pertama dan terakhir (part 2)

679 36 2
                                    

Lian sekarang sedang merebahkan tubuhnya di ranjang kesayangannya itu. Dirinya lelah setelah seharian jalan jalan bersama kakak, sahabat dan juga pacarnya. Ia masih sangat merasakan bahagianya waktu tadi. Ah andai saja tadi ada kedua orang tuanya. Yah orang tuanya. Andai saja hari ini ada kedua orangtuanya pasti Lian akan sangat bersujud syukur karena mereka ada di samping Lian. Tapi semua itu hanya khayalan Lian saja. Bahkan di hari ulangtahun Lian saja orang tuanya tidak datang untuk merayakannya bersama. Jangankan datang, sekedar mengucapkan lewat telpon saja tidak di lakukan kedua orangtuanya. Kadang Lian berfikir, apakah ia dan abangnya ini masih di anggap anak oleh mereka?

Jarum jam sudah menunjukkan angka 10 malam. Lian masih saja berbaring di ranjangnya. Menatap langit langit kamarnya. Ia menghembuskan napas berat. Jujur saja, saat ini ia sangat mendambakan kehadiran orangtuanya di hari spesialnya ini. Ia ingin seperti anak anak normal lain yang di beri kasih sayang orangtua, di nasehati jika ada kesalahan, di lindungi jika ada bahaya. Ah, Lian sangat mendambakan itu. Mungkin dari luar dirinya kelihatan baik baik saja, dengan segala fasilitas yang ia punya sekarang. Tapi siapa yang tau jika seorang Lian itu adalah gadis yang rapuh. Gadis yang masa remajanya buruk. Gadis yang sejujurnya hancur lebur, bak kayu yang keropos termakan usia. Di sentuh sedikit saja langsung patah. Untung dia menghadapi ini semua tidak pernah sendiri. Ada abangnya yang selalu menjaganya. Hanya abangnya satu satunya orang yang dia punya. Keluarganya. Yang menyayanginya. Dan Lian percaya itu. Tiba-tiba saja sekelebat bayangan diri seorang Rano datang di pikirannya. Ah kemana anak itu? Sejak kemarin Rano tidak mengganggu atau pun menyuruh nyuruh Lian untuk datang ke rumahnya. Entah kenapa anak itu tiba-tiba saja menghilang. Ah sudahlah. Lian tidak ingin berpikir panjang soal hal itu.

Jgreggg!!

Tiba-tiba pintu kamar Lian di buka oleh seseorang. Yah siapa lagi kalo bukan abang tersayangnya itu.

"Gak tidur?" bangyan menghampiri Lian

"Egg, gak bisa tidur" jawab Lian seadanya

"Why?"

"Nothing" Lian tersenyum samar

"Sehebat apapun elo, serapat rapatnya elo nyembunyiin semua akan keliatan dengan gue ngelihat sorotan mata lo"

"Iya deh iya, gue ngaku. Gue kepikiran tentang sesuatu"

"About?"

"Papah sama mamah" Lian menatap abangnya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Mamah sama papah emang kenapa?"

"Coba deh bang, pas hari spesial gue kek giini mamah sama papah gak dateng, bahkan buat ngehubungin gue lewat telpon buat sekedar ngucapin selamat aja gak sempet? Apa mereka sesibuk itu? Apa mereka masih nganggep gue sama elo anak nya bang? Apa mereka itu ..." Lian tak melanjutkan perkataannya. ia tidak sanggup. Dan tumpahlah air matanya yang sejak tadi ia tahan agar tidak jatuh. Vian yang melihat adiknya seperti itu tidak mengatakan apapun. Ia langsung merengkuh dan memeluk adiknya dengan sangat erat. Ia tahu adiknya itu sangat rapuh jika sudah menyangkut kedua orangtuanya. Sebenarnya dirinya sendiri lebih rapuh dari pada adiknya. Sebenarnya dirinya hancur berkeping-keping menerima kenyataan ini. Tapi sebisa mungkin ia harus tetap kelihatan baik baik saja di depan adiknya itu. Kalo dirinya tidak seperti ini lantas siapa yang akan jadi sandaran adiknnya yang rapuh itu?

Vian menangkup wajah Lian "Udah dong dek, jangan nangis. Jangan sedih. Masih ada bangyan kan di sini? Bangyan akan selalu jagain kamu. Kamu jangan nangis ya? "

Lian hanya mengangguk pelan

"Semua itu ada waktunya. Orang di dunia ini gak selamanya sempurna, gak semuanya lengkap, gak semuanya utuh. Pasti ada di antara yang mereka miliki itu tidak sempurna. Atau bahkan lebih jauh dari kata sempurna. Kita harusnya bersyukur, ya kan? Kalo ada apa apa cerita sama abang. Jangan di pendem sendiri" Vian mengelus puncak kepala Lian dengan penuh kelembutan.

-AFTER RAIN-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang