09 - Pelabuhan Kartini

2K 226 14
                                    

Ana Sophie

Aku terjaga saat kami sudah berada di pintu masuk Pelabuhan Kartini. Nampak begitu damai pemandangan pelabuhan ini. Sopir memperlambat laju kendaraan. Jam tangan melingkarku sudah menunjuk ke angka tiga sore. Matahari sudah menukik ke arah barat, sebentar lagi tenggelam di kaki bumi tanpa seberkas cahaya.

Kenapa kami memilih Pelabuhan Kartini? Karena kami berencana membawa mobil ke sana. Dengan sebuah kapal feri Siginjai, kami bisa membawa kendaraan ke sana. Berbeda dengan pelabuhan Tanjung Mas, jadwal di sana juga lebih sedikit dibanding jadwal di Pelabuhan Kartini.

Pelayaran menuju Karimun Jawa juga bisa dilakukan dari Pelabuhan Kartini, Jepara. Ada dua kapal yang melayani penyeberangan ke Karimunjawa, Kapal Cepat Express Bahari dan Kapal Feri Siginjai.

Kapal Express Bahari melayani penyeberangan dari Jepara dan ke Karimun Jawa setiap Jumat sampai Rabu. Waktu tempuh perjalanan menggunakan kapal ini sekitar dua jam.

Kapal ini menyediakan tiga kelas; bisnis, eksekutif dan VIP. Informasi pemesanan tiket KC Express Bahari bisa dilakukan melalu telepon jauh-jauh hari.

Sedangkan Kapal Feri Siginjai. Kapal ini menyediakan ruang untuk mengangkut sepeda motor, mobil, juga truk. Meski begitu, dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 4,5 jam dari Pantai Kartini.

Tapi sial menimpa kami. Kami datang terlambat, dan pada akhirnya Pak Helmi memutuskan untuk kembali mencari hotel, dan kembali memesan tiket kapal untuk perjalanan besok paginya.

Sungguh sangat disayangkan sekali, padahal aku sudah tidak sabar ingin melihat rumah klasik peninggalan Nenek dan Ibuku tercinta. Bagaimana dengan kesenian arsitek rumah itu, seperti apakah kehebatan Beethoven sehingga menarik bagi keluarga kami untuk menciptakan rumah itu.

***

Keesokan harinya. Kami datang tepat waktu. Perjalanan selama kurang lebih 4,5 jam segera di mulai dari Pelabuhan Kartini.

Satu jam berlalu. Hanya lautan lepas sejauh mata memandang. Pak Helmi masih asyik membaca buku novelnya, ditemani kopi dan rokok. Sedangkan sopir kami asyik tidur, mendengkur keras, dan aku sendiri, aku tidak bisa berkutik di atas kapal. Mabuk laut. Pusing sekali kepalaku, perutku rasanya mual sekali, seperti terombang-ambing. Ingin rasanya muntah, tapi aku paksa agar bisa bertahan.

"Kau mabuk laut?" Pak Helmi melirikku sekilas.

"Ah, sepertinya," jawabku malas.

"Sebaiknya kamu tidur saja. Oleskan minyak kayu putih atau telon ke perut, hidung, dan kepala. Lumayan untuk bisa menghilangkan rasa mabukmu itu."

Aku menatap Pak Helmi tanpa berkedip. Sepertinya orang tua ini kebal sekali dengan berbagai macam kendaraan. Mungkin kalau pesawat Apollo bisa disewa, Pak Helmi sudah berada di depan untuk mengantri.

Tidak ada rasa enak dan istimewa selama berada di atas kapal feri ini. Semua ekspetasiku saat melihat adegan romantis film Titanic itu buyar. Selama empat jam lebih tubuhku tersiksa, bahkan bisa dikatakan nyawaku, bukan hanya aku saja, tapi semua orang dipertaruhkan di atas kapal yang membelah lautan jawa lepas.

***

Kapal Feri sudah merapat mulus di Pelabuhan. Sopir kami sudah bergegas masuk dan menghidupkan mesin, menunggu antrian keluar. Aku dan Pak Helmi sudah duduk rapi di dalam. Sungguh ramai sekali penumpang hari itu. Banyak sekali wisatawan yang datang. Bukan hanya dari lokal saja, ada juga bule-bule yang nampak di sana. Sepertinya tempat ini juga sebuah surga yang indah bagi wisatawan.

Kami melanjutkan perjalanan lagi ke sebuah rumah klasik tujuan kami yang letaknya juga tak jauh dari bibir pantai.

Satu jam berlalu. Mobil kami merapat mulus di sebuah halaman yang cukup lebar dan luas. Nampak dua petugas penjaga berdiri di sana dan membukakan pintu kepada kami.

Pak Helmi kemudian menjelaskan dan menunjukan surat wasiat kepada kedua pengawal yang usianya sudah cukup dikatakan tua.

Laki-laki yang kira-kira berusia 55 tahun dengan tubuh tegap dan pendek, serta kumis tebal dan rambut pendek itu terlihat ramah senyum. Beliau namanya Pak Nas. Sudah hampir dua puluh tahun dia bekerja di rumah klasik ini sebagai penjaga. Sedangkan laki-laki yang satunya nampak berusia 60 tahunan, dengan beberapa garis keriput di wajahnya, akan tetapi tubuhnya masih sangat lentur setiap kali bergerak. Tubuhnya sepuluh tahun lebih muda dari usia aslinya. Beliau bernama Pak Raden. Dia juga sudah hampir dua puluh tahun bekerja menjaga rumah klasik ini.

Pak Raden kemudian menelpon seseorang dan dalam beberapa detik kemudian, muncul seorang pemuda yang usianya dibilang masih setara denganku. Wajahnya menyenangkan, kulitnya cokelat kehitaman, mungkin karena terkena efek sinar matahari.

"Oh, Pak Helmi dan Nona Sophie sudah datang toh. Biar saya bawakan barang-barangnya." Pemuda itu cekatan membawa barang-barang kami.

"Siapa pemuda itu?" tanyaku.

"Oh, dia pekerja baru di sini. Baru empat hari. Dia anak yang pandai dan cekatan. Aku suka dia."

"Apakah Pak Helmi yang menerimanya?"

"Ya. Dengan persetujuan Ibu kau tentunya." Pak Helmi menyeringai.

Tampak di ruang tamu berdiri dua tiga pelayan lainnya. Dua perempuan dan satu laki-laki. Dua perempuan yang berbeda usia. Satunya masih tampak muda, kira-kira berusia 30 tahunan, dan yang satunya mungkin menginjak lima puluh tahun. Sedangkan yang laki-laki mungkin berkepala empat. Mereka tampak ramah-ramah sekali.

Kemudian Pak Helmi memperkenalkan mereka satu-persatu kepadaku.

"Yang paling cantik ini, namanya Ratih. Dia jago memasak."

Ratih tersenyum dan membungkukan badan kepadaku.

"Yang ini, yang paling lama dan berpengalaman. Namanya Bi Arum. Dia pandai sekali membuat berbagai macam masakan."

Bi Arum tersenyum simpul tanpa membungkukan badan.

"Yang ini, dia sebagai tukang bersih-bersih bagian luar. Namanya Pak Agus. Dia baru bekerja beberapa hari di sini, dan yang membawa barang-barang kita tadi, namanya Ryan. Dia masih amat muda dan mungkin seumuran denganmu, Sophie."

Aku tersenyum kepada mereka semua. Semoga hari-hariku menyenangkan sekali di sini. Suasana rumah yang tampak mewah dan damai. Rumah klasik ini terdapat tiga tingkat dan mempunyai halaman dan perkebunan yang cukup luas. Dari itulah Ibuku mendapatkan uang dan meng-gaji mereka. Dan mulai sekarang, giliranku yang akan mengurus rumah peninggalan ini. Dengan caraku sendiri, rumah ini akan ku jadikan wisata bagi mereka.

(Bersambung)

Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang