Part - 5

2K 236 14
                                    

Awalnya semua hal tersusun sesuai rencana. Tidak seorang pun yang bisa merubah tatanan hidupku. Tapi pada akhirnyanya aku harus bangun dari mimpi yang terlalu indah ini. Karena kenyataannya duniaku tak seindah dulu.

Bagiku... dunia mulai terlihat asing. Aku tersesat diantara mimpi yang tergantung.

Park Chanyeol...

dia adalah definisi mengerikan dalam mainset-ku. Sisi kejamnya tidak akan lenyap sebelum terkena mantra hitam cenayang.

"Yerin! Lemparkan bolanya!"

Aku terbangun dari lamunan. Semua orang tengah menunggu bola yang ku pegang.

Aku meringis. "Heok! mian." Dan melempar benda bulat itu ke tengah lapangan.

Disaat aku kembali dari sisi lapangan, suara Kko ssaem menginterupsi.

"Jja.. jja.. jam olahraga akan berakhir 15 menit lagi. Gunakan waktu kalian untuk istirahat dan ganti pakaian. Jangan lupa luruskan kaki dan minum air putih yang cukup."

'Ne... ssaem.'

Gumaman lelah para siswa pertanda telah mengakhiri sesi olahraga. Semua meninggalkan lapangan, kecuali aku.

Aku mengambil duduk ditepi lapangan. Kepalaku menengadah, memperhatikan langit yang tak begitu terik.

Sementara itu hidungku tengah mengambil jeda untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Intensitas laju respirasiku melambat. Begitu pula jantungku yang mulai berdetak normal.

"Tidak kembali ke kelas?"

Sejenak aku menoleh pada sumber suara.

Nayeon ikut meluruskan kaki dan menarik kedua tangan kebelakang menjadi tumpuan badan. Melakukan hal serupa denganku.

"Nanti. Aku masih malas."

Kami sama-sama diam beberapa saat. Hingga Nayeon kembali bersua. "Enyahkan semua bebanmu."

Aku mendesah berat. "Semakin hari, rasanya semakin sulit."

Gadis itu membetulkan tali sepatu. Lalu mengintipku dari balik bahu. "Jangan memikirkan banyak masalah. Kita masih tujuh belas."

Dia benar.

"Geunyang." Tanganku bergerak menyeka keringat yang bergulir sepanjang tulang pipi. (Hanya saja).

"Bersikaplah sesuai usiamu. Menangislah, tertawalah, kecewalah, seperti kebanyakan remaja seusia kita."

Aku menyadari. Hanya Nayeon yang menjadi satu-satunya orang yang selalu mengerti aku.

"Saat masih kecil, aku selalu bermimpi ingin cepat tumbuh dewasa dan berlari bebas kearah yang ku mau. Tapi sekarang... aku merasa sebaliknya. Jadi anak kecil tidak harus memikirkan banyak hal, benarkan?"

Nayeon mengangguk samar. Dia menepuk pelan bahuku. "Setidaknya bersyukurlah karena tumbuh dewasa."

Kami memang hanya remaja berusia tujuh belas tahun yang masih terombang-ambing dalam samudra kehidupan untuk menemukan serpihan identitas yang bernama jati diri.

Masih banyak yang harus dikejar. Masih banyak mimpi yang harus dicapai. Tujuh belas tahun adalah masa yang penuh ambisi serta mimpi yang gemilang.

Aku selalu berpikir untuk mengambil langkah maju pada setiap harapan yang ingin ku miliki, sebelum seseorang datang dan mengacaukan segalanya.

Mungkin suatu saat akan datang masalah yang lebih berat untuk menguji keteguhanku.

Kami berdua memikirkan banyak hal sampai tidak menyadari kehadiran sosok tinggi yang sudah berdiri didepan. Menyodorkan sebotol air.

Suspicious StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang