Ana Sophie
Pagi hari yang cerah. Sinar mentari merambat pelan, masuk melalui dedaunan jendela. Kabut tipis masih terlihat jelas di luar sana. Dalam waktu singkat, aku sudah siap mengumpulkan barang-barangku yang tak seberapa. Aku sedih dan berat hati saat hendak meninggalkan rumah sederhana yang terlalu banyak melukiskan kenangan.
Pak Helmi sudah menjemputku dengan mobil travel. Kami pun berangkat menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk bertolak menuju ke Kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah.
Aku duduk di kursi nomor 27. Kami menggunakan pesawat kelas ekonomi ATR 72-600 yang berisi kira-kira 70 orang penumpang. Terlihat beberapa penumpang telah masuk ke dalam pesawat. Hampir semuanya sudah duduk. Pak Helmi duduk disebelahku. Sedangkan di sisi seberang ada dua pria yang sedang asyik bercakap tentang sesuatu yang amat menarik perhatianku. Suaranya tinggi.
"Ah, kawan, sungguh pertunjukan yang luar biasa tadi malam. Aku sangat menyukai dia." Pria berkumis tebal itu menunjukan gerakan tangannya ke arah kursi depanku persis.
Aku penasaran dan berdiri sedikit untuk melihat siapa yang ada di sana. Oh, sungguh kejutan yang luar biasa. Ternyata di depanku itu, seorang penyanyi seriosa sekaligus pianis terkenal. Namanya Mega Juliet.
Kemudian terdengar lagi suara pria asing di sisinya. Seorang pria berkacamata itu berkata. "Aku sangat mengidolainya. Sungguh keajaiban apa yang diberikan Tuhan kepadaku hari ini. Akhirnya aku bisa satu pesawat dengannya."
Aku berpaling ke arah depan kursi kedua pria aneh tadi. Di sana tampak duduk seorang pria berpakaian santai dengan sorot mata yang tajam menatap ke depan. Aku tahu betul siapa dia, dia merupakan asisten Mega Juliet. Sedangkan yang duduk di sebelahnya lagi, mungkin penata rias penyanyi itu. Mega Juliet sendiri duduk bersama laki-laki yang mungkin manajernya. Aku tahu betul siapa mereka-mereka itu. Aku juga mengidolai mereka.
"Apa kau pernah naik pesawat sebelumnya?" Pak Helmi bertanya.
Aku menggeleng pelan.
"Ku harap lebih baik kau tidur saja."
"Anda sendiri, bagaimana?" tanyaku tertarik.
"Aku lebih suka menghabiskan waktu di dalam pesawat dengan membaca novel."
"Novel? Anda suka membaca novel?" Aku mengernyitkan dahi, melirik ke sebuah buku tebal yang sedang dipegangnya. "Cerita tentang apa ini?"
"Cerita tentang pencuri. Kau tahu Arsene Lupin kan? Karakter fiksi yang populer di masa lampau."
"Tidak. Aku tidak tahu sama sekali siapa Lupin itu? Yang aku tahu hanyalah Harry Potter."
"Harry Potter ya." Pak Helmi kembali memasangkan kacamata dan tenggelam dalam bukunya.
Aku memilih untuk memperhatikan gerak-gerik orang yang ada di sekitarku. Tepat di belakangku mendadak ada sedikit ketegangan. Seorang pria bertubuh besar hendak menyalakan rokok di dalam pesawat, untung saja pramugari sigap menegurnya. Aku tertawa dalam hati. Mungkin orang itu baru pertama kali naik pesawat.
Di belakang kursi pria asing yang duduk di sisiku, nampak dua pria yang terlihat menarik perhatianku. Dua pria itu sibuk sekali membahas sesuatu. Pria yang satu sudah tua, agak gendut, berkumis tipis, dia memegang sebuah kertas ditangannya, dan bicaranya pelan sekali, sehingga aku tak mendengarnya sama sekali. Lalu, pria yang satunya usianya masih amat muda, bahkan dia juga mempunyai tampang yang lumayan oke. Pemuda itu mengernyitkan dahinya, dari raut wajahnya tampak sedang memikirkan sesuatu yang teramat berat baginya.
Aku akhirnya memutuskan untuk duduk dan bersikap wajar. Pesawat sudah terbang sejak tiga puluh menit yang lalu. Tiba-tiba pria asisten penyanyi itu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke toilet. Setelah itu Mega Juliet juga berjalan ke toilet, namun dia mendapat iringan dari asistennya. Mungkin takut kenapa-napa.
Beberapa menit terasa jenuh sekali. Pramugari sudah berkeliling menawarkan cemilan dan teh maupun kopi. Tapi aku tidak berselera makan maupun minum. Asisteen penyanyi itu mencoba membujuk penyanyi itu untuk mencicipi makanan itu, namun dengan berat hati, Mega mau mencicipi brownies cokelat itu.
"Bagaimana?" kata Asisten. "Enak kan?"
"Ya," jawabnya singkat.
Namun, Lima menit berselang. Sebuah kejadian tak mengenakan terjadi tepat di depan kursiku. Seorang laki-laki yang mungkin manajer penyanyi seriosa itu berseru panik.
"Mega! Mega!"
Asisten dan penata riasnya segera bangkit dan mendekat. Mereka berseru menakutkan, membuat semua penumpang berdiri menoleh ke arah mereka.
Aku menelan ludah. Pak Helmi disebelahku juga sampai menjatuhkan buku novelnya karena saking terkejutnya mendengar kalau penyanyi seriosa itu tewas di tempat.Sedangkan dua laki-laki yang dari tadi tampak asyik memikirkan sesuatu segera bangkit dan merangsek.
Pemuda itu berseru. "Semuanya! Jangan mendekat! Biar kami periksa!"
"Hei, siapa kau!" Manajer itu membentak keras.
Lalu, pria berkumis tipis disebelah pemuda tadi menunjukan kartu pengenal polisi. "Kami polisi."
"Polisi?" Wajah manajer itu berbubah menjadi pucat pasi.
"Ya. Biarkan kami menyelidiki kematian mendadak ini."
Aku berusaha bertanya. "Apa ini kasus pembunuhan, Pak Polisi?"
Pak Polisi itu menatapku sekilas, dia kemudian berbisik ke pemuda itu. Pemuda itu berdiri dan menatap ke sekitar, lalu dengan mantapnya dia berkata. "Ini kasus pembunuhan!"
"Apa? Pembunuhan? Mana mungkin?" Asisten Mega terkejut, dia langsung mengusap dahinya yang berkeringat.
"Apa menurutmu dia di racun, Edo?" Pak Polisi itu bertanya. Aku memperhatikan mereka berdua takzim.
Pak Helmi kemudian ikut berjongkok di sebelah mereka. "Apa kalian berdua detektif?"
Pemuda yang bernama Edo itu menyeringai aneh sambil menggarukan kepalanya. "Eh, bukan. Kami hanya petugas polisi biasa saja."
"Ya. Seperti itu." Pak Polisi berkumis tipis itu juga ikut menyeringai.
Mereka berdua tampak aneh dan penuh kemisteriusan yang membuatku ingin mengenalnya lebih lanjut.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT)
Mystery / Thriller[REVISI VERSI CETAK] [Beberapa Part sudah dihapus] [Open Pre-Order] [Detektif Edo]#2 Sebuah pesan misterius di terima oleh pihak kepolisian. Pesan tersebut datangnya dari sekomplotan pencuri yang dikenal dengan nama "Jubah Hitam" pada masanya dulu. ...