Ana Sophie
Semua orang menunjuk simpatinya kepadaku. Aku menghargai sikap itu, meskipun aku masih merasa bingung. Aku tidak terlalu merasa sedih. Aku tak pernah merasa berat hati kehilangan Ibu. Mungkin karena aku sudah siap akan hal itu jauh-jauh hari. Ibu yang kondisinya terus melemah dan sering sakit-sakitan, membuatku harus menguatkan hati untuk siap ditinggalnya.
Aku akan merasa lebih senang jika aku bisa memakamkannya di taman dekat rumah klasik peninggalan nenek yang tak pernah dipakai oleh Ibu selama hidupnya. Tetapi demi kebiasaan umum, aku terpaksa membuatkannya batu nisan yang rapi dari kayu, di perkuburan setempat yang berada di belakang puskesmas kecil. Beberapa teman-teman kuliahku memberi hiburan selama masa berkabung, dengan datang ke tempat tinggalku untuk ikut berdoa dan memberikan semangat kepadaku.
Beberapa lama kemudian barulah kusadari bahwa akhirnya aku mendapatkan apa yang selama ini aku idam-idamkan. Tentang rahasia warisan nenek yang selama ini disimpan Ibu dengan sangat baik. Yah, sebelum beliau meninggal, pada malam harinya, beliau telah memberikan dua benda berharga dan sebuah surat ahli waris untuk ditunjukan sebagai bukti kepada pengawal yang bertugas menjaga rumah klasik peninggalan nenek.
Aku telah menjadi yatim-piatu, dan boleh dikatakan tak punya sanak saudara lagi walau sebenarnya itu tak dipermasalahkan, karena aku punya banyak harta peninggalan yang tak akan pernah habis.
Seminggu setelah kematian Ibu tercinta. Aku menyadari kebaikan orang-orang disekitar. Tetangga sebelah rumahku berusaha membujukku untuk bekerja sebagai penjaga toko di kota. Dia punya beberapa toko besar di kota ini. Tapi aku menolaknya secara halus, karena rencanaku yang sesungguhnya sudah ada didepan mata. Aku ingin sekali mengunjungi rumah klasik Beethoven itu.
Seorang pegawai negeri yang usianya dibilang masih amat muda dan tampangnya cukup menarik perhatian, berusaha membujukku untuk menggurus perpustakaannya yang kotor dan tak terawat. Dia memberikan berbagai macam alasan yang tak masuk akal. Mengapa dia tidak menagih biaya hutang Ibu yang masih ada? Akhirnya dengan banyak lika-liku dikatakannya bahwa sebaiknya aku menikah dengannya.
Aku terkejut sekali mendengar pernyataan darinya. Walau memang aku akui kalau orang itu amat baik dan tampan, tapi entah gejolak dalam hatiku ingin menolaknya mentah-mentah, karena rencanaku belum terselesaikan.
Aku merenung sebentar, lalu kutanyakan kenapa dia ingin menikah denganku. Dia tampak malu sekali pada waktu itu. Lalu katanya dia sangat memerlukan seorang istri yang bisa membantunya membangunkan setiap paginya. Sama sekali aku belum siap dalam hal itu. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Usia yang masih muda untuk menggapai mimpi. Aku ditawarinya hidup aman dan nyaman. Kalau kuingat kembali hal itu, aku merasa telah berbuat tak adil terhadap pria tampan itu. Dia benar-benar mencintaiku apa adanya.
"Anda baik sekali," kataku. "Tapi saya tidak bisa menikah dengan seseorang tanpa benar-benar saya mencintainya."
"Apakah kamu tidak...."
"Tidak!" Aku memotong dengan suara tegas.
Dia mendesah. "Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Melihat dunia luar dan menggapai mimpiku yang tertunda," jawabku tanpa rasa ragu sedikitpun.
"Nona Sophie, kamu masih muda sekali. Kamu belum mengerti kerasnya dunia luar."
"Ya. Saya mengerti betul tentang kehidupan keras di luar sana. Tentang para penjahat dan pencuri jubah hitam itu. Para jambret. Para bedebah kecil, dan saya bukan anak ingusan yang sentimental saya ini manusia lemah yang hanya bisa menangis! Anda akan menyadari itu, bila anda menikah dengan saya."
"Cobalah pertimbangkan dulu."
"Tidak bisa."
Dia mendesah lagi. "Aku punya usul lain. Aku punya kenalan seorang wanita sepertimu. Usianya juga kira-kira hampir setara denganmu. Dia tinggal di Kalimantan. Dia membutuhkan seorang teman bisnis sepertimu. Seorang gadis seumuran denganmu. Bagaimana kalau kamu ke sana?"
"Tidak, Mas. Aku akan pergi ke luar negeri secepatnya. Mungkin ke Tokyo, London, atau Paris. Di sana banyak impian yang ingin sekali aku gapai. Aku akan membuka mata lebih luas, dan pasti akan terjadi sesuatu keajaiban. Kelak, anda akan mendengar aku ada di Istanbul atau mungkin di New York."
Itulah percakapanku dengan pemuda pegawai negeri tampan yang membosankan sekali. Kemudian datanglah Pak Helmi, seorang teman akrab Ibu, beliau datang dari luar kota khusus untuk menemuiku. Dia juga sudah tahu akan harta warisan mewah itu. Ibuku selalu mempercayainya. Ibuku juga bilang kepadanya, jika usiaku sudah menginjak dua puluh dua tahun, maka beritahukanlah anakku satu-satunya yang paling cantik itu.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ibumu, Sayang." Pak Helmi mengusap rambutku lembut.
Dia memang sudah ku anggap sebagai ayah angkat. Wajahnya yang menyenangkan, sorot matanya yang tegas, tubuhnya agak sedikit rapuh karena usia. Usianya kini menginjak lima puluh dua tahun. Yang aku sukai darinya adalah, tutur katanya yang lembut dan halus, tanpa ada unsur pura-pura.
Tanpa kusadari dan tanpa ada niat untuk munafik, aku pun bersikap sebagai anak yatim-piatu yang amat kehilangan.
Dia kembali berkata. "Sophie. Bisakah kau dengarkan pernyataan dariku sebentar?"
Aku paham apa yang akan dibicarakannya. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Seberapa jujurnya dia kepadaku soal harta warisan itu.
"Kau tahu kan, Ibu bukan keturunan sembarang orang. Ibumu mempunyai harta warisan yang luar biasa, Sophie. Dan sekarang sudah saatnya saya memberitahukan hal yang sebenarnya."
Dia pun mulai menjelaskan panjang lebar tentang silsilah keluargaku, yang sebenarnya sudah pernah diceritakan oleh Almarhum Ibu sebelum beliau meninggal.
"Aku mengkhawatirkan masa depanmu, Sophie," katanya lembut. "Aku ingin membantumu sebisa mungkin, aku tidak ingin para saudara-saudaramu yang rakus itu menganggu hidupmu."
"Tapi mereka tidak tahu kan kalau aku mendapatkan harta warisan itu?"
"Kata siapa, Sophie?" Pak Helmi menatapku serius.
Aku memilih diam. Dia pun melanjutkan lagi. "Asal kau tahu, Sophie. Berita tentang kekayaan yang dimiliki oleh Ibumu sudah tercium oleh mereka."
"Apa?" Aku melipat dahi. Terkejut bukan main.
"Ya. Entah mereka tahu dari mana. Yang jelas, mereka sedang berusaha menyusun rencana untuk bisa bertemu denganmu di sini, dan bersandiwara." Pak Helmi mengusap rambutnya yang sedikit beruban.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanyaku cemas.
Pak Helmi menghela napas sejenak. "Sebaiknya besok pagi-pagi. Kita harus berangkat ke rumah peninggalan nenekmu itu. Besok akan ku jemput kau di rumah ini. Dan persiapkan semua perlengkapan pentingmu. Besok kita akan terbang ke Semarang. Kita harus bergegas menghilang dari sini. Karena dalam satu-dua hari lagi, mereka pasti akan datang ke sini menemuimu."
Aku mengangguk ragu. "Tapi..."
"Apa kamu masih meragukan keberadaan saya di sini?" Pak Helmi memegangi lembut bahuku.
"Tidak," kataku. "Baiklah. Besok aku akan ikut pergi. Aku juga sebenarnya sudah merencanakan ini semua. Pergi dari sini, dan tinggal di rumah klasik peninggalan nenek."
"Jangan lupa, bawa dua permata palsu itu dan juga surat wasiat dari Ibumu sebagai tanda bukti kalau kau anak kandungnya." Pak Helmi berkata mantap.
"Baik. Aku sudah tahu itu."
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT)
Mystery / Thriller[REVISI VERSI CETAK] [Beberapa Part sudah dihapus] [Open Pre-Order] [Detektif Edo]#2 Sebuah pesan misterius di terima oleh pihak kepolisian. Pesan tersebut datangnya dari sekomplotan pencuri yang dikenal dengan nama "Jubah Hitam" pada masanya dulu. ...