05 - Pembunuhan! Bukan Kecelakaan!

2.4K 259 8
                                    

Edo Silalahi

Sebenarnya aku masih memikirkan hal yang aneh dari surat kedua yang di kirim oleh seseorang yang mengaku sebagai Lupin Millenium itu. Setahuku, seorang karakter seperti Lupin tidak akan memberikan kode semudah itu kepada pihak kepolisian. Sangat aneh sekali. Pasti ada suatu muslihat di baliknya.

     Inspektur Bram sudah datang ke rumah sewaku. Dia datang bersama sopir pribadinya. Seperti biasanya, mobil sedan klasik berwarna merah marun yang hari itu terlihat mengkilap sekali. Tas ransel sudah siap ku gendong. Aku hanya membawa beberapa pakaian ganti dan pakaian khusus untuk acara-acara resmi.

     Aku sudah duduk di samping Inspektur Bram. Kami berdua duduk di belakang sopir. Mobil sudah berjalan ke luar dari gang sempit, masuk ke jalanan protokol kota, ramai dan padat sekali pagi itu. Beberapa orang sibuk, ada yang bekerja, ada pula yang sedang mencari kerja, berjalan ke sana-ke mari tak jelas.

     Aku menyandarkan tubuh dan menatap ke depan. "Apa anda sudah memberitahukan soal kepulauan Karimun Jawa kepada pihak kepolisian, Inspektur?"

    Inspektur tersedak. "Oh, tidak. Untuk sementara, aku menjaga rahasia ini. Sebaiknya kita selidiki berdua lebih dulu."

     "Anda sepertinya yakin sekali dengan jawaban yang ku berikan?"

     "Ya. Kepulauan Karimun Jawa. Benar kan, itu jawaban dari teka-teki surat kedua itu?"

     "Ya, mungkin. Aku tidak tahu pasti. Seorang yang mengaku sebagai Lupin tidak mungkin memberikan teka-teki semudah itu. Tapi ada perasaan aneh yang masih mengganjalku selama ini, Inspektur."

     Inspektur menoleh dan menatapku tanpa berkedip. "Perasaan apa yang kau maksudkan?"

      "Aku masih bingung dengan keterkaitan surat-surat itu. Kenapa si orang yang mengaku Lupin itu bisa tahu soal surat tantangan dari komplotan Jubah Hitam itu?"

     Inspektur tertawa. "Tentu saja tahu, Edo. Kan, surat tantangan itu sudah pernah dibahas oleh kepala kepolisian dan diliput oleh beberapa televisi swasta, maupun surat kabar, dan tidak mengherankan lagi kalau ada orang yang mengirim surat itu, kan? Aku juga baru menyadari tadi malam saat menonton televisi."

    "Jadi," kataku, "orang yang mengaku Lupin itu pasti tahu betul siapa komplotan Jubah Hitam itu. Pasti dia tahu gerak-gerik komplotan itu hendak beraksi di mana?"

     "Ya, mungkin seperti itulah," ujar Inspektur. "Kenapa aku tidak menyerahkan surat kedua itu kepada kantor pusat, yah, kau tahu kan, bisa jadi berita hangat, bisa jadi komplotan pencuri itu mengurungkan niatnya untuk beraksi. Aku sudah dua langkah lebih maju untuk berpikir, Edo."

     "Ya, bagus sekali, Inspektur. Tapi aku masih heran..." Aku terdiam sesaat, otakku masih bingung mencerna keterkaitan komplotan pencuri Jubah Hitam dan seseorang yang mengaku sebagai Lupin Millenium itu.

     Kami sudah tiba di bandara Soekarno-Hatta tepat waktu. Setelah Inspektur mengurus biaya dan pembayaran, kami bisa duduk santai di dalam pesawat. Kami akan terbang menuju ke Ibu Kota Jawa Tengah, yakni Kota Semarang. Sudah lama sekali aku mengidamkan kota itu, terutama sangat penasaran dengan simpang lima yang setiap detiknya selalu ramai.

     Di dalam pesawat. Inspektur kembali mengajakku berdebat soal kalimat di surat kedua, terutama tentang kalimat yang berbunyi 'Beethoven Sonata No.8 in C Minor', sungguh masih belum jelas sekali bagiku. Apa arti dari kalimat yang juga merupakan judul lagu terkenal dari komposer asal Belanda, Beethoven.

     Asyiknya membahas soal itu, kami tiba-tiba dikejutkan dengan jeritan dari seorang penumpang yang cukup membuat bulu kudukku merinding. Aku dan Inspektur terdiam, lantas berpaling ke asal muasal suara itu berasal. Beberapa penumpang lain sudah menggerumun dan saling berseru ketakutan.

Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang