XXVII - Kadang Pengumuman Itu Perlu

113K 13.5K 1.9K
                                    

Pintu ruang meeting terbuka. Kemudian beberapa orang keluar dari sana. Nadiana refleks melirik ke arah orang-orang yang keluar dari ruang meeting. Sosok Aidil memang terlalu eye catching di matanya. Maklum lah, cowok muda, gagah, rapi, belum menikah emang auranya terlalu menyilaukan. Nggak mungkin banget radar perempuan Nadiana nggak menangkap aura itu. 

Tapi Nadiana cuma berani lirik sesekali aja. Karena, Nadiana sudah memutuskan, ngeliatin sesuatu yang nggak bisa dimiliki dan cuma bisa dipandang dengan waktu lama itu nggak baik. Kayak lihat matahari gitu deh, nggak baik ditatap lama-lama. Ntar bisa buta.

Apalagi ada si mamah muda yang berisik macam Fanya, yang ikut meeting bareng Aidil. Belum lagi si bocah bermulut iblis, Maysa, yang jaraknya cuma beberapa meter dari meja Nadiana. Dan ... oh, Adin juga lagi nangkring di area IT. Oh, bahaya banget lihatin Aidil kelamaan! BA-HA-YA!

"Didi, mau Starbucks nggak? Lagi promo Line nih, buy one get one!" seru Fanya seraya menghampiri Nadiana bersama Aidil.

"Sampe kapan emangnya?" tanya Nadiana ke Fanya. Menghindari kontak mata dengan Aidil.

"Cuma sampe hari ini nih. Lo berdua Aidil nih, gue sama Adin soalnya. Pas kaaan?" ujar Fanya sambil senyam-senyum penuh arti. 

"Yuk, gue juga lagi pengen ngopi banget nih. Ngantuk abis meeting," ujar Aidil ke Nadiana.

"Iya, bete banget meetingnya lama. Hampir dua jam! Ini mah bakal lembur lagi deh. Sebel deh, meeting emang buang waktu banget!" dumel Fanya menimpali ucapan Aidil.

Nadiana terdiam sebentar untuk menimbang-nimbang tawaran Fanya dan Aidil. Aduh, masih aja sih teman-temannya ini berusaha ngejodoh-jodohin Nadiana sama Aidil. Padahal kan, Aidil udah jelas ngasih statement kalau Nadiana ini bukan tipenya. Dan Nadiana kan sedang dekat dengan Ijal. Ya, tapi mereka memang nggak tahu sih. Cuma, gimana ya, ngasih tahunya? Kadang Nadiana bingung, hal kayak gitu tuh pribadi. Nggak perlu konferensi pers untuk menjelaskan ke orang-orang. Emangnya Nadiana ini artis infotainment apa? 

"Um... gue banyak kerjaan nih," ujar Nadiana menolak halus. Ucapannya membuat Dokter Zidan kontan melirik dengan kening berkerut. Soalnya awal bulan biasanya memang load kerjaan nggak begitu banyak.

"Sebanyak apa sih? Nggak sebanyak akhir bulan kan?" seru Fanya.

"Ya... nggak sih," balas Nadiana dengan nada ragu. Lalu ia pun akhirnya menyerah karena tidak enak dengan Fanya. "Ya udah deh, Nya. Yuk! Bentar aja tapi ya, takut diomelin Mbak Cindy kalo keluyuran kelamaan," ujar Nadiana dengan pelan agar tidak terdengar Cindy, mencoba mencari alasan lagi.

"Hih, santai kali!" seru Fanya. "Mbak Cin, pinjem Didi bentar ya! Submission lagi nggak banyak kan minggu ini?" seru Fanya lagi ke arah Mbak Cindy.

Mbak Cindy pun segera menoleh ke arah Fanya. "Ya, boleh. Kalo pinjem, dibalikin ya!"

"Iye, Mbak! Posesif amat deh kayak mantan gue," balas Fanya lagi kemudian ia langsung menarik Nadiana dari bangku. Lebih tepatnya, setengah menyeret gadis itu. Dengan gontai Nadiana beranjak, menuruti Fanya. Kemudian mulut toa Fanya langsung memanggil Adin yang sedari tadi duduk di meja Mas Eris. 

Ketika hampir melewati meja Ijal, Nadiana melirik ke arah cowok itu. Mata Ijal menatap lurus ke layar komputernya. Seolah tidak menggubris keberadaan Nadiana sama sekali. Membuat Nadiana, entah kenapa merasa sedikit bersalah. 

"Lo kalo Starbucks biasanya beli apa, Di?" tanya Aidil kala ia dan Nadiana melintasi meja Ijal. Membuyarkan pikiran Nadiana akan Ijal.

"Eh, um... green tea," jawab Nadiana.

"Ooh... nggak kopi?"

"Em... nggak sih kalau Starbucks. Lebih suka green tea-nya."

Perasaan apa ini namanya ya? Rasanya... Nadiana kayak merasa bersalah sama Ijal. Padahal, kenapa coba dia harus merasa bersalah? Karena pergi sama Aidil? Tapi kan, dia nggak ada apa-apa juga sama Aidil. Entahlah, perasaan ini rasanya seperti kutu-kutu kecil dalam benaknya yang begitu membuatnya risih dan gatal. 

Red CherryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang