04 - Surat Misterius

2.6K 267 15
                                    

Edo Silalahi

Pagi buta, yang kenapa disebut buta, karena kalian bisa jatuh tersuruk-suruk di jalanan gelap. Yah, pagi itu ponsel-ku berdering. Suaranya menghancurkan mimpi indahku, padahal sedang dalam klimaks-nya. Aku menguap, melepaskan diri dari selimut tebal, bergegas mencuci muka dan membuka tirai--jendela.

     Saat ku sambar ponsel yang ku taruh di atas meja, ternyata ada nama Inspektur Bram yang memanggilku tadi. Aku meregangkan tubuh sejenak, dan lagi-lagi Inspektur menelpon. Tanpa pikir panjang, langsung ku angkat

    "Halo, Inspektur. Ada apa? Jam berapa sekarang?" Aku mendegus.

     Inspektur tertawa di sebarang sana. "Maaf, aku pasti menganggumu lagi ya. Ini mendesak. Kalaupun tidak mendesak, aku tidak akan menghubungimu, Edo."

     "Jangan katakan soal kasus pembunuhan lagi. Aku tidak mau ikut campur dengan kasus pembunuhan. Menjijikan sekali rasanya."

     Inspektur lagi-lagi tertawa, membuatku bergidik. "Kau ini, jangan cepat menebak seperti itu. Ini bukan kasus pembunuhan yang lazim."

     "Apa? Jelas sekali, pasti anda meminta saya untuk ikut menyelidiki kasus pembunuhan lagi kan?" Aku berkata dengan suara yang agak kasar dan kesal.

     "Bisakah jam sembilan nanti kau datang ke rumahku untuk berbicara face to face?"

     "Ah, anda belum memberitahuku soal kasus apakah itu?"

     "Kau juga nantinya akan tahu, dan pasti kau akan sangat tertarik untuk ikut terjun langsung ke lapangan," kata Inspektur di balik telepon. "Jangan khawatir, Edo. Ada bonus besar jika kau berhasil memecahkannya."

    "Bonus?" Aku tersedak.

     "Ya. Kau bisa jadi jutawan. Ini bukan sembarang kasus."

     "Baiklah. Aku akan ke sana. Tapi, ingat... kalau itu kasus pembunuhan, maka aku undur diri. Aku tidak ada waktu untuk berpikir memecahkan kasus pembunuhan. Aku sudah muak dengan semua kasus pembunuhan yang semakin merajalela di negeri ini."

     "Ya, aku tahu apa maksudmu, Edo. Ini jelas beda. Kau akan tahu. Cepatlah kau bersiap-siap. Jam berapapun kau datang, aku akan tunggu. Kalau bisa sebelum jam sembilan pagi." Inspektur menutup teleponnya.

     Aku mendengus kesal. Apa coba yang dia pikirkan. Hah, kenapa harus aku yang dia butuhkan. Bukankah masih ada Dicky, atau mungkin mencari rekan yang lain. Aku bukanlah anggota resmi polisi, kenapa dimintai pertolongan. Ada-ada saja Inspektur Bram itu.

***

     Jam sembilan kurang lima belas menit aku sudah berdiri di depan rumah Inspektur. Rumah ini tampak lebih asri dam nyaman dari sebelumnya. Adalah Bi Wati yang membukakan pintu depan. Dia menyuruhku masuk ke dalam. Bi Wati tentu sudah kenal betul denganku, seringkali aku bermain ke rumah Inspektur jika ada kasus. Terakhir kali, mungkin kasus pembunuhan yang menurutku lazim dan mudah ditebak siapa pelakunya.

     Aku disuruh menunggu di ruang tengah. Entah kenapa di ruangan ini, bukankah biasanya aku berbincang dengannya di ruang tamu.

     Sosok bertubuh agak gendut, dengan kumis tipis melintang itu tersenyum menyapaku. Dia keluar dari dalam membawa buku catatan kecil seperti biasanya.

     "Ah, ternyata sudah ku duga kau akan tertarik dengan kasus ini." Inspektur tersenyum.

     Bibi kemudian datang membawa dua cangkir teh hangat.

     "Silahkan di minum. Tak usah malu-malu," ucap Inspektur dengan senyum menggoda.

     Aku lekas bertanya ke poin penting. "Sebenarnya ada kasus istimewa apa sih, sehingga anda membutuhkan saya lagi. Jangan katakan kasus pembunuhan seperti minggu kemarin yang nyatanya anda sendiri bisa menebaknya."

Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang