22

5.6K 165 8
                                    

Perasaan yang terus mengganjal pikiran Rico, membuatnya tidak berkonsentrasi saat memmbaca berkas sebelum ia tanda tangani. Pikirannya masih kalut, ia harus menjelaskan semua kesalah pahamannya. Tidak benar, Rico harus segera menyelesaikan semuanya. Sebelum hal-hal yang tidak di-inginkan terjadi.

"Sin, kamu cancel jadwal saya. Kalau ada meeting. Alihkan dengan Rendy." Titah Rico terkesan dingin dan tegas.

Sekertaris itu mengangguk patuh dengan perintah bos besarnya. Tidak ada satu orangpun yang berani menatap Rico, kecuali ia sendiri yang meninta lawannya berbicara.

Rico, mengeluarkan mobil Pajero Sport hitamnya keluar basement. Berbaur dengan macetnya jalanan. Hampir tengah hari pagi. Jalanan ini tetap saja penuh sesak.

Manusia, semakin bertambah. Lapangan yang semakin sempit. Tidak seimbang dengan lahan dan manusia yang mendudukinya.

Sampai dirumah, keadaan rumah kosong. Pukul 10 pagi. Pagi-pagi begini, Al sudah kemana? Tidak mungkin ia kabur lagi kan? Rico fikir Alzzurah sudah cukup dewasa.

Pandangan Rico teralih, ke pintu utama rumahnya. Al dengan anak 2 tahunnya. Tangan istrinya yang memegang piring kotor makan Qilla, dan anak itu berjalan dengan satu tangannya dituntun sang Bunda.

Ia terkejut, melihat suaminya saat pagi begini sudah ada dirumah. Tidak seperti biasanya.

"Udah pulang?" Cetusnya dingin. Ia mengangkat anaknya. "Salim dulu Ayah dek." Qilla mengangkat tangan, memberikan salam beserta ciumnya kepada sang Ayah.

"Dari mana anak Ayah, hem?" Gantian Qilla yang meminta Rico untuk menggendongnya. Sang istri diam. Membiarkannya. Ia bertolak ke dapur meletakkan piring makan Qilla.

Seperti biasa, Alzzurah mengajak Qilla keluar rumah, untuk makan bersama dengan anak-anak tetangga yang seumuran dengan dirinya.

Al, tidak perduli. Jika Suaminya seorang CEO memberi makan anaknya dengan cara seperti itu. Toh, itu bukan suatu kesalahan. Ia hanya ingin anaknya tumbuh kembang dan mengenal dunia luar.

"Mam," gumamnya

"Mam dimana? Kok keluar-keluar mam-nya? Banyak abu sayang diluar."

"Cium ayah dulu," Qilla mendekatkan bibirnya dengan bibir Rico. Mengecup sekilas.

"Anak ayah udah mandi? Kok ayah belum cium wangi harum sih?"

"Dah."

"Siapa yang mandiin?"

"Nda."

"Dedek udah bobok?"

Anak kecil itu menggeleng, dia masih asik memainkan dasi sang Ayah.

"Bobok ya? Biar cepet gede?"

"Ndak."

"Kok ndak? Bobok dong, nanti ikut ayah, kita jemput kak Kia sama bang Gigih. Okey?"

Ia mengangguk.

"Key."

Entah jurus apa, yang ia gunakan untuk anaknya bisa tertidur secepat itu. Al lagi berberes dikamar mereka. Ia membiarkannya. Qilla dan Kia sangat dekat dengan Rico.
Berbanding terbalik dengan Gigih yang lebih dekat dengan dirinya. Mungkin Al, akan membuat sekutu dengan Gigih untuk melawan Rico.

"Ay," gumam pria itu. Dasi yang tadi ketat dileher dan sangat rapi. Kini berubah awukan dan kusut. Qilla penyebabnya.

"Duduk, dengerin penjelasan aku." Ia masih diam. Duduk ditepi ranjang mereka.

"Aku nggak mau masalah ini, jadi boomerang di keluarga kecil kita." Rico diam sejenak. "Aku tau, aku salah. Nggak belain kamu saat Nara menjelekan kamu."

Because I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang