01 - Permata

3.1K 309 11
                                    

Ana Sophie

Beberapa orang ingin mendengar kisahku. Asal-usul keluargaku yang dulu terkenal sangat masyhur itu. Mulai dari teman-teman dekat, wartawan, bahkan pihak kepolisian. Keluargaku dulu memang kaya raya. Adalah nenekku, yang dikenal banyak orang dengan nama Sri Suci Hayati. Terakhir aku melihat paras nenekku, saat usiaku menginjak lima tahun. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di atas ranjang, ditemani oleh Ibu. Aku belum tahu kalau keluarga kami gila harta. Terutama kakak dari Ibuku. Mereka berdua benar-benar rakus akan harta kekayaan. Tidak hanya itu saja. Bahkan mereka menurunkannya ke anak-anak mereka.

Namaku Ana Sophia. Usiaku sekarang genap menginjak dua puluh dua tahun, dan aku sudah berhak mendapatkan harta warisan dari Ibuku tercinta. Aku adalah anak satu-satunya Ibu. Nama Ibuku Sekar Wati. Ayahku sendiri sudah meninggal sejak usiaku masih dua tahun, dan entah seperti apa wajah beliau. Satu-satunya foto yang Ibu punya juga hilang entah kemana.

Kami berdua tinggal di sebuah perumahan sederhana yang tak nampak mewah. Sudah hampir sepuluh tahun keluarga kecil ini mendiami rumah ini. Ibu selalu rajin mencium keningku setiap pagi sebelum berangkat kuliah, ataupun setiap pulang dari jam kuliah.

Ibu selalu bersikap ramah kepada setiap warga disekitar maupun orang asing lainnya. Satu hal yang selalu membuatku ingin bertanya kepada Ibu dan selalu saja ku urungkan karena takut membuka luka lama, yakni tentang kebenaran Ibu yang sesungguhnya. Banyak gunjingan dari tetangga kalau Ibu merupakan salah satu orang kaya di negeri ini. Aku awalnya tidak percaya sama sekali, sebelum salah satu tetangga kami menceritakan hal yang luar biasa itu kepadaku beberapa hari yang lalu.

Di usiaku yang beranjak dewasa ini, aku ingin tahu semuanya, ke mana perginya harta benda mahal yang diberikan kepada nenek dulu? Apa mungkin saudara Ibu telah rakus mengambilnya. Kalau pun benar adanya, aku akan bertindak tegas. Tapi lagi-lagi, aku tidak berani mengatakan hal itu kepada Ibu.

Usia Ibu sudah hampir memasuki separuh abad. Sekarang beliau menginjak empat puluh lima tahun. Dia juga sering mengalami kelelahan, bahkan bulan yang lalu, dia jatuh sakit. Aku yang sangat mengkhawatirkanya, memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit swasta terdekat. Beberapa biayanya aku dapatkan dengan pinjam tetangga maupun jual beberapa barang penting di dalam rumah.

Aku sungguh ingin tahu semua rahasia masa lalu Ibu. Ibu sangat menyukai musik klasik Beethoven. Dia selalu mendengarkan instrumen itu setiap kali hendak tidur. Katanya, musik klasik itu mengingatkannya kepada sosok Nenek.

Aku tidak tahu musik apa itu. Yang jelas musik di zaman modern tidak seperti itu. Aku lebih suka lagu-lagu dari Dream Theater, Sheila On 7, atau kalau instrumen, aku lebih suka Depapepe, yah, duo gitaris hebat dari negeri sakura. Dan satu lagu instrumen yang paling ku suka adalah Kiss The Rain milik Yiruma. Itu instrumen yang benar-benar meluluhkan hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Hari itu, Ibu kembali jatuh sakit, dan mau tidak mau harus kembali di bawa ke rumah sakit. Aku menunggu dengan perasaan yang sulit digambarkan. Resah, gelisah, dan bingung, bercampur menjadi satu.

"Bu, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepada Ibu?" Aku duduk di sebelahnya sambil memegang tangan kanannya.

Ibu menoleh, dan menatapku. Matanya berbinar-binar. "Ya, anakku. Mau tanya apa?"

Aku mengambil napas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. "Jadi begini, Bu. Aku mendengar kabar kalau Ibu mempunyai kekayaan, tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya?"

Ibu terbatuk-batuk. "Sebenarnya... maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak bermaksud membuat kamu hidup sengsara di rumah sempit itu. Tapi itu semua ada alasannya."

"Alasan? Alasan apa, Ibu?"

"Ibu sengaja menyimpan semua rahasia itu, agar mereka para kakak-kakak Ibu tidak ikut campur tentang kehidupanmu kelak."

"Kehidupanku? Maksud Ibu?"

"Kamu tahu kan bagaimana sikap kedua pakde-mu itu? Mereka sangat rakus terhadap harta. Ibu tidak ingin mereka tahu kalau Ibu sebenarnya mendapat harta warisan yang lebih berharga daripada mereka."

"Lantas, harta warisan seperti apa yang Ibu simpan?" Aku berusaha mendesak.

Ibu melepaskan genggaman tanganku. "Kamu pernah lihat sebuah permata palsu itu kan?"

Aku mengangguk pelan.

"Nah, dua benda permata palsu itulah yang akan membuat kamu kelak menjadi orang kaya, Anakku."

"Tapi, itu kan benda palsu. Lagipula pakde juga dengan rela hati memberikan benda tak berharga itu kepada Ibu dulu?"

"Tidak, Anakku. Kedua benda itu sungguh tidak lazim. Permata palsu itu merupakan kunci untuk membuka sebuah ruang rahasia, dan di sana terdapatlah permata asli yang sesungguhnya, Anakku."

Aku tercengang mendengar penjelasan dari Ibu. Rasa-rasanya Ibu mengatakan sambil bermimpi, berkhayal tidak jelas.

Ibu kembali berkata dengan suara serak. "Anakku, kamu harus percaya apa kata Ibu. Ibu tidak berbohong, dan tidak berkhayal. Semua ini nyata. Jika Ibu telah tiada, kamu bisa bawa kedua permata palsu itu dan pergilah ke sebuah rumah berarsitektur eropa klasik yang ada di kepulauan karimun jawa. Nenek telah membuatnya untuk Ibu, dan Ibu telah berhasil menjaganya untukmu, Anakku."

"Tapi, Bu...."

"Cepat atau lambat juga kamu akan tahu kebenarannya. Rumah itu dijaga oleh dua penjaga dan dua pengurus rumah yang bekerja dari masa Nenek kamu masih hidup, mereka sangat baik dan menjaga amanat."

"Apa mereka tahu akan hal itu, maksudku soal permata itu?" tanyaku.

Ibu menghela napas perlahan. "Mereka jelas tidak tahu, Nak. Tapi, beberapa tahun silam, Ibu pernah mendengar rumah itu dimasuki oleh seorang pencuri."

"Pencuri?" Aku melipat dahi.

"Ya, Sayangku. Ibu sudah menelpon polisi untuk menyelidiki, namun mereka gagal mengungkap kasus pencurian itu."

"Apa yang dicuri dari sana?" Aku bertanya penasaran.

Ibu terbatuk, aku lekas mengambilkan Ibu segelas air putih.

"Hanya sebuah biola saja yang diambil. Harganya memang fantastis, karena benda itu dibeli pada zaman dahulu, langsung didatangkan dari eropa. Benda itu juga pernah digunakan oleh salah satu komposer terkenal, Beethoven."

Aku menelan ludah mendengarnya. "Apa? Biola itu pernah dipakai Beethoven?"

"Ya, entah itu benar atau tidaknya, Ibu tidak tahu. Yang jelas pencuri itu sangat cerdik dan lihai. Kedua petugas penjaga rumah itu, salah satunya melihat kalau pencuri tersebut berjumlah tiga orang."

"Aku pernah mendengarnya. Mereka sering disebut sebagai 'Jubah Hitam' bukan?"

"Ya. Beberapa surat kabar menamakannya seperti itu. Mereka bukan sembarang pencuri, Anakku. Mereka pencuri kelas kakap terbaik yang pernah ada. Mungkin lebih pantas disebut sebagai Lupin di zaman millenium." Ibu tertawa pelan, namun kembali terbatuk.

"Ibu sebaiknya istriahat dulu. Kesehatan Ibu sedang buruk. Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku sudah besar, dan aku sudah bisa menjaga diri sendiri." Aku tersenyum, mencoba menenangkan Ibu.

Larut malam. Bintang gemintang kian bertebarang di angkasa. Rembulan sabit bersinar cerah, langit cerah tak terselaput awan. Ibu tertidur dalam lelahnya. Aku memutuskan untuk tidur juga di sisinya.

(Bersambung)

Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang