Bab 2 Part 3

2.5K 54 6
                                    

Keenamnya berjalan dalam diam. Sesekali terdengar rintihan Willy atau helaan nafas Meisya. Andrew dan Cherry berjalan sambil saling memalingkan wajah.

Jalan yang mereka tempuh rusak penuh puing-puing. Tidak jarang puing-puing tadi menghalangi jalan mereka. Dan yang membuat kelima orang ini tercengang adalah bahwa Oldryk hanya mengibaskan tangan kirinya dan puing-puing tadi langsung beterbangan ke kiri dan kanan jalan.

Selanjutnya Revin melihat lebih dulu, sebuah sungai dengan jembatan kecil yang menghubungkan kedua jalan. Di tengah jembatan duduk seorang (atau seekor?) makhluk yang sangat aneh. Tubuh makhluk yang berwarna ungu itu sangat gendut. Hidungnya besar dan panjang. Matanya sipit. Dia memakai semacam rompi dan celana pendek. Tangannya ada empat , masing-masing memiliki 4 buah jari saja. Kakinya berbulu lebat berwarna coklat. Sepatu kirinya kusam dan yang kanan ditumbuhi lumut.

“Penjaga batas kanan…” jelas Oldryk yang melihat mimik bingung yang terpasang di wajah kelima pemuda-pemudi itu. “Dia makhluk Haber. Kita harus melaluinya untuk dapat menyeberang.”

Revin mencoba mendekati Haber yang diam saja dari tadi. Akan tetapi ternyata Revin tak dapat maju lagi setelah hanya berjarak 1 meter. Ada kekuatan yang terus menerus menahannya untuk maju.

“Percuma saja. Ada pelindung yang menyelimuti Haber.” Oldryk menurunkan Meisya. Berdiri tepat 1 meter di depan makhluk itu. “Berikan petunjukmu.”

Mata Haber berkilat. “Birunya langit Gaist, lembah yang berguncang Taltarin, laut sepi Votran, hutan baka kematian Jiljaron. Sebutkan kata kuncinya!” kata Haber serak.

“A-apanya?” kata Willy.

“Petunjuknya…” kata Oldryk. “Dengan menyebut kata kuncinya, Haber akan melepaskan pelindungnya dan membiarkan kita lewat. Sebagai catatan, aku sama sekali tidak mengerti petunjuk tersebut.”

“Tidak mengerti bagaimana?” seru Cherry. “Bukankah kau sudah sering melalui Menara ini?”

“Sayang sekali, Nona. Tak seorangpun pernah memakai jalan ini.”

“Jadi bagaimana? Apa kau sama sekali tidak tahu kata kuncinya?”

“Mana mungkin tahu. Mendengar petunjuk ini saja baru sekarang. Selama ini untuk pergi ke Kota Besar Barat kami selalu melalui pegunungan Zefflop. Tidak tersesat sampai ke sini!”

“Kenapa kita tidak berenang saja? Kan tidak perlu memaksakan diri menyeberang lewat jembatan ini,” saran Revin.

Meisya memekik, “Jangan! Aku tidak bisa berenang.”

“Meskipun bisa berenang, kusarankan kau tak nekad melakukannya.” Oldryk mengambil sebuah batu, melemparnya ke air. Permukaan air bergejolak. Kemudian terbentuk air mancur yang melontarkan kembali batu tadi ke atas. Detik selanjutnya batu tersebut meledak menjadi serpihan debu. “Air Peremuk. Mengerikan kan? Setiap benda yang masuk ke dalamnya akan hancur berkeping-keping.”

Keenamnya jelas memilih Haber.

“Bisa ulangi lagi petunjuknya?” mohon Cherry kepada Haber.

Haber memandang Cherry dengan bingung.

“Dia tidak mengerti. Kau harus mengatakan ‘Berikan petunjukmu’,” tukas Oldryk.

Sama seperti tadi, si Haber langsung mengucapkan empat kalimat petunjuknya.

Willy mendekati Haber dan berdiri di sebelah kiri Cherry sambil memberi isyarat agar yang lainnya diam. “Berikan petunjukmu.”

Sementara Haber mengulangi petunjuknya, kening Willy berkerut. Bibirnya komat-kamit tak karuan.

“Ngapain kamu?” lirih Cherry.

Meisya menepuk pundak Cherry dan menempelkan telunjuknya di bibir menyuruh Cherry supaya tak mengganggu.

“Kau menemukan jawabannya?” tanya Oldryk tidak sabar karena Willy terdiam sudah terlalu lama baginya.

Willy menggeleng. “Tidak.”

Yang lain mendesah, kecewa.

“Haber!” sentak Cherry.

Revin langsung mengoreksi “Kau harus mengatakan kata ‘Berikan petun—“

“Bukan, bodoh! Aku sedang menebak kata kuncinya!”

Cengiran Revin muncul. “Eh si gadis cerewet ini benar juga. OK. Aku coba menebak juga. Eng… Gaist?”

“Tebakan macam apa itu!?” ejek Andrew.

“Coba saja sendiri!” balas Revin.

Kata-kata aneh bermunculan dari mulut keenam orang itu. Sayang sepertinya cuma Willy, Meisya dan Oldryk yang serius menebak. Soalnya Revin, Andrew dan Cherry hanya menyebutkan kata-kata cacian untuk menghina satu sama lain.

“Ti-tidak bakalan berhasil kalau tidak di-dipikir,” keluh Willy, frustasi menebak.

Andrew terlihat sangat kesal. “Makhluk Haber sialan. Dunia Taltarin sialan. Ini gara-gara kata-kata di amplop biru itu. Sinar apanya yang—“

Mata Haber bersinar. “GAIST!” teriaknya.

Tubuh Andrew tertarik menembus tubuh Haber dan berhenti di ujung lain jembatan. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.

“He-hebat!” jerit Meisya.

“Anak manja itu berhasil…” tambah Revin, setengah tidak rela.

“Hoi, Andrew. Kata kuncinya tadi apa?” teriak Cherry.

Andrew yang baru sadar dirinya berhasil melalui Haber, mengangkat dagunya dan membuang muka. “Cari saja sendiri.”

“APA!?” jerit Cherry marah.

“Kurasa ‘sinar’,” tukas Meisya.

Cherry memalingkan wajahnya ke arah Meisya. “Ya?”

“Kulihat Haber langsung bereaksi saat Andrew mengatakan ‘sinar’. Mungkin itu kata kuncinya.”

Cherry terkekeh-kekeh. “Ayo kita coba. Siap-siap kau, anak bodoh. Aku akan segera menyusulmu. SINAR!”

Tak terjadi apa-apa. Haber tak bergeming sedikitpun. Cherry tetap berada di tempat dimana dia berada sekarang.

“Kok begini?” jerit Cherry. “Kenapa dia bisa?” Telunjuk Cherry terarah pada Andrew yang tertawa terbahak-bahak. “Sedangkan aku tidak!”

Willy memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. “Ku-kurasa kata kuncinya ti-tidak bisa dipakai dua kali.”

“Ti—dak.” Cherry menepuk dahinya tanda putus asa.

“A-aku juga mendengar An-Andrew menyinggung masalah amplop biru. Sa-satu-satunya amplop biru yang kuingat, yang membawaku ke-ke dunia i-ini bertuliskan ‘Waktu lembut ke—…” Willy mengalami hal yang serupa dengan Andrew. Dalam sekejap dirinya sudah berdiri di samping Andrew yang menatapnya seakan-akan dia adalah ‘si perusak kesenangan’.

“Kyaaa…!” Cherry menjerit sejadi-jadinya. “Si kacamata juga berhasil.”

“Amplop itu!” Revin menggenggam tangan kanan Oldryk.

“Heh, amplop apa?”

“Kalimat itu!” Meisya menggenggam tangan kiri Oldryk.

“Amplop biru… amplop biru… amplop biru,” ulang Cherry. Tangannya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Aduuuh. Aku lupa apa isinya.”

“Tenggelamkan kedangka—“ Dengan lembut Meisya tertarik ke seberang. Tersenyum ramah pada Willy dan Andrew.

“Kyaa… Meisya curang!” Cherry melemparkan pandangan sebal pada Meisya yang melambaikan tangan dari seberang.

Tak cuma itu, sebab Revin segera menyusul Meisya. “Kalau tidak salah… ada kata… ‘Pasir’-nya deh.” Merasa tubuhnya mulai tertarik, Revin bersorak. “Yo, gadis cerewet, aku duluan!”

The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang