15 - VVIP

20.2K 1.9K 89
                                    

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Galang dan Lintang pamit ketika keluarga Dion dan Gina telah tiba. Mereka menyusuri koridor rumah sakit menuju mobil. Galang tersenyum melihat Lintang yang menguap lebar. Langkah Galang melambat. Membiarkan cewek itu berjalan mendahuluinya. Tubuh Lintang pun sontak menegang tatkala Galang memijat kedua bahunya sambil memaksanya untuk terus berjalan.

"Good job, Bu Dokter," puji Galang seraya terus melakukan aksinya.

"Ada bakat juga lo jadi tukang pijat," cetus Lintang terkikik. Tapi gadis itu berkata jujur, lelah yang terasa pada bahunya sekarang perlahan-lahan sirna berkat Galang.

"Bayar," tagih Galang garang.

Lintang sedikit menolehkan sisi wajahnya untuk menatap Galang. "Boleh, gue bayar pake cinta ya," ujar Lintang sambil menyengir.

Galang melepaskan kedua tangannya dari bahu Lintang dan mensejajari langkah gadis itu. Lintang sontak memundurkan kepalanya kala wajah Galang semakin mendekat. Cowok itu mengulas senyum mematikan. "Jam segini KUA udah buka belum sih?"

Wajah Lintang memerah. Jantungnya gonjang-ganjing. Ia kagok seketika. Seakan-akan ada demo besar yang terselenggara dalam rongga dadanya. Ditambah lagi senyum Galang yang disorot langsung oleh cahaya rembulan itu mungkin bisa menggetarkan hati semua insan.

Melihat Galang yang terus tersenyum, Lintang sontak menoyor pipi cowok itu. "Apaan deh!" katanya sok judes.

Lintang mempercepat langkahnya menuju mobil. Meninggalkan Galang yang kini terkekeh geli. Galang pun mengekorinya, membuka mobil dan mendapati Lintang duduk dengan selimut yang menutup sampai kepala. Galang mencoba menyingkap selimut Lintang tapi gadis itu menahannya kuat-kuat. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang masih semerah delima.

Galang menyerah. Ia tertawa kecil. Diaturnya kursi mobil yang Lintang duduki agar lebih rendah. Lintang sontak terlonjak karena kaget. Ia membuka selimut dan mendapati wajah Galang yang masih tersenyum minta dikarungin. Lintang membeku kala Galang menahannya untuk bangkit. Pria itu menaikkan selimut yang ia pakai sampai ke leher. Tangannya lalu terulur untuk merapikan anak rambut gadis itu.

"Selamat tidur, Big baby," cetus Galang seraya menepuk pelan puncak kepala Lintang.

"Nggak usah manis-manis," semprot Lintang.

"Kenapa?" tanya Galang meledek. "Tenang aja, gue manisnya pas kok."

"Auk ah! Cepetan jalan!" titah Lintang galak.

"Iya, Nyonyah."

Galang terkekeh dan mulai melajukan mobilnya. Kini suasana di dalam mobil itu mulai senyap. Lintang terus saja menguap dikuasai rasa kantuk. Gadis itu perlahan mulai jatuh tertidur. Galang meliriknya sekilas lalu tersenyum tipis. Satu tangannya mengusap rambut Lintang dengan penuh rasa sayang. Perlakuan Galang itu sedikitpun tak menggangu tidurnya, justru serta merta membuat Lintang merasa begitu nyaman. Sentuhan itu mengantarkannya semakin jatuh terlelap. Dalam dan kian mendalam.

Oh, dangdut sekali.

***

Sepatu mengkilat itu turun dari sebuah mobil mewah dengan angka nomor satu pada plat berwarna merahnya. Aura penuh wibawa tergambar jelas pada sosok tersebut. Cuaca dingin pada dini hari ini tak mengganggunya sama sekali. Beliau berjalan memasuki istana negara bersama anggota Paspampres bersetelan rapi yang setia mengiringinya.

Sosok itu teramat sibuk menghabiskan hari untuk mencoba sedikit demi sedikit menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada pada negara yang ia cintai. Melaksanakan pembangunan. Menyatukan segala perbedaan. Menjadi penengah yang selalu ia semogakan adil. Membuat keputusan sebijaksana mungkin. Memberantas kejahatan dan tindak kriminal, dan sebagainya. Beliau berusaha membenahi setiap persoalan dan mencari jalan keluar terbaik demi kemaslahatan rakyat. Juga mengerahkan kemampuannya secara maksimal untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Derap langkahnya menggema tatkala menapaki bangunan tersebut. Dinding istana negara yang kental akan nuansa nasionalisme karena dihiasi oleh ornamen kebangsaan. Orang nomor satu tersebut kemudian memasuki ruangan kerjanya. Ada begitu banyak buku yang tersusun pada rak-rak yang menjulang.

Beliau membuka setelan jas dan menyisakan kemeja putih yang melekat pada tubuh bidangnya. Kemudian lengan kemeja itu digulung sampai siku. Atensinya kemudian tercurah pada sesosok pria dengan setelan rapi dan alat komunikasi yang menempel di telinga yang turut memasuki ruangan itu.

"Ini adalah dokumen perkembangan kasus yang Anda minta, Pak Presiden," kata pria itu dengan suaranya yang begitu khas. Sebuah suara yang sarat tergambar oleh seorang anggota kemiliteran. Tegas dan penuh wibawa.

Pak Presiden menyambut dokumen itu dan segera menelitinya. Kasus itu adalah kasus besar yang harus segera dituntaskan. Terkait dengan sindikat narkoba kelas internasional yang telah berkontribusi besar dalam pengedaran zat terlarang. Negara ini telah diultimatum darurat narkoba. Zat haram itu telah disalahgunakan oleh berbagai kalangan. Dari orang dewasa sampai dengan remaja. Dari kalangan masyarakat awam sampai dengan pejabat tinggi. Bahkan publik figur yang menghiasi layar-layar kaca pun terjerat oleh benda haram tersebut.

Sebelum menjadi Presiden, Welny Effendi merupakan Jenderal Kepolisian yang telah lama berkecimpung dalam kasus-kasus kriminal. Khususnya pemberantasan narkoba. Ia merupakan anggota kepolisian penuh prestasi yang berhasil menangani kasus-kasus besar. Namun ada banyak risiko yang harus ia tanggung. Apalagi setelah didaulat menjadi pemimpin sebuah negara.

Kasus itu juga terkait akan peristiwa kelam yang menimpa putri kandungnya, Berlian. Ia telah memutuskan untuk melindungi putrinya itu dengan menghapus segala identitas Berlian sebagai putri seorang Presiden. Berlian bersembunyi dengan pengawalan ketat dan berhasil melindunginya sembilan tahun terakhir sebelum ancaman itu kembali datang. Ancaman yang berbunyi bahwa pihak itu telah menemukan Berlian dan tanpa segan-segan akan melenyapkan nyawanya.

Maka dari itu beliau mengatur segala rencana untuk menyelamatkan putrinya sekaligus menangkap bandar narkoba kelas kakap tersebut. Ada banyak pihak yang terlibat dan bekerja sama untuk menjalankan misi rahasia ini. Galang dan Lintang adalah orang yang dipercaya secara langsung untuk mengemban misi ini. Melalukan penyamaran dan terjun langsung dalam jarak dekat.

Setelah selesai membahas perkembangan kasus itu beliau mempersilakan sosok tersebut undur diri.

"Adipati," panggil Pak Presiden sebelum sosok itu membalikkan badan.

"Siap, Pak."

"Beristirahatlah," perintah Presiden dengan senyum hangat. Sosok itu mengangguk hormat dan meminta sang Presiden untuk dapat beristirahat pula.

Adipati. Sosok yang telah menjadi tangan kanan presiden dalam rentang waktu yang lama. Adipati adalah pemimpin dari pengawal pribadi yang tergabung dalam pasukan pengamanan Presiden. Usia pria itu terhitung muda namun kemampuannya sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.

Sepeninggal Adipati, Presiden mengambil foto pada brankas yang ada di ruangannya. Foto putrinya, Berlian. Pria itu menitikkan airmata. Ia kira menempatkan Berlian di tempat yang ia anggap aman dan merahasiakan fakta yang sebenarnya adalah hal yang terbaik untuk dilakukan demi keselamatan hadis itu. Namun, ternyata perhitungannya meleset. Waktunya bersama sang anak malah kian berkurang dan bahaya tetap saja akan datang.

Tangannya kembali terulur untuk mengambil sebuah foto lain. Foto seorang gadis kecil memakai kalung dengan bandul matahari bersinar. Gadis itu bukanlah Berlian, namanya Jingga Aprilia Cahaya Effendi. Namun, gadis itu telah tiada. Ia menghilang, karena ulah para seteru sang Ayah.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah hanya tak ingin kamu bernasib sama seperti kakakmu. Ayah tak ingin."

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Police Love Line (Back to High School) [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang