BAB 7

3K 246 17
                                    


Selama beberapa hari berikutnya tidak ada kejadian luar biasa. Jaejoong terus mengajari Jiyool di pagi hari sementara Yunho sengaja tidak mau mengganggu.

Jaejoong senang karena kerut-kerut kelelahan di sekitar mata pria itu sedikit demi sedikit menghilang dan pria itu tampak lebih rileks daripada ketika datang. Yunho tidak lagi memakai mantel gaya Eropa dan kemeja bermonogram. Pakaiannya sekarang jins belel yang malah menampilkan keperkasaannya. Kemeja dan topi koboi membuatnya tampak seperti penduduk asli pegunungan.

Yunho menggodanya dan melontarkan berbagai sindiran tapi tidak lagi melakukan pendekatan terang-terangan. Jaejoong merasa lega. Tapi kadang-kadang ia kesal pada kemampuan pria itu mengabaikannya saat ia sedang memperhatikan pria tampan itu.

Suatu pagi menjelang siang Junsu meminta izin untuk membawa Jiyool dan kedua anaknya piknik. Jaejoong senang dengan tawaran itu dan tau Jiyool pasti akan sangat menyukainya. Tanpa ragu sedikit pun Jaejoong mempercayakan pengawasan Jiyool pada Junsu.

Berjalan-jalan di hutan bukanlah ide yang jelek, pikir Jaejoong sambil mengunyah roti isi yang meruapakan makan siangnya. Udara musim gugur menyenangkan dan pohon-pohon aspen berwarna keemasan. Dia memutuskan untuk menikmati hari ini.

Jaejoong lalu ke ruang cuci untuk memberitahu Yunho bahwa dia akan pergi tapi ia terperangah ketika melihat apa yang tengah dilakukan pria itu.

“Sedang apa kau?” Jaejoong terkesiap.

Mendengar suaranya, Yunho berpaling dan meringis. “Hai, mana Jiyool?”

“Pergi piknik dengan Junsu,” jawab Jaejoong sekenanya.

Lalu dia menegakkan tubuh dan bertanya lagi dengan nada tajam. “Sedang apa kau?” pria itu tengah memegang salah satu bra tipisnya.

“Kelihatannya sedang apa?” Yunho bertanya kasar, menekankan tiap kata. “Aku sedang memilah-milah cucian. Rumah ini demokratis. Aku tidak keberatan ikut bekerja.” Dia mengangkat tali bra itu dan mengamatinya dengan alis berkerut.

“Tapi letakkan itu punyaku –“ Jaejoong begitu terpana melihat Yunho memegang pakaian dalamnya sehingga tidak sanggup bicara.

“Yah, aku tau ini bukan milik Jiyool,” ejek Yunho. “Dan aku tau pasti ini bukan punyaku.” Dia membaca label bra itu. “Dusty rose. Kenapa mereka tidak menamainya ‘pink’ saja sih? Dan ini,” dia meraih celana dalam tipis dan mungil ‘daffodil’. Kenapa bukan ‘kuning’ saja? Begitu kan lebih gampang diucapkan.”

“berhentilah memegang-megang pakaian dalamku, seperti psikopat!” teriaknya. “akan kucuci sendiri pakaianku.”

“tenang, Jae,” kata Yunho dengan ketenangan menjengkelkan. “aku tau pakaian-pakaian dalam seperti ini tidak boleh dicuci dengan mesin. Aku bahkan tau semua ini harus dicuci dengan air dingin dan deterjen lembut. Kau lupa aku bintang opera sabun? Tidak percuma aku bertahan di situ sampai tujuh tahun!” dia mengolok-oloknya dan Jaejoong mengentakkan kaki dengan kesal.

“Yunho –” Jaejoong menggeram.

Pria itu melihat label bra lagi. “Tiga puluh empat B. Tidak terlalu besar bukan?” dia bertanya. Matanya berhenti di payudara Jaejoong dan memandangnya dengan kritis. Kalaupun pria itu betul-betul menyentuhnya, efeknya tak mungkin lebih terasa dari ini. “tapi, kalau dipikir-pikir,” dia melanjutkan dengan objektif, “Kurasa kau akan kelihatan lucu kalau memiliki payudara besar. Bisa-bisa kau terjungkal karena keberatan.”

Yunho berbicara dengan suara tak peduli, tapi kilat di matanya menunjukkan sebaliknya. “Coba kita lihat,” katanya dan melemparkan pakaian dalam tadi ke mesin cuci.

Sebelum Jaejoong dapat menebak maksudnya, Yunho sudah mendekat sambil memejamkan mata. Dengan berpatokan pada perasaan, tangannya secara akurat menemukan payudara Jaejoong dan diam di situ. Telapak tangan Yunho perlahan-lahan membuat gerakan berputar. Dia membelainya dengan lembut, menekan jari-jarinya. Ketika merasakan reaksi yang diharapkan akibat godaan ibu jarinya, dia membuka sebelah mata dan menatap Jaejoong.

Eloquent SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang