11. Pengakuan Sesungguhnya

38.6K 1.5K 233
                                    

Abella memperhatikan rumah besar nan kokoh dihadapannya, rumah berwarna putih berpadu coklat ini terlihat begitu asri. Dengan taman depan rumah yang indah dan banyak tanaman hijau dan bunga-bunga yang indah.

Sudah lama sekali Abella tidak menginjakkan kaki dirumah ini dan sepertinya ini juga yang terakhir kalinya untuk Abel menginjakkan kakinya dirumah ini.

Rumah cinta Evan dan Raysa.

Pada saat satpam membukakan gerbang dan mobil Merci abu-abu milik Evan memasuki pelataran parkir, satpam dirumah Evan tak henti-hentinya menatap Abella dengan pandangan yang heran.

Abella menunduk, tidak mau bersitatap dengan satpam yang menjaga rumah Evan. Pasti dia heran dengan kedatangan Abella yang duduk satu mobil dengan Evan, apalagi melihat dua bayi yang ia gendong dengan susah payah ini.

Evan mengeluarkan dua troller bayi yang menjadi satu untuk meletakkan Sena dan Sean yang sedang tertidur. Lalu dengan mulut yang masih terdiam Evan menggendong Sena lalu menidurkannya di troller dengan perlahan, lalu ganti Sean yang ditidurkan di troller. Begitu selesai, Evan mulai mengajaknya masuk ke rumah.

"Ayo masuk, Bel." Ajak Evan, lelaki itu sudah berjalan mendahului Abel.

Abel hanya mengangguk perlahan dan mengikuti Evan dengan langkah perlahan sambil mendorong troller bayinya. Abel sangat takut, benar-benar takut sampai kakinya bergetar dan tenggorokannya serasa tercekat.

Ting tong! Ting tong!

Abella masih diam, menunggu Evan yang memencet bel rumahnya. Walaupun Abel tahu, Evan pasti tahu sandi intercom rumahnya. Tetapi memilih memencet bel rumah, entah apa maksudnya.

Ting tong! Ting tong!

Bel intercom berbunyi, tanda dibukanya pintu.

Begitu pintu putih itu terbuka, hati Abel serasa ditekan. Ia ingin menangis, ia ingin pulang, Abella benar-benar tidak sanggup.

"Evan? Abel? Kok kalian-" ucapan Raysa terhenti, mata hitam indahnya bersitatap dengan mata Abel.

Bahkan, sorot mata indah Raysa mampu menusuk hati Abella dengan sangat dalam.

Abella baru menyadari dalam hati, kamu benar-benar jahat Abella.

***

Ekspresi Raysa datar saat melihat foto-foto dalam Album berwarna putih bersih dengan ukiran bunga berwarna merah hati pada sampulnya. Entah mengapa ia kembali mengenang masa-masa pernikahannya bersama Evan.

Semua foto-foto berceceran dikasur Raysa, mulai foto Raysa dan Evan saat masih SMA, foto saat mereka berpacaran, foto saat pernikahan mereka, bahkan foto saat honeymoon mereka di Eropa.

Enath mengapa Raysa sedang ingat mengingat masa-masa kebahagiaan mereka kembali. Entah mengapa semuanya tidak seperti dulu. Walau Raysa belum tahu mengapa. Tangan putih Raysa mengelus foto saat dirinya dan Evan berciuman dengan baju pengantin mereka dan para keluarga yang tersenyum bahagia.

Pada saat itu, Raysa masih memiliki harapan bahwa ia bisa mempunyai anak dengan Evan. Anak yang lucu-lucu dan bisa membuat suasana rumah ini menjadi ramai dan hangat. Anak-anak yang bisa menemani Raysa saat Evan keluar kota atau keluar negeri.

Tapi, itu semua hanyalah mimpi sekarang, bagaimana Raysa bisa hamil? Kalau ia sudah tidak mempunyai rahim. Keajaiban tidak akan datang, karena bagaimanapun dua kantong rahim Raysa telah diangkat dan bagaimanapun ia tidak akan bisa punya anak.

Tapi sekarang Raysa tidak menangis, ia sudah lelah menangis. Menangis pun dan berteriak kepada tuhan kalau ia ingin sebuah keajaiban pun tidak akan datang, ia sudah tidak memiliki harapan.

I Love Your HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang