Ijal meneguk gelas berisi sari jeruk sembali menatap pekarangan rumah Nadiana. Di sebelahnya, gadis itu juga sedang menatap hal yang sama dengan Ijal. Entah sudah minggu keberapa Ijal main ke rumah Nadiana di malam Minggu.
"29 ya, Di?" tanya Ijal yang teringat akan ulang tahun Nadiana beberapa hari yang lalu. Nadiana berpikir sejenak, waktu rasanya berputar cepat sekali.
"Yeah. Gimana rasanya 30, Jal?" tanya Nadiana balik. Mata keduanya masih ke arah pekarangan rumah Nadiana.
"Haha. Biasa aja. Nggak berasa apa-apa," jawab Ijal sambil tertawa kecil. Nadiana terdiam sejenak. Jelas aja Ijal nggak merasa apa-apa. Dia cowok, 30 masih angka santai. Ini aja Nadiana belum ketemu dengan Omanya.
"Have you done something good in your 30? Maksudku, kayak, melakukan sesuatu yang kamu rasa ... this is it. This is what I want," tanya Nadiana lagi pada Ijal.
"Hmm..." Ijal nampak berpikir sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit. Lalu ia melanjutkan, "Sebenernya sih aku cukup menikmati karirku sekarang. Mungkin orang nggak melihat itu sesuatu yang keren. Mungkin aku cuma kelihatan sebagai budak korporasi. Tapi nyatanya aku nikmatin aja tuh. Karena sebenarnya apa yang aku kerjakan bukan sekadar dokumen masuk, ngerjain, kelar. Aku suka proses menganalisis, aku suka ketika otakku bekerja untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan. Sembari belajar tentang investasi.
"So, if you ask whether i have done something good in my 30, i don't know. I just do what i love and love what I do," cerita Ijal pada Nadiana.
Nadiana tersenyum kecil mendengarnya. Do what you love, love what you do. Ya, kayaknya Nadiana juga sama. Entah ini memang mimpinya apa tidak, yang jelas dia menikmatinya. Bukankah mimpi itu hanya salah satu jalan menuju kebahagiaan?
"Tapi kamu punya cita-cita gitu nggak sih, Jal?"
"Punya sih. Aku pengen punya perkebunan sayur dan jamur. Hahahaha nggak tahu kenapa. Pengen aja metik pangan yang fresh dari kebun sendiri," cerita Ijal dengan matanya yang menerawang ke depan. "Kalo cita-cita kamu, Di?"
"Hmm... Aku pengen keliling dunia."
"Tapi kamu suka nggak sih sama kerjaan kamu sekarang?" gantian Ijal yang bertanya pada Nadiana.
"Sama kayak kamu. I just do what I love, love what I do."
"Does thirty mean something to you, Di?"
Nadiana terdiam sejenak memikirkan itu. "I don't know. Maybe. You know, woman stuff," ujar Nadiana sambil mengangkat bahunya.
"Ah, I see."
Obrolan hangat mereka terhenti ketika ibu Nadiana tiba-tiba saja keluar dari rumah dan berdiri di teras rumah.
"Di, makan dulu. Yuk, Rizal, makan malam dulu di dalam. Ada pindang ikan sama sop buntut," ajak ibu Nadiana ke dua orang itu.
Nadiana terdiam karena bingung. Ini nggak salah? Biasanya ibunya cuma bertanya, 'Udah pada makan? Kalau mau makan, ambil aja ya. Nggak usah sungkan.' Dan Ijal tidak pernah menerima tawaran itu. Seringkali Ijal justru mengajak Nadiana makan di luar. Tapi kali ini, kalimat ibunya berbeda. Bukan cuma sekadar makan malam yang disajikan di meja makan. Tapi ajakan makan malam bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Cherry
Chick-LitNadiana, hampir 30 tahun tapi masih belum menemukan lelaki idamannya. Semakin kesini, cari laki-laki yang lebih tua dan matang darinya semakin sulit. Pilihan semakin sempit. Kalau nggak sudah beristri, sudah siap menikah. Sekalinya ada yang single...