15. Spend The Night (1)

95 9 10
                                    

Tidak ada kata yang sempat terucap lagi. Gadis itu diam. Laki-laki itu memilih bungkam. Mereka mengalihkan pandang ke arah berlawanan, berusaha mencari jawab atas apa yang seharusnya mereka lakukan.

Apakah yang ingin tahu jawaban atas sebuah pertanyaan menyakitkan sebaiknya memilih diam? Dan apakah yang memiliki jawaban atas semua pertanyaan itu sebaiknya terus bungkam?

Bukankah diam dan bungkam dalam hal ini adalah cara terbaik untuk tidak saling menyakiti?

Karena jika tidak ada yang bertanya maka tak perlu ada yang menjawab. Karena jika tidak ada pertanyaan maka tak perlu ada jawaban. Teorinya seperti itu. Tidak akan ada yang tersakiti karena ingin tahu dan tidak akan ada yang tersakiti karena memberi tahu.

Tetapi tetap saja, semua yang mereka lalui sampai saat ini, tidak pernah semudah teori.

⌛️⏳⌛️

Mobil BMW z4 itu berhenti tepat di parkiran sebuah rumah mewah yang di sampingnya terdapat klinik kecantikan di depan jalan raya.

Deva segera mematikan mesin mobilnya, lalu melepas seat belt dan keluar begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin ia terlanjur kesal atau kecewa atau entah apapun itu.

Sedangkan Vania masih mematung di sana, sendirian di dalam mobil itu. Ia memejamkan matanya perlahan. Menghembuskan napas pelan. Memikirkan bagaimana caranya meminta maaf karena telah melakukan kesalahan dan membuat Deva marah.

Ia membuka matanya, melihat laki-laki itu yang kini sedang berbincang-bincang dengan Rafi, yang sepertinya sudah menunggu mereka sejak tadi di luar rumah. Mungkin mereka sedang membahas mobil sport baru milik Deva itu karena Rafi terlihat begitu antusias.

Akhirnya, Vania memberanikan diri untuk turun dan mengitari mobil itu untuk menyusul Deva dan Rafi yang sudah terlebih dahulu berjalan ke arah belakang mobil untuk mengambil barang-barang bawaannya di bagasi.

Sesaat setelah bagasi terbuka, Rafi langsung menyambar dua kantong plastik besar yang berisi berbagai macam minuman dan makanan ringan yang di beli Deva.

⏳⌛️⏳

Deva dan Vania mematung lama. Tatapan mereka beradu ketika tangan mereka tak sengaja saling menyentuh. Laki-laki itu ingin mengambilkan tas milik Vania dan di saat yang bersamaan pula gadis itu juga sedang mengambil tasnya.

Deva menarik tangannya cepat. Tatapannya dingin. Ekspresinya masih terlihat— entah bagaimana cara mendeskripsikannya, yang jelas ia kesal. Tetapi tetap berusaha untuk menutupi semuanya seolah-olah memang tidak ada yang terjadi di antara mereka.

"Boss Deva mah suka nyari kesempatan dalam kesempitan. Modus pegang-pegang tangan." Celetuk Rafi pelan.

"Apasih." Ujar Deva kesal dan langsung berlalu begitu saja.

"Boss lagi PMS ya, Boss?" Teriak Rafi dengan raut wajah frustasi karena merasa ulahnya kali ini sudah membuat Deva marah. Padahal biasanya, Deva hanya berpura-pura mengerutkan dahinya, lalu tak sampai beberapa saat langsung tertawa juga mengancam tidak akan memberikan Rafi traktiran lagi.

"Yaah masa gitu doang ngambek." Curhat laki-laki itu dengan ekspresi memelas kepada Vania yang kini masih tak bergeming dari tempatnya.

"Bukan gara-gara Kak Rafi kok." Vania berkata dengan seulas senyum yang ia paksakan. Keheningan sempat berpendar di sekitar mereka, tetapi dengan cepat Rafi segera mencairkan suasana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang