"Aku kerja di rig, di daerah Canada sejak 2012. Makanya aku jarang ketemu perempuan," canda seorang pria yang duduk berseberangan dengan Nadiana. Laki-laki itu nampak rapi dengan kemeja abu-abu. Rambutnya bergaya clean haircut, klimis, rapi. Beberapa helai rambut putih memang nampak terlihat di kepalanya, meskipun dari wajahnya terlihat umurnya masih sekitar 30-an.
Nadiana berusaha menyimak obrolan pria di depannya. Pria itu adalah saudara sepupu dari teman kantor Om Wisnu, yang dikenalkan pada Nadiana. Katanya dia juga belum menikah, padahal umurnya sudah 35 tahun.
Sebenarnya Nadiana malas dengan acara-acara perkenalan nggak jelas gini. Tapi karena Tante Lala niat banget mengatur acaranya, Nadiana menurut saja untuk menghargai usaha Tante Lala. Lagipula, katanya pria ini kerja di bidang migas. Ya, kalau memang mereka ternyata cocok, Nadiana bisa checklist pertanyaan "kerja apa?" dan "bisa menghidupi keluarga?" nanti.
"Tadinya aku mau resign aja. Soalnya Canada jauh banget. Aku jadi jarang ketemu keluarga. Tapi bosku nahan. Katanya kalau aku sampai keluar, dia kehilangan salah satu orang terbaiknya," lanjut pria itu lagi bercerita tentang pekerjaannya. Entah kenapa, Nadiana kurang minat. Maksudnya, cowok ini cuma cerita tentang dia dan pekerjaannya. Bukan tentang profesinya.
"Hmm... emangnya pulang ke Indonesia berapa kali dalam setahun, Mas?" tanya Nadiana berusaha menanggapi cerita Banu.
"Setahun paling 2-3 kali aja sih. Belum tentu pas lebaran bisa pulang juga itu."
"Ooh." Didi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh iya, makanannya belum datang-datang ya?" Banu menyadari ketika melihat appetizer yang disediakan di atas meja sudah habis dan makanan utamanya belum datang.
"Coba aku tanya lagi ke waitress-nya ya, Mas," ujar Nadiana. Gadis itu pun berusaha mencari pramusaji di sekitarnya. Namun pramusaji berada di sudut yang berseberangan dengan tempat mereka duduk. Dan karena si pramusaji tidak melihat ke arah mereka sama sekali, maka Nadiana mendorong kursinya, hendak berjalan ke arah pramusaji tersebut.
"Biar aku aja," ujar Banu menahan Nadiana. Nadiana pun mengurungkan langkahnya. Kemudian Banu menengok ke arah pramusaji, mengangkat tangannya. Pramusaji itu pun menyadari keberadaan mereka berdua. Banu menjentikkan jari menandakan bahwa ia ingin pramusaji itu untuk menghampiri mereka.
"Mbak, ini main coursenya belum keluar ya. Tolong ya, Mbak, di cek. Udah daritadi lho!" protes Banu pelan ke si pramusaji.
"Sebentar ya, Pak. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya," ucap si pramusaji ramah. Banu hanya mengangguk tanpa senyum.
Nadiana membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum sopan. "Makasih ya, Mbak," ucap Nadiana pelan.
Ada perasaan resah ketika Nadiana melihat sikap Banu. Seperti ada kepingan puzzle yang tak cocok dalam dadanya ketika ia sedari tadi berusaha mengumpulkan kepingan puzzle tersebut satu persatu ketika menyimak cerita-cerita Banu.
Ketika piring keduanya sudah terlihat hampir bersih, seorang pramusaji mulai mengangkat piring kosong satu persatu. Masih ada sedikit sisa makanan di piring Nadiana, yang memang ia selesaikan pelan-pelan karena terkadang mereka sibuk mengobrol. Namun pramusaji tiba-tiba saja mengangkat piring tersebut, disangkanya Nadiana sudah selesai makan.
Melihat wajah Nadiana yang agak bingung, Banu langsung bertanya, "Kenapa? Belum selesai ya makannya?"
"Eh? Nggak pa-pa. Biarin lah, emang udah tinggal dikit juga."
"Ya nggak bisa gitu lah. Mereka kan harusnya udah di training soal serving customer. Lagian harusnya mereka tau dong kalau sendok atau garpu belum dibalik berarti orangnya belum selesai makan," jelas Banu tenang namun terdengar tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Cherry
Chick-LitNadiana, hampir 30 tahun tapi masih belum menemukan lelaki idamannya. Semakin kesini, cari laki-laki yang lebih tua dan matang darinya semakin sulit. Pilihan semakin sempit. Kalau nggak sudah beristri, sudah siap menikah. Sekalinya ada yang single...