"Jiyool. Jiyool."
Rambut ikal itu bergoyang ketika gadis kecil itu menoleh ke arahnya suara yang tidak begitu jelas didengar telinganya, yang diketahui sebagai namanya itu, alat bantu dengarnya tersembunyi di balik rambutnya yang mengilat.
"Pakai serbetmu," Jaejoong mengisyaratkan sambil bicara, lalu tersenyum. "Enak?" tanyanya. Dia senang saat Jiyool mengisyaratkan ya dan berusaha mengucapkannya.
Mereka berada di cafe yang terletak di stasiun Seoul, menunggu pemberitahuan bahwa kereta ke Gwangju yang akan mereka tumpangi siap berangkat. Jiyool sedang menghabiskan sepiring ice cream vanila sementara Yunho dan Jaejoong mengawasinya dengan cermat.
"Kemajuannya selama dua minggu begitu pesat, rasanya sulit untuk dipercaya, Jae."
Jantung Jaejoong seolah berhenti berdetak ketika Yunho mengucapkan namanya, namun ia menyembunyikan reaksinya. "Ya, memang," jawabnya tenang menutupi perasaan sebenarnya, ia akan pergi, ia tak akan bisa bertemu pria itu lagi, untuk urusan bisnis sekalipun. Sejak malam Yunho menciumnya, dia sengaja dingin dalam semua pertemuan mereka.
Mereka harus terus bercakap-cakap sampai dia dan Jiyool boleh menaiki kereta. Dia tak sanggup menghadapi suasana diam yang kaku, "Ingat, jangan terlalu berharap," Jaejoong memperingatkan.
"Baik," Yunho berjanji dengan sungguh-sungguh.
"Aku tahu kau akan berbuat sebaliknya," kata Jaejoong, tertawa dan pria itu membalas senyum manisnya.
Dua minggu terakhir ini berlalu cepat sekali. Yunho membereskan segala sesuatunya dengan sigap. Dia membayar sewa apartemen Jaejoong, walaupun tanggal jatuh temponya masih tiga bulan lagi. Dia menyelesaikan semua urusan yang berhubungan dengan perjalanan mereka dan selalu memberitahu Jaejoong tentang persiapan yang dilakukan di Gwangju.
Jaejoong sudah mengirim lebih dulu pakaian musim dingin Jiyool dan miliknya. Sementara beberapa perlengkapan rumah tangga yang dimilikinya, diberikan atau dijualnya pada temen-temannya. Yunho memberitahunya bahwa rumah di Gwangju itu berperabotan lengkap. Barang-barang pribadinya dipak dalam beberapa kardus dan dimasukkan ke bagasi pesawat bersama koper-kopernya.
Dr. Kang menyesali kepergian Jaejoong setelah dia begitu lama mengajar di sekolahnya, namun tahu betapa Jaejoong sangat sesuai mengajar secara privat dan betapa Jung Jiyool sangat membutuhkan perhatian seperti itu. Dia mendoakan keberhasilan Jaejoong.
Jaejoong sengaja bersikap formal kalau bertemu dan berbicara di telepon dengan Yunho. Topik pembicaraan mereka selalu berkisar pada Jiyool atau pengaturan yang dilakukan untuk perjalanan dan kenyamaan mereka di Mirotic.
Pada pertemuan pertama mereka setelah Yunho menciumnya, pria itu menggenggap tangannya dan berkata perlahan, "Jae, tentang malam itu-"
"Tidak usah dijelaskan, Yun." Jaejoong menarik tangannya. "Krasa kita berdua terhanyut suasana emosional di sekolah. Tolong jangan disinggung lagi."
Mata pria itu mengeras, dan kerut di kedua sisi mulutnya menegang tapi dia tidak mengatakan apapun. Mulai saat itu, sikapnya sekaki dan sedingin Jaejoong. Pernah, ketika mereka menyeberangi jalan ramai dipusat perbelanjaan Jeju, pria itu memegang sikunya, tapi langsung melepaskannya begitu mereka sampai di seberang. Sampai sekarang dia tak pernah menyentuhnya lagi.
Dengan putus asa Jaejoong berusaha menahan gairah liar yang menderu di seluruh pembuluh darahnya tiap kali dia melihat pria itu. Perasaannya baru akan tenang jika mereka terpisah jauh. Dia yakin dia hanya korban pesona dan ketampanan Yunho yang memang telah merebut hati banyak wanita. Dia akan mengatasi mabuk kepayang ini seperti dia berhasil melupakan semua cintanya sejak remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eloquent Silence
FanficJaejoong mendapati tugas mengajar Jiyool seorang anak tuna rungu. Ternyata ayah anak itu adalah Jung Yunho seorang aktor terkenal pujaan para wanita.Pekerjaan itu mengharuskan Jaejoong tinggal bersama Jiyool di rumah peristirahatan Yunho. Rupanya Yu...