“Bagaimana rasanya, Cherry?”
“Enak sekali Nyonya Yoray-ion. Saya makan terlalu banyak ya?”
“Aku senang kau menyukainya, tapi tolong panggil aku Arvena saja.”
“Tapi…”
“Uh Ibu kan sudah bilang begitu. Jadi turuti saja,” kata Trangend. Anak laki-laki Yoray-ion yang lebih tua tiga tahun dari Cherry.
“Tapi… sepertinya kok kurang sopan.”
Yoray-ion tertawa. “Di dunia kami itu etika yang lumrah. Yah, kau bisa menambahkan Tuan atau Kakak kepada yang lebih tua. Namun yang terpenting jangan sampai melupakan gelar Ray. Bagi yang kedudukannya lebih rendah atau masih muda apabila berbicara dengan seorang Ray haruslah memanggil orang itu dengan gelar Ray-nya. Misalnya Bartez. Tak apa bagiku, atau Triod apalagi Del-grand tidak menyapanya dengan nama lengkap Ray Bartez. Tapi untuk kau, Trangend, Fliplan atau Intris haruslah menyapanya sebagai Ray Bartez.”
“Mengapa begitu?”
“Panjang ceritanya, Nak. Mungkin lain kali akan kuceritakan.”
Trangend merapikan alat-alat makannya.
“Mau kemana?” tanya Cherry.
“Latihan.”
“Latihan apa?”
“Oh semacam berlatih dengan senjata.”
“Bolehkah…?”
“Apa?” Alis Trangend terangkat.
“Melihatmu latihan?”
Trangend cengengesan. “Bagaimana, Ayah?”
Yoray-ion berpikir sejenak. “Kurasa tak apa-apa.”
“Eng, masalah itu?”
Yoray-ion tampak berpikir lagi. “Apa itu bereaksi kuat?”
“Aku belum memastikannya,” tukas Trangend.
“Lakukanlah…” putus Yoray-ion.
“Apa sih?” seru Cherry penasaran.
“Ikut saja deh,” kata Trangend.
Cherry mengikuti Trangend ke gudang senjata. Sebenarnya rumah itu sendiri sudah bisa dianggap sebagai gudang senjata karena di setiap sudutnya bercokol senjata-senjata aneh, baik itu sekedar busur panah sampai pada golok raksasa.
“OK, berdiri di sini.” Trangend menghentakkan kakinya ke suatu titik di lantai.
Cherry dengan patuh mengikuti petunjuk Trangend.
“Nah, kita mulai sekarang.”
“Tu-tunggu dulu!” kata Cherry gugup. “Kita ini sedang melakukan apa?”
Sambil menaburkan serbuk berwarna keemasan ke sekeliling Cherry, Trangend menjawab, “Kita akan meminta ijin penerimaanmu di rumah ini.”
“Penerimaan?”
“Ya… kau lihat sendiri di rumah ini ada lebih dari seratus macam senjata. Beberapa senjata memiliki kemauan sendiri. Seperti yang ini.” Trangend mengambil sebuah pedang. “Senjata dengan kemauan sendiri itu agak susah dikontrol. Kadang-kadang mereka bergerak sendiri, melukai tamu kami yang tidak mereka sukai. Makanya kita perlu meminta ijin supaya mereka tidak mengganggumu.”
Cherry ngeri membayangkan seandainya senjata-senjata di rumah itu mengincar dirinya.
Trangend nyengir melihat wajah Cherry yang pucat. “Tak perlu takut. Buktinya sampai sekarang kau kan tak terluka.”
Mendengarnya Cherry malahan semakin ragu.
“Kau siap?”
Cherry mengangguk pasrah.
Lalu Trangend menancapkan pedang yang diambilnya tadi sekitar satu meter dari tempat Cherry berdiri. Serbuk keemasan yang bertaburan mulai melayang memutari tubuh Cherry.
“Pejamkan matamu, Cherry.”
Merasakan serbuk tadi telah menyelimutinya, Cherry memejamkan matanya. Deru angin disusul teriakan kaget Trangend membuatnya membuka kembali matanya.
Pedang tadi. Pedang yang sebelumnya menancap di lantai sekarang berputar-putar di udara. Sesekali mencabik lantai.
Trangend tampak terduduk, pucat. Bibirnya megap-megap tak karuan. Dan matanya dibayangi ketakutan luar biasa. “AYAAAAAAAHHH!!!!!” teriaknya.
Seseorang mendadak memeluk Cherry yang tertegun, sambil menangis. Itu tangisan Meisya.
Seseorang yang lain meneriakkan suatu mantera. Seketika pedang tadi berhenti berputar. Mendarat di tangan pria yang berteriak tadi, Yoray-ion. “Kau tak apa-apa, Nak?” tanyanya pada Cherry.
“Ya, saya tak apa. Tapi Trangend? Dia berteriak keras sekali, apa dia terluka?”
“Tidak,” jawab Trangend pendek, masih gemetaran di belakang ayahnya.
Cherry mengamati Trangend yang dipeluk Arvena. Di wajah pemuda itu masih tersisa bayangan ketakutan.
“Che-Cherry, apa se-sebenarnya yang terjadi tadi? Ka-kami disuruh Tuan Yoray-ion menyusulmu ke si-sini, la-lalu kami menyaksikan sebuah pe-pedang berusaha me-membunuhmu.”
Willy. Rupanya dia juga ada di sini.
“Entahlah, kejadiannya cepat sekali, lagipula mataku tertutup tadi.” Cherry mengusap air mata Meisya. “Meisya sudahlah. Aku kan tidak terluka.”
“Di-dia khawatir sekali. La-langsung menerjangmu wa-walaupun ada kemungkinan dia juga terkena pe-pedang. A-aku juga khawatir,” tukas Willy.
Senyum Cherry terlihat lemah. “Terima kasih.”
“Kau bisa berdiri?” tanya Yoray-ion.
Cherry perlahan-lahan berdiri.
Yoray-ion menelitinya dengan seksama. “Kurasa memang tak apa. Tak ada luka sedikitpun. Kau bisa pergi kalau begitu.”
“Pergi?”
“Ya… katanya Willy ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Kemana?” tanya Cherry pada Willy.
“Te-telaga Erwethol,” kata Willy.
“Sekarang?”
“Kau si-siap?”
Cherry mengangguk. Berpamitan pada keluarga Yoray-ion. Arvena tampak sangat mencemaskannya. Sedangkan Trangend menunduk tak mampu memandangnya.
“Saya pergi dulu,” kata Cherry.
“Hati-hati lah, Nak,” seru Yoray-ion dan Arvena bersamaan.
Tak lama kemudian Cherry telah meninggalkan ruangan itu bersama Meisya dan Willy. Langkah ketiganya mulai menjauh.
“Apa yang terjadi saat prosesi Penerimaan tadi, Trangend!?” tukas Yoray-ion.
“Pedangnya bergerak sendiri, Ayah, sama seperti saat dia bermaksud menyerang orang-orang yang tidak disukainya.”
“Apa dia mengincar Cherry?”
“Aku kurang yakin… dia cuma berputar dan menghantam lantai.”
“Kalau begitu pedang ini sama sekali tidak ingin melukai Cherry.”
Arvena mendesah, “Lalu kenapa pedangnya menjadi liar?”
“Ada yang mau ditunjukkannya pada Cherry. Dan aku tahu apa itu.” Yorai-ion berjongkok di lantai yang tercabik-cabik.
Cabikan dan goresan di lantai itu membentuk relief.
Relief sebuah sayap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The World
AdventureGaist, Taltarin, Votran dan Jiljaron. Keempat dunia ini memiliki kesamaan yaitu 'berada diambang kehancuran'. Lima anak ditakdirkan memiliki pilihan, sebagai 'penerus penghancuran' atau sebagai 'pelahiran kembali'. Takdir yang akan menuntun mereka p...