Ana Sophia
Pesawat telah mendarat mulus di Bandara Udara Achmad Yani, Kota Semarang. Aku meregangkan tubuh, dan menghembuskan napas panjang setelah berjam-jam duduk di atas kursi yang melayang tinggi di udara. Pak Helmi nampak sudah meneteng kopornya yang terlihat begitu sedikit.
Cahaya matahari siang itu nampak terik menyengat kepala. Bisa pusing nih lama-lama berdiri di tempat lapang seperti ini. Kami pun memutuskan untuk masuk ke ruanh tunggu, tapi samar-samar seruan suara terdengar memanggil nama kami berdua. Aku dan Pak Helmi kompak berpaling ke belakang.
Adalah kedua polisi tadi yang memanggil kami. Mereka berdua berlari-lari kecil. Nampak wajah polisi bertubuh gemuk dan berkumis tipis itu tersengal, sedangkan pemuda yang terlihat tampan disebelahnya tersenyum tipis ke arah kami.
"Maaf, menganggu perjalanan kalian berdua," kata pemuda itu. "Kami minta tolong kepada kalian berdua agar tidak meninggalkan bandara ini secepatnya..."
"Ah, ada apa lagi?" Pak Helmi memotong. Protes dengan sikap kedua polisi yang nampaknya tidak becus itu.
"Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan kepada kalian berdua?" Polisi gendut itu berkata dengan napas yang masih tersengal.
"Tapi kan...."
"Sudah, tidak apa-apa. Aku bersedia kok memberikan saksi." Aku memotong kalimat Pak Helmi. Nampak raut wajah beliau sedikit marah.
"Tapi, rencana kita bagaimana, Non?" Pak Helmi berbisik pelan di telingaku.
"Itu bisa ditunda sehari kan?" Aku menjawab santai.
Pak Helmi menyeka peluh di dahi. "Baiklah. Terserah kau saja, Non."
Kami berdua digiring ke sebuah ruangan yang cukup besar, dan di dalam ternyata sudah ada beberapa pihak kepolisian setempat, dan juga beberapa orang yang mungkin dijadikan tersangka. Ada tiga orang selain kami yang duduk bosan di sana. Seorang laki-laki berdagu panjang yang merupakan manajer korban, perempuan galak yang merupakan penata riasnya, serta pemuda penuh misteri yang mengaku sebagai asisten korban.
Kedua polisi tadi nampak sedang berbincang-bincang dengan beberapa anggota polisi lainnya. Sayup-sayup terdengar percakapan mereka.
"Apa ini sebuah pembunuhan?" Polisi gemuk itu bertanya.
"Kami belum mendapatkan kabar dari tim forensik. Mungkin sekitar satu jam lagi, sebaiknya para tersangka kita amankan dulu." Seorang polisi berkepala botak dan bertubuh tinggi itu berkata sembari menyeka dahi yang berkeringat.
"Jika ada kabar dari tim forensik, segera hubungi kami ya, Pak?" Polisi gendut itu tersenyum.
"Baik. Kami akan memberitahu kalian."
Aku kembali menyandarkan tubuhku dan Pak Helmi nampak sedang sibuk menelpon seseorang di seberang mejaku. Dan kejutan tak terduga datang menjemputku. Polisi gendut dan polisi muda ganteng itu berjalan menuju ke arahku duduk.
"Bolehkah saya duduk di samping, anda?" Polisi muda itu bertanya.
Aku beringsut dan mempersilahkannya untuk duduk. Jujur aku nampak malu saat tatapan mataku berkontak langsung dengan tatapan tegas matanya.
"Ah, anda mau berlibur kah?" tanya pemuda itu.
Aku mengangguk pelan sembari melemparkan senyum. "Ya. Berlibur."
"Bersama Ayah anda?"
"Oh, bukan. Ayahku sudah meninggal semenjak aku masih kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Beethoven Sonata No.8 in C Minor (SUDAH TERBIT)
Mystery / Thriller[REVISI VERSI CETAK] [Beberapa Part sudah dihapus] [Open Pre-Order] [Detektif Edo]#2 Sebuah pesan misterius di terima oleh pihak kepolisian. Pesan tersebut datangnya dari sekomplotan pencuri yang dikenal dengan nama "Jubah Hitam" pada masanya dulu. ...