Joanna POV.
Ini hari pertamaku bekerja di kantor Richard. Bule sinting itu membuatku benar-benar naik darah. Berani-beraninya ia mengecup pipiku. Aaargh...aku benci padanya. Kalau saja bukan karena Devan, aku sudah melarikan diri ke pedalaman Papua atau bersembunyi di hutan Amazon.
Aku mengamati sekeliling ruang tempatku bekerja. Ruangan ini cukup luas. Lebih luas dari ruanganku di perusahaan Devan yang kutempati berempat bersama Ryu, Joshua dan Arjun.
Mereka bertiga adalah teman-teman seperjuanganku selama ini.Ryu, laki-laki keturunan Jepang yang bergabung dengan perusahaan Devan sejak tujuh tahun lalu. Ia sahabat sekaligus kakak buatku. Josh dan Arjun sering mengolokku mirip dengan Ryu karena kami berdua sama-sama bermata sipit meskipun mataku masih lebih lebar dari mata Ryu.
Joshua, papanya seorang diplomat berkebangsaan Inggris, mamanya orang Indonesia keturunan Cina. Dia yang sejak awal aku bergabung dengan perusahaan Devan selalu membimbingku. Dia salah satu sahabat Devan.
Arjun, laki-laki keturunan India-Canada-Indonesia itu bergabung dengan team design enam tahun lalu. Sifatnya yang easy going membuat suasana tempat kami bekerja menjadi lebih semarak.
Baru sehari meninggalkan ruang kerja lamaku, aku sudah kangen pada mereka bertiga. Aku kangen dengan suasana hangat yang mereka ciptakan.
Mereka bertiga sudah seperti saudara bagiku. Kami sering menghabiskan siang beramai-ramai di cafe depan kantor dan membuat cafe itu heboh dengan kebisingan kami.
Sesekali Devan bergabung dengan kami. Tapi kami lebih sering hanya berempat.
Kembali pada kenyataan yang kuhadapi sekarang, kupandangi meja gambar di dekat meja besar. Ruangan ini hanya dibatasi sekat kaca tebal dengan ruangan Richard. Suka tidak suka, disinilah tempatku sekarang. Setidaknya sampai pekerjaanku di sini selesai.
Dengan segera aku meletakkan tas tanganku ke atas meja, lalu aku mulai membuat sketch diatas kertas gambar, tenggelam dalam imajinasi dan daya khayalku yang tinggi, juga perhitungan-perhitungan yang harus pikirkan masak-masak sambil sesekali mempelajari berkas yang sudah disiapkan oleh sekretaris Richard.
.
..
...
-----*£*-----
...
..
.
"Kau bahkan tidak keluar untuk makan siang, sexy," aku berjenggit kaget mendengar suara yang tiba-tiba menggema diseluruh penjuru ruanganku.
Richard bersedekap menyandar di kusen pintu, memperhatikanku yang fokus pada pekerjaanku.
"Tidak bisa mengetuk pintu dulu?" sindirku kesal.
"Aku sudah mengetuk pintu, tapi kau sama sekali tidak menyahut," ujarnya membela diri, lalu menarik kursi di depanku dan duduk menyilangkan kaki dan bersedekap di sana dengan matanya yang terus mengawasiku.
"Kau tidak perlu mengawasiku seperti itu. Aku tidak akan lari dari pekerjaanku," kataku ketus. Risih rasanya terus-menerus diperhatikan.
"Aku lapar,"katanya. Kunaikkan sebelah alisku.
"Kalau lapar, kenapa malah kemari? Disini tidak ada makanan yang bisa kau makan," sahutku acuh, berharap ia segera pergi.
"Aku bisa memakanmu," cengirnya membuat emosiku naik.
"Bisa tidak kau jaga bicaramu?" tanyaku dingin menahan diri untuk tidak meledak.
"Khusus untukmu, tidak!" astaga, apa yang harus kulakukan padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
BILLIONAIRE'S LOVE (SUDAH TERBIT)
RomanceBuku bisa didapatkan di Shopee & e-book. Part di watty tidak lengkap. Aku tidak bisa mundur, Joanna. Begitu juga kau. Sejak awal sudah aku katakan, kau milikku!