VI - I Am Not A Pathetic 20-Something Who Wants To Be Married Desperately

99.7K 11.5K 655
                                    

Nadiana terdiam di pojok sebuah ruangan. Sendiri. Membuang waktunya dengan bermain candy crush. Padahal ia sedang berada di acara resepsi pernikahan sepupunya. Ia menghindar dari beberapa saudaranya yang bermulut jahil yang suka bertanya, "Giliran kamu kapan, Di?". Pertanyaan "kapan nikah" itu mungkin terdengar biasa, tapi lama-lama gerah aja gitu lho kalau ditanyain terus. Apalagi usia Nadiana yang sudah 20-an akhir. Ujung-ujungnya para tetua itu bicara soal umur dan lain-lain. Rasanya Nadiana ingin membalas, "Iya, udah tau! Siapa yang nggak mau sih? Gila apa ya kalian?!"

"Woy!" suara seorang lelaki memecah konsenterasi Nadiana yang sedang bermain candy crush. "Ngapain lo disini sendirian? Ansos abis!" ujar cowok itu lagi.

"Males aja ketemu manusia-manusia bermulut jahil," jawab Nadiana singkat pada Mahen, sepupunya.

Mahen tertawa kecil. "Temenin gue ngerokok aja yuk! Gue juga males ketemu tetua-tetua itu," ajaknya. Nadiana pun mengikut.

"Jangan diambil hati, Di," ucap Mahen membuka pembicaraan setelah membakar rokoknya.

"Bukan diambil hati, males aja nanggepinnya. Bosen tau jawabnya. Lama-lama gerah aja, kayak, 'berisik banget deh lo!' gitu."

"Emang sih. Gue juga lagi males di sana. Setiap langkah, nyokap gue pamerin gue ke semua orang, 'Mahen sekarang kerja di BUMN setelah lulus S2.' Capek rasanya. Lagian itu nggak wah-wah amat buat dipamerin kayaknya," curhat Mahen pada Nadiana.

Gantian Nadiana tertawa mendengar alasan Mahen. Hal-hal sepele kayak gitu memang awalnya biasa saja rasanya, tapi kalau keseringan rasanya jadi kesal sendiri.

"Namanya juga orang tua, Hen. Sukanya banggain anak-anaknya. Sebagai pembuktian kalo mereka berhasil membesarkan anaknya," ujar Nadiana bijak.

"Ya ngerti sih. Cuma kayak lo bilang tadi, lama-lama gerah aja."

"Enak ya kalo cowok, jarang ditanya kapan gilirannya. Kalian bebas. Gue kadang suka mikir, kayaknya patokan kesuksesan perempuan itu cuma sampe jadi istri dan jadi ibu doang. Nggak ada yang nanyain gue, 'Didi nggak mau sekolah lagi kayak Mahen?' atau 'Selamat ya, Didi, sekarang udah naik jabatan jadi Assistant Manager!' Nobody cares anyway," mata Nadiana menerawang lurus ke depan.

"Lo baru naik jabatan?" tanya Mahen salah fokus. Salah fokus yang membuat Nadiana mendadak senang. Gadis itu langsung menoleh ke arah sepupunya dan mengangguk semangat.

"Wow, Di! Gila! Selamat ya! Gila, gila! Cool abis lo. Umur segini udah assmen, in your early 30 lo bisa jadi manajer!" Mahen mengutarakan apresiasinya pada Nadiana lewat pelukan kasual. Rasanya Nadiana senang sekali akhirnya ada yang mengapresiasinya dan tidak memandangnya sebagai pathetic-20-something-who-wants-to-be-married-desperately.

"Thanks a lot, Hen!"

"Hey, you deserve it! Gue inget tahun lalu lo belajar mati-matian buat ujian profesi Asuransi pas acara ulang tahun pernikahan Oma sama almarhum Opa dan lo dicengin abis-abisan."

"Huahahaha! Yeah, finally."

"Sorry, Di, gue suka jahilin elo tentang cari laki. Bercanda kok, Di. Abis muka lo emang enak di bully sih," ujar Mahen tertawa-tawa.

Nadiana meninju halus lengan adik sepupunya itu. "Sialan lo ya! Emang dasar kurang ajar sama yang lebih tua!"

"Bang Maheeen! Kak Didiiii! Kalian dicariin, kita mau foto dulu!" seru Karina yang menghampiri mereka. Keduanya pun segera bangkit dan kembali ke dalam aula untuk ikut berfoto.

Wajah Nadiana pun kembali ceria ketika bertemu dengan sepupu-sepupunya di atas pelaminan. Bergaya segila mungkin bersama mereka di depan lensa kamera.

Red CherryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang