V

593 9 0
                                    

Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.
"Suruhlah orang tuamu yang keluar!" ia menantang. "Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tak ternama!"
In Lui tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.
"Hai, budak, apakah kau cari mampus?" bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat dia elakkan. In Lui tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan Pek-hong koat jit (Bianglala menutupi matahari).

Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Lui tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru," Eh!"
Orang Mongolia yang tangguh ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Ceng menjadi penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat.

Tantai Mie Ming kerutkan alis.
"Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?" dia tanya. "Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tangguh?"
"Memang niat aku adu jiwa denganmu!" jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya.
Mie Ming menyeringai.
"Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa di nekat begini," dia pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.
In Lui licin, satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya.

Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.
"Pedang yang bagus!" seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.
In Lui terkejut. Ia merasakan telapak tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.
"Hian Kie It-su pernah apa denganmu?" dia tanya.
Justeru orang berseru. In Lui gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.
"Apakah pantas kau menyebut nama couwsuku?" dia menghina.
"Ha ha ha ha!" Tan Tai Mie Ming tertawa dan kembali dia ulangi desakannya.
In Lui mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.
"Sekalipun gurumu, dia bukan tandinganku, kau tahu?" kata Mie Ming.
In Lui tidak perdulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali lia membuat penyerangan balasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya.

Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh jurus, In Lui mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepalanya, ia berseru dengan keluhannya,"Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit hatimu." Sambil mengucap demikian ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih mencoba untuk menangkis.
"He, budak cilik, apakah kau cucunya In Ceng?" tanya Tantai Mie Ming. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan kematian itu.
In Lui lolos dari bahaya, segera ia menikam.
"Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yayaku?" dia mengejek.
Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.
"Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia, dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia, dan mulia itu!"

Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baru beberapa jurus, kembali In Lui mati kutu.
Selagi dua orang ini bertempur hebat, di pihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Ciu Kian yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega hati In Lui mendengar kemenangan susiok-couw itu.
Segera setelah itu terdengar seruan si ongya," Tantai Ciangkun, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kim-too sedang mendatangi!"  

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang