Langit masih tampak gelap dan mentari masih enggan menyapa ketika sebuah motor ninja berwarna putih berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah di kawasan elite ibukota.
Seseorang yang berseragam putih abu-abu yang dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam masih duduk di motornya, menikmati udara pagi--yang lebih tepatnya adalah udara subuh, seorang diri.
Angin bertiup pelan, menerbangkan dedaunan kering yang masih belum tersapu.
"Astaga, Masnya temen Non Vania ya? Duh, maaf nunggu lama ya. Bibi gak denger suara bel." Bi Nah dengan daster biru muda membuka gembok gerbang besar berwarna cokelat itu dengan tergesa-gesa.
"Nggak Bi, aku emang gak pencet bel, hehe," Deva menyunggingkan senyuman.
"Bi Nah gak inget aku?" Ia melanjutkan, alisnya terangkat dan sorot matanya dibuat pura-pura tajam.
"Loh kok tau nama Bibi?" Bi Nah membulatkan matanya, terkejut.
"Ini Deva, Bi." Deva memanyunkan bibirnya. Dia benar-benar berubah.
Sepersekian detik Bi Nah hanya melongo, tidak percaya.
"Mas Deva? Temen Non Vania yang suka nganterin Non Vania pake sepeda dulu? Yang Bibi bilang kurus kerempeng kayak lidi?" Bi Nah masih kanget, berulang-ulang menatap Deva dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Itu inget, hehehe." Deva membalas dengan mengedipkan matanya berkali-kali.
Baru saja Bi Nah akan mencercah Deva dengan berbagai pertanyaan, Vania yang telah lengkap memakai seragam sekolahnya dan rambut yang telah dikuncir tiba-tiba keluar dengan tergesa-gesa dari rumahnya. Mata coklatnya melebar sempurna ketika melihat Deva sudah siap dan menunggu di depan gerbang bersama Bi Nah.
"Eh?" Vania melirik Deva dan jam tangan berwarna merah mudanya secara bergantian. Sekarang masih pukul 06.05 dan Deva sudah sedari tadi menunggu.
"Aduh Non Vania lama banget. Buruan Non, Mas Deva sudah nunggu dari tadi." Bi Nah mendorong Vania agar segera naik ke jok motor Deva yang tinggi itu sambil cengir-cengir tidak jelas.
Deva menyodorkan helm, lalu Vania menyunggingkan senyum dan memakainya.
"Duluan ya, Bi." Deva tersenyum sebelum menggunakan helm fullface nya dan segera melajukan motor ketika Vania telah siap.
⏳⌛️⏳
Sekolah masih tampak sepi ketika Deva dan Vania sampai, gerbang sekolah juga baru saja dibuka dan petugas kebersihan sedang mengangkut sampah-sampah dari tempatnya.
"Dev?" Vania memanggil pelan ketika Deva ingin berlalu begitu saja, seusai memarkirkan motornya.
"Ini jaketnya, makasih ya." Vania menyodorkan sebuah paper bag berwarna merah yang berisi jaket yang telah Deva pinjami kepadanya hari sabtu lalu.
"Oke."
"Entar gue pulang naik angkot aja. Besok juga gak usah jemput, papa emang suka asal, jadinya ngerepotin. Hehe," Vania tersenyum simpul, memainkan jari-jarinya. Ia sudah memikirkan akan berbicara seperti ini semenjak malam itu. Sikap Deva kepadanya tidak ada yang berubah, tetap saja dingin. Ternyata, ketika Deva menyuruh Vania untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan 'kak' sama sekali tidak berarti apa-apa.
"Gak. Pulang sekolah tunggu gue di parkiran." Deva berbicara dengan ekspresi datar.
Tiba-tiba seorang gadis memanggil nama Deva dari kejauhan dan segera datang mendekat. Baju seragamnya sangat ketat, roknya juga menggantung, dan rambut panjangnya diurai, memperjelas bahwa dia adalah anak gaul masa kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Know
Teen FictionAlmeira Janetta Vania, gadis yang kerap disapa Vania itu kembali bertemu dengan salah satu sahabatnya semasa SMP, Devariza Martadinata. Deva merupakan siswa yang cerdas sehingga ia mengikuti kelas akselerasi, yang membuat Deva sekarang menjadi kakak...