BAB 6

2.2K 237 12
                                    

Berani-beraninya dia bicara seperti itu padaku! pikir Jaejoong berulang kali.

Dia mengira kemarahannya akibat kata-kata perpisahan Yunho itu akan berkurang setelah tidur semalaman, namun ternyata ketika dia bangun, amarahnya malah bertambah. Pria itu memanfaatkan kondisinya yang rapuh dan tidak diap karena kepergiannya yang mendadak. Dia memikat, amat sangat tampan, gagah dan terbiasa dengan para wanita yang bertekuk lutut di hadapannya.

Yah, dia akan segera tahu bahwa Kim Jaejoong kebal terhadap pesonanya. Setelah nereka membeku barulah Jaejoong akan tidur seranjang dengan Jung Yunho.

Jaejoong memasang tampang muram ketika menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Lirikan selintas ke dalam kamar Jiyool membenarkan ramalannya bahwa gadis kecil itu pasti sudah bangun dan bersama sang ayah.

Dia mendorong pintu ruang bar yang memisahkan dapur dari ruang makan dan berjalan dengan gaya acuh tak acuh ke ruangan yang bermandikan cahaya matahari tersebut. Pemandangan yang menyambut begitu tenang dan menyejukkan sehingga kemarahannya langsung lenyap dan kekesalannya pelan-pelan mencair.

“Selamat pagi,” sapa Yunho sambil tangannya memperagakan bahasa isyarat. “Jiyool sarapan sereal dan aku makan roti panggang dan kopi. Kau mau apa?” Ya Tuhan, dia tampan sekali, pikir Jaejoong. Rambutnya berkilau karena cahaya perak sinar matahari yang menerobos jendela. Lengan kemeja sportnya digulung sampai siku dan ujung kemejanya mencuat dari jins. Ancaman yang dilihatnya di wajah pria itu ketika dia meninggalkannya tadi malam telah digantikan senyum cerah yang bahkan lebih memperdaya.

“Selamat pagi,” balas Jaejoong, lalu membungkuk untuk memeluk Jiyool yang asyik menyendokkan sereal ke dalam mulut.

Anak itu menoleh pada Jaejoong dengan penuh semangat dan berkata dalam bahasa isyarat, “Ada Daddy, Jaejoongie.”

“Aku tahu,” jawab Jaejoong. “Apa kau merasa sedih?”

“Tidaaak,” kata Jiyool. Dia senang mengucapkan kata itu dan kata itu mudah diucapkan, jadi dia memanjangkan pengucapannya.

“Apa kau marah?” tanya Jaejoong. Beberapa hari yang lalu mereka belajar tentang emosi-emosi dasar, jadi Jaejoong sekarang menguji muridnya.

Jiyool mengikik dan berkata, “Tidaaak.”

“Kalau begitu bagaimana perasaanmu karena ada Daddy?”

Jiyool diam sebentar dan mengingat-ingat bahasa isyarat yang benar. “Aku bahagia,” katanya dan tertawa saat Jaejoong bertepuk tangan. Lalu ia bertanya pada gurunya dalam bahasa isyarat, ‘Apa kau bahagia ada Daddy?’

Jaejoong cepat-cepat menegakkan tubuh, berharap Yunho tidak mengawasinya. Harapan tinggal harapan. Alis tebal dan ekspresif pria itu terangkat.

“Bagaimana? Jawab pertanyaan Jiyool. Apa kau bahagia aku ada di sini?”

Pria itu memojokkannya. Jiyool mendongak memandangnya dengan penuh harap. Dengan segan-segan Jaejoong mengisyaratkan dan berkata, “Ya. Aku bahagia ada Yunho.” Jiyool puas dan kembali memakan sereal.

“Mungkin kau perlu mengecek alat bantu dengarnya. Aku tidak yakin sudah memasangnya dengan benar,” kata Yunho. Jaejoong menyibakkan rambut ikal Jiyool dan mengecek penempatan dan tombol volume alat itu yang dimasukkan ke dalam telinga Jiyool. “Benar kok,” katanya.

“Bagus. Kau mau sarapan apa?” Yunho bertanya sambil mengoleskan mentega banyak-banyak di roti.

“Aku tidak biasa sarapan,” ujar Jaejoong. “Kopi saja sudah cukup.”

Mata Yunho meyusuri tubuhnya dengan pandangan menilai yang membuat Jajoong merah padam. “Kau begitu langsing apa karena menahan nafsu makan?”

Untuk menghindari tatapan Yunho yang tajam, Jaejoong pergi ke meja dapur menuang kopi dengan tangan gemetar. Ketika melewati Yunho, pria itu menepuk bokongnya dan selama beberapa detik tangannya menempel disitu. “Menahan nafsu bisa membuatmu gelisah, marah-marah dan cepat tua.”

Eloquent SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang