Chapter FifTeen

11K 1K 32
                                    

@YJskpresent.

。。*  。。

Taman itu ternyata tidak seperti yang Jaejoong bayangkan sebelumnya. Terdapat beberapa pasangan muda mudi yang berjalan atau sekedar duduk di bangku taman dengan segelas anggur di tangan mereka.

Bukankah seharusnya mereka berada di dalam untuk menikmati pesta. Bukannya di sini, memenuhi tempat yang ingin Jaejoong jadikan tempat persembunyian untuk sementara waktu.

Berjalan memutari mansion, langkah Jaejoong membawa pemuda itu kearah gazebo yang di selimuti tanaman rambat. Jaejoong menyukai tempat ini. Bahkan tidak hanya sekali atau dua kali ia kabur ke gazebo ini hanya untuk menenangkan diri ketika kabur dari ibu tirinya.

Air mata itu dengan lancang menetes dari sudut mata Jaejoong. Pemuda itu mengusap kasar tanpa mempedulikan lengan kemejanya yang basah mengingat apa yang sudah ia dengar di dalam beberapa saat lalu.

Ah, ia lupa memakai jasnya. Angin malam pergantian musim bisa saja membuatnya kedinginan atau sakit. Tapi apa pedulinya ketika hatinya lebih sakit. Tidak ada. Karena Jaejong merasa mati rasa kecuali ia menyadari dirinya salah menilai ibu tirinya.

Jika boleh jujur Jaejoong juga merindukan perhatian Ji Hyo. Hanya saja ia selalu menghindari wanita itu selama tiga tahun terakhir untuk menghindari tatapan yang ia takutkan terlihat dari mata ibu yang ia sayangi. Tatapan benci yang mungkin saja ada di sana, atau tatapan mencemooh yang bisa kapan saja muncul, Jaejoong tidak akan kuat menanggung tatapan benci itu lagi.

Tatapan marah yang di tunjukan Ji Hyo padanya tiga tahun lalu masih menghantui Jaejoong. Ia tidak ingin percaya bahwa ibu yang ia anggap sebagai ibu kandungnya itu menatapnya seperti kedua kakek Song yang menatapnya penuh kebencian. Namun itu lah yang di lakukan ibunya malam itu, malam di mana Ji Hyo mengatakan bahwa Jaejoong bukan lah putra kandung wanita itu.

Kenangan itu kembali berkelebat di benak Jaejoong. Ia sadar bahwa ia nakal, ia sadar jika semua anggota keluarga ini menghawatirkan dirinya yang belum juga kembali pada malam badai yang menakutkan tiga tahun lalu.

Jika di ingat ingat memang sewajarnya ia di marahi. Karena mereka menyayangi Jaejoong, hal itu adalah kenyataan yang tidak dapat ia hindari. Jaejoong sadar sepenuhnya akan hal itu. Ia tidak pernah sekalipun di anggap anak buangan. Kedua orang tuanya, kakaknya, kakek Kim selalu menjaga dan menyayangi dirinya sampai nyaris mendekati kata di manjakan.

Ya Tuhan. Ia sudah delapan belas tahun, seharusnya ia sudah mampu berpikir dewasa, seharusnya ia mampu menjadi pria muda yang bertanggung jawab dan sadar bahwa selama ini ibu tirinya selalu menjaga sikap, menjaga jarak darinya bahkan penuh ke hati-hatian saat bicara satu dua patah kata agar tidak menyakiti ataupun menyingung perasaannya.

Bodohnya ia karena tidak menyadari hal itu sebelum ini. Ibu tirinya masih lah wanita yang sama seperti sebelum malam pengakuan itu terjadi. Ji Hyo mencintainya seperti putra kandungnya.

“Aku juga menyayangimu Mama.” Air mata itu kembali menerobos tanpa permisi. Namun kali ini bukan tangis kesedihan melainkan kebahagiaan yang tak mampu ia bayangkan sebelumnya. Ibunya menyayanginya, itu lah yang terpenting. Tapi ia harus pergi dari rumah ini agar tidak ada lagi bertikaian yang akan terjadi di antara kedua kakek song dan orangtuanya sendiri. Demi mereka, demi kakek Kim Jaejoong akan pergi.

“Sendirian?”

Jaejoong memalingkan wajah. Menghapus air mata dengan tergesa menyadari kehadiran orang lain di gazebo itu. “Seperti yang kau lihat.” ujarnya serak.

Catch MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang