terakhir?”
“Be-benar.” Willy membetulkan letak kacamatanya.
“Sama sekali tidak salah dengar!” tegas Cherry. “Kau pikir apa, Revin? Ha… ha… Kuakui otakku memang tidak begitu encer. Tapi jangan kira aku bisa semudah dan seceroboh itu mengorbankan jiwa semuanya.” Cherry berkacak pinggang menantang Revin.
“Kartu Wajik.” Meisya berdiri dekat meja. “Kenapa Cherry bisa benar?”
“Aku juga ingin tahu.” Andrew mendekat. Nafasnya terengah-engah.
“Wah si pengecut sudah datang rupanya. Sudah sampai mana larimu tadi? Ladang Jiwa? Atau jangan-jangan langsung terlompat ke Bumi?” Cherry tertawa lantang.
Mau tidak mau Meisya dan Revin ikutan cekikikan.
Wajah Andrew merah padam. “Jangan banyak omong. Aku ingin tahu alasanmu! Berani-beraninya kau memasang kartu tanpa ijin kami!” Andrew mencengkeram lengan Cherry.
“Lepaskan lenganku, bodoh! Aku berpikir! Kartu pertama Hati, kedua Sekop, ketiga apa? Kelahiran, tunas, lalu apa? Aku berpikir terus! Pertumbuhan! Itulah dia. Pertumbuhan itu diwakili Wajik yang netral. Pemikiranku sampai ke sana. Wajik memiliki empat sisi yang sama panjang. Itu menunjukkan ada keterikatan. Fase hidup manusia. Empat musim dalam kehidupan. Paling tidak resikonya 50:50 kan? Makanya kupilih Wajik. Dan lepaskan peganganmu sekarang juga, bodoh! Atau kugampar kau!”
Andrew melepaskan cengkeramannya. “Kau cuma beruntung! Revin, masukkan kartu terakhirnya.”
“Hah? A-aku tak tahu kartu terakhirnya itu yang mana.”
“Dasar tolol. Kartunya kan tinggal satu. Jadi pasti kartu yang tersisalah kartu yang terakhir. Dikemanakan otakmu.”
“Iya, ya…”
Meisya menggandeng tangan Cherry. “Syukurlah ini cepat selesai.”
Revin mengangkat kartu Keriting. Tangannya bergerak cepat mengarahkan kartu tersebut ke lingkaran kuning. Dan, tepat ketika si kartu hanya berjarak seinchi dari tumpukan kartu, tangannya berhenti. “Ada yang salah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The World
AdventureGaist, Taltarin, Votran dan Jiljaron. Keempat dunia ini memiliki kesamaan yaitu 'berada diambang kehancuran'. Lima anak ditakdirkan memiliki pilihan, sebagai 'penerus penghancuran' atau sebagai 'pelahiran kembali'. Takdir yang akan menuntun mereka p...