Suasana jalanan sudah mulai ramai oleh para remaja yang akan bermalam minggu, bahkan halte tempat tadi Vania menunggu sudah ada beberapa pemuda, lengkap dengan rokoknya. Ia sempat melirik, lalu bergidik ngeri ketika asap rokok mengepul di halte itu, untung ia sudah tidak disana.
"Mau makan dimana?" Deva mengulang pertanyaannya ketika Vania tidak merespon dan malah melihat para pemuda yang sedang merokok di halte.
"Eh ng-ngak usah, Kak." Vania mengangkat tangannya.
"Mau makan dimana?" pertanyaan yang sama, diulang tiga kali. Deva tidak suka penolakan.
Vania berfikir, jika ia terus menolak maka ini tidak akan selesai sampai pagi, Deva pasti akan mengulang pertanyaannya. Akhirnya dengan canggung, Vania pun menjawab,
"Yaudah terserah aja, Kak."
"Oke. Makanan pedes?"
"Nggak deh," Vania tersenyum simpul, menggeleng.
"Manis?" tanya Deva lagi.
"Nggak deh,"
"Yang berkuah? Bersantan? Direbus?"
"Nggak deh," Vania menggeleng terus, masih tidak menginginkan jenis makanan yang disebut oleh Deva.
"Terus mau makan apa?" Deva bertanya dengan sabar, kali ini ia tidak menampilkan ekspresi dinginnya, walaupun Vania tampak menyebalkan.
"Terserah Kak Deva aja," Vania menjawab canggung.
"Steak?"
Vania menggeleng.
"Spaghetti?"
Ia menggeleng lagi.
"Lo mau makan apa? Jangan bilang terserah," Deva memutar matanya.
"Hmm," Vania berfikir sejenak.
"Nasi goreng deh," ia nyengir melihat ekspresi Deva yang sudah sedikit frustasi mendengar jawabannya.
"Bilang dong dari tadi." Deva masih menampilkan ekspresi dongkol.
"Hehehe, maaf ya. Oiya makannya di warung nasi goreng yang disamping toko roti di ujung jalan ya," Vania terlihat sumringah, Sudah lama tidak makan nasi goreng kesukaannya itu.
"Yaudah naik,"
Vania pun naik di jok belakang motor Deva yang tinggi. Aneh rasanya. Bisa naik motor ninja bersama Deva, seperti hal yang mustahil dulu, mengingat bahwa Deva tidak pernah suka hal seperti ini.
⏳⌛️⏳
Deva melajukan motornya, membelah jalan ibukota yang tampak ramai. Sedangkan Vania yang berada di belakang menggenggam erat tas punggung Deva, tidak ada pegangan lain.
Awalnya ia sempat takut, karena Deva melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Tetapi aroma jaket Deva yang maskulin mampu membuat Vania merasa tenang dan nyaman. Ia menenggelamkan dirinya dalam-dalam pada jaket tebal itu. Hembusan angin malam membelai pelan rambut Vania, membuat rambutnya yang terikat itu sedikit berayun, lalu sesekali ia menyingkirkan poni yang menutupi wajahnya, juga mengintip Deva dari spion motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Know
Teen FictionAlmeira Janetta Vania, gadis yang kerap disapa Vania itu kembali bertemu dengan salah satu sahabatnya semasa SMP, Devariza Martadinata. Deva merupakan siswa yang cerdas sehingga ia mengikuti kelas akselerasi, yang membuat Deva sekarang menjadi kakak...