XIII

497 8 0
                                    

Tapi mahasiswa ini tidak jerih, waktu ia tangkis pula lain bacokan ia kerahkan tenaga di tangannya hingga kedua senjata beradu dengan keras. Tapi suara yang diperdengarkan tidak nyaring seperti semula tadi. Kesudahannya pun membuat Hong Hu kaget sebab goloknya telah dibikin sempoak pedang lawannya itu.
"Tak takut aku dengan pedangmu!" dia berseru kemudian, sambil tertawa. Lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu, kali ini, ia menjadi heran. Begitu rupa lawan menggunakan goloknya, hingga golok Toan-bun-too itu seperti nempel dengan pedangnya, sulit pedang itu ditarik kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih jauh. Itulah ilmu yang dinamakan ilmu "tempel".
"Bagus! Mari kita adu kepandaian!"
Itulah suara nyaring dari Tan Hong, yang telah tertawa besar, karena ia tidak menjadi jerih pedangnya hendak dibikin "mati". Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan. Ia tahu tipunya bagaimana melepaskan diri.
Waktu itu terdengar suara mengaungnya anak panah, disusul dengan berbengernya kuda putih dan pula dengan teriak Khoan Tiong, "Toako, lekas kejar! Si bangsat tua she Pit sudah kabur!"
Hong Hu sadar dalam sekejap itu. Tahulah ia bahwa ia telah diperdayai Thio Tan Hong, yang menggunakan akal "Wie Gui Kiu Tio" yaitu "mengurung negeri Gui untuk menolongi negeri Tio". Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika supaya To Hoan dapat menyingkirkan diri.
Meskipun ia sangat mendongkol, Hong Hu toh lompat keluar kalangan, akan tetapi disamping ia, Thio Tan Hong tidak diam saja, mahasiswa ini pun lompat sambil menikam padanya. Ia putar tubuhnya, ia tangkis pedang, dilain pihak, dengan tangan kiri ia menyerang ke dada lawan.
Thio Tan Hong berkelit dengan cepat, tidak urung ia terkena juga angin serangan itu, yang membuatnya merasa sakit, hingga ia mesti empos semangatnya, menjalankan napasnya, guna menghindarkan diri dari akibat serangan itu.
Thio Hong Hu berlompat pula, malah segera ia dapat rampas seekor kuda dengan apa ia terus kejar Pit To Hoan atau si kuda putih Ciauw-ya Say-cu-ma.
Thio Tan Hong tertawa menampak musuh mengejar itu. Di dalam hatinya, ia kata, "Walaupun kudaku telah terkena tiga batang anak panah, tidak nanti kau sanggup kejar dan candak dia!"
Akan tetapi, ia sendiri pun tidak segera dapat lolos. Selagi ia hendak toblos kepungan, ia menghadapi kepungan berlapis sebab Hoan Tiong sambil memutar gembolannya, menghadang di tengah jalan, dia cegat orang, terus ia menyerang. Hingga Tan Hong menghadapi kesukaran. Sepasang gembolan lawan sangat berat, sulit dilawa dengan pedang. Disamping orang she Hoan itu ada lagi pelbagai pahlawan, anggota-anggota dari Kim-ie-wie, yang menerjang sambil mengurung. Hoan Tiong itu gagah, dia berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun setanding dengan Tan Hong.
In Lui sudah lolos dari kepungan ketika ia dengar suara riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia tampak Tan Hong tengah dikepung musuh yang berseru-seru. Tanpa merasa, ia menjadi berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam diatas kudanya. Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya yang lihai. Dalam kagetnya, In Lui masih dapat berkelit, tapi celaka, leher kudanya terkena anak panah musuh, hingga pada ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan penunggangnya pun turut rubuh juga.
Belum sempat ia bangun, beberapa wiesu sudah maju, untuk menubruk, guna menyerbu musuh ini. In Lui masih sempat membalikkan tubuh, begitu berbalik, begitu ia menyabet dengan pedangnya. Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata lawan terbabat kutung.
Sekalian musuh itu terkejut, selagi mereka tercengang, In Lui lompat bangun untuk berdiri. Tapi begitu lekas ia bangun, begitu lekas juga datang serangan Khoan Tiong, dengan sam-ciat-pian yang mengarah ke pinggangnya. Dengan kesusu ia menangkis.
Lihai cambuk sambung tiga dari Khoan Tiong, setelah serangan pertama itu gagal, ia mengulanginya, terus ia mendesak.
In Lui repot juga, tidak dapat ia membabat kutung cambuk itu, yang dimainkan dengan sempurna oleh pemiliknya. Ia jadi penasaran, ia juga mencoba mendesak.
Satu kali, Khoan Tiong lompat mundur tiga tindak, begitu mundur, ia kerahkan tenaganya, ia mencambuk pula.
In Lui lompat dari sambaran itu, ia lolos dari bahaya.
Keduanya lantas bertarung dengan seru. Sayang bagi In Lui, ia kalah tenaga, maka itu, berselang kira-kira tiga puluh jurus, keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi berkurang sendiri.
Khoan Tiong lihat keadaan musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi desakannya. Ia mengharap segera dapat merubuhkan lawan itu.
Belasan anggota Kim-ie-wie sementara itu telah memecah diri di sekitar kedua orang yang sedang bertanding itu, mereka menjaga supaya In Lui tak dapat kabur dan lolos.
Di pihak lain, Thio Tan Hong telah berada dalam kepungan, pedangnya yang tajam itu dibikin tak berdaya oleh sepasang gembolan yang berat dari Hoan Tiong, disamping itu, ia pun harus waspada terhadap senjata kawan-kawan Hoan Tiong itu. Selagi ia terkepung itu, Tan Hong lihat In Lui rubuh dari kudanya, hingga ia menjadi kaget sekali. Karena ni, mendadak ia memutar tubuh dan pedangnya dibabatkan dengan hebat kepada musuhnya, dengan tangan kirinya ia sambar satu anggota Kim-ie-wie yang dengan berani merangsak padanya. Ia menyambar leher bajunya, ia tarik musuh itu, hingga tubuhnya terangkat. Ini ada baiknya untuknya hingga musuh lainnya menjadi jerih karena takut menikam kawan sendiri.
Hoan Tiong penasaran, dia membalas menyerang.
Tan Hong berlaku cerdik, bukannya ia menangkis, ia hanya majukan tubuh musuh yang telah ia bekuk itu.
Hoan Tiong kaget, terpaksa dengan cepat ia tarik kembali gembolannya. Ketika ini dipakai Tan Hong untuk menerjang keluar, tubuh mangsanya tetap ia gunakan sebagai tameng.
Hoan Tiong penasaran sekali, ia mengejar.
Tan Hong lihat kelakuan musuh, ia tertawa berkakakan.
"Kau sambutlah!" ia berseru, lantas ia lemparkan musuhny ke arah si orang she Hoan.
Hoan Tiong tidak dapat berbuat lain daripada menyambut tubuh anggota Kim-ie-wie itu. Tan Hong sebaliknya, sambil masih tertawa sudah menyerbu ke dalam kepungan In Lui.
Nona In sedang terancam bahaya ketika ia tampak munculnya Tan Hong. Tiba-tiba saja hatinya tercekat. Dengan lantas ia ingat surat wasiat kulit kambing yang berdarah. Siapa sangkat "musuhnya" ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi, kembali datang untuk menolongnya. Maka bimbanglah ia. Apakah orang mesti dipandang sebagai sahabat atau tetap sebagai musuh besar? Apakah ia mesti terima bantuannya musuh ini?
Oleh karena ia sedang menggunakan otaknya, In Lui terperanjat sekai ketika cambuk Khoan Tiong menyambar kepalanya, akan tetapi sebelum ia menangkis atau berkelit, kupingnya mendengar seruan yang ia kenal baik, "Adik kecil, lekas kau menangkis!" Atas ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan hebat. Satu suara nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang membuat Khoan Tiong kaget dan mendongkol tidak kepalang, sebab sam-ciat-piannya kena terbabat kutung menjadi empat potong.
Segera juga Tan Hong dan In Lui bertempur berdampingan, senjata mereka dapat digunakan masing-masing dikiri dan kanan. Sekarang mereka dapat bergerak dengan leluasa.
Sebentar saja belasan anggota Kim-ie-wie rubuh terluka.
Hoan Tiong, dengan memutar gembolannya datang memburu. Khoan Tiong lihat kawan itu, ia berteriak dengan peringatannya, "Jieko, hati-hati!"
Dengan tetap berdampingan, Tan Hong dan In Lui berbareng menyerang musuh kosen ini yang bersenjatakan genggaman berat itu.
Disambut secara demikian rupa, Hoan Tiong kaget, sampai ia menjadi gugup, bukannya ia menangkis, ia hanya melempar kedua gembolannya, ia sendiri lompat bergulingan, akan tetapi walaupun demikian, meskipun jiwanya tertolong, rambutnya toh terbabat juga hingga putus sebagian.
Belum pernah Hoan Tiong dikalahkan begini macam, ketika ia lompat bangun, a menjadi sangat gusar.
"Serbu mereka dengan pasukan kuda!" ia berteriak dengan titahnya.
Beberapa puluh anggota Kim-ie-wie taati titah itu, mereka mencari kuda mereka, untuk lompat naik keatasnya, habis mana, dengan mengatur diri menjadi empat baris, mereka maju untuk menerjang.
"Lekas naik ke gunung!" berseru Tan Hong, yang melihat sikap musuh. Kalau mereka sampai kena diterjang, pasti mereka tidak berdaya.
In Lui turut nasihat itu, ia sudah lantas lompat mundur, akan seterusnya lari ke arah gunung. Ia lari dengan cepat sekali. Di depan rumah Pit To Hoan, kira-kira satu lie jauhnya memang ada sebuah bukit. Dengan cepat ia sudah sampai di kaki bukit itu.
Tan Hong terus dampingin si nona dengan siapa ia lari bersama.
Pasukan kuda musuh juga lari cepat, sebentar kemudian mereka sudah mendatangi dekat. Satu penunggang kuda dapat melampaui kawan-kawannya, ia telah datang dekat sekali.
Tan Hong lihat bahaya, ia sambar tubuh In Lui, terus ia lemparkan ke arah gunung. Ia sendiri segera memutar tubuh, untuk lompat minggir, hingga musuh melewati ia. Tapi, begitu musuh lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke punggung kuda di belakang musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah menjambak, ia menarik dengan keras, ia melemparnya, hingga tubuh musuh terpental beberapa tombak di belakang.
Masih syukur untuk anggota Kim-ie-wie ini, coba ia dilemparkan ke depan kuda, pasti dia kena terinjak-injak kuda yang tengah lari kencang itu,
Dengan kuda musuh itu, Tan Hong lari terus sampai di tepi gunung. Disitu terdapat beberapa pohon kayu besar. Dari atas kudanya, dengan berani Tan Hong lompat, untuk menyambar sebatang pohon. Oleh karena gerakan itu, tubuhnya menjadi terayun. Justeru ia sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka dilain saat, tubuhnya telah sampai di tanjakan bukit dimana ia ia bisa menaruh kaki dengan tepat hingga ia tidak kurang suatu apa. Kemudian ia menoleh ke arah In Lui, si nona tengah berdiri mengawasi padanya.
Nona In telah berada di tengah bukit.
Ketika itu hari sudah magrib, maka pasukan berkuda Kim-ie-wie tidak berani mencoba mengejar terus, hingga mereka cuma bisa berteriak-teriak di kaki bukit.
Hoan Tiong masih penasaran, dia mendatangkan sejumlah pasukan Gie-lim-kun untuk membuat penjagaan di kaki bukit yang bersiap sedia dengan panah mereka. Dia pun tertawa dan berkata secara mengejek, "Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat berdiam di atas bukit!"
Tan Hong telah menyusul In Lui, mereka naik ke atas, dari sana mereka memandang ke sekitarnya. Mereka tampak bukit itu telah terkurung musuh. Yang paling nyata tertampak adalah bendera-bendera Gie-lim-kun, pasukan kaisar.
Sesudah bertempur mati-matian sekian lama, Tan Hong dan In Lui merasakan sangat lelah dan juga lapar. Hal ini membuat mereka berpikir..
Ketika itu adalah musim pertama, dan seperti biasanya di musim pertama itu, pada siang hari sang siang jadi terang benderang, maka pada magrib atau selewatnya suka turun hujan. Demikian hari itu, tiba-tiba air dari langit mulai turun.
"Adik kecil, mari kita cari tempat berlindung!" Tan Hong mengajak. "Tentang barang makanan, kau jangan kuatir, aku masih membekal sedikit ransum kering."
In Lui bungkam ia cuma menoleh. Tak tahu ia, harus bicara atau tidak dengan musuh turunan ini.
"Disana ada sebuah guha," Tan Hong berkata pula. "Mari kita pergi kesana."
Mahasiswa ini bukan cuma mengajak, tapi tanpa menunggu jawaban lagi, ia sambar sebelah tangan orang untuk dituntun.
Beradu tangan dengan si anak muda, In Lui merasakan tubuhnya mengkirik, tangannya dingin.
Tan Hong merasakan tangan dingin itu, ia dapat menerka hati si nona tentu sedang bimbang, pikirannya tidak tenteram.
Guha itu bukan sewajarnya, hanya tanah berlubang saja, karena di atasnya terdapat dua potong batu besar yang ujungnya lebih, yang tidak mengenai tanah atau batu karang, hingga dibawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua orang dan mereka tak akan tertimpa air hujan.
Tan Hong tuntun kawannya memasuki guha itu, disitu mereka berdiri berhadapan, hati mereka sama-sama memukul, di dalam hati, mereka saling Tanya, apa yang mereka harus lakukan.
Adalah Tan Hong, yang hatinya terlebih tenang.
"Adik kecil," berkata si anak muda kemudian, sesudah mereka sama-sama bungkam sekian lama, "benarkah permusuhan kita kedua keluarga tak dapat diselesaikan?"
Cuaca waktu itu suram, walaupun mereka berdekatan, Tan Hong tak dapat melihat tegas air muka si nona. Meski begitu, kupingnya dapat menangkap suara baju nona itu, yang disebabkan tangannya telah meraba gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas.
"Inilah yang dikatakan, kita tak dapat berkumpul bersama!" katanya dengan duka. "Adik kecil, baiklah kau bunuh saja aku! Binasa ditanganmu, mati pun aku tak menyesal, tak penasaran."
Justeru itu geledek menggelegar, kilat menyambar, dengan terangnya cahaya kilat itu, Tan Hong tampak wajah In Lui pucat pasi, sedang matanya berlinangkan air mata. Dengan menyender pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya telah tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi tertunda.
Dengan lenyapnya cahaya kilat itu, guha pun menjadi gelap kembali.
Dalam kegelapan itu, terdengarlah suara napasnya si nona In. Sampai sekian lama, masih tidak terdengar jawabannya atas perkataannya si anak muda.
Tan Hong keluarkan ransum keringnya.
"Adik kecil, mari dahar," ia mengundang.
In Lui tetap menyender, sedikit jua tubuhnya tak bergeming.
Masgul Tan Hong menampak sikap orang itu, tetapi dengan paksakan diri, ia tertawa geli.
"Adik kecil, kali ini tidak akan aku katakan kau menganglap makanan!" katanya bergurau, "Mari dahar!"
Pemuda ini mengharap si nona gembira, tidak tahunya, "Plok!" tangannya kena disampok nona itu, rangsum keringnya jatuh ke tanah. Ia jadi sangat menyesal, dengan tertawa meringis, ia punguti rangsum kering itu, yang terus ia letakkan di atas batu.
In Lui sangat berduka, hatinya pepat sekali, hingga ingin ia menangis, tetapi tidak dapat ia perdengarkan suaranya, air matanya pun tidak mau mengucur keluar. Di dalam kegelapan itu, ia dengar helaan napas dari anak muda di depannya.
"Pembalasan sakit hati....pembalasan sakit hati...." Kata si anak muda, suaranya perlahan, "Sakit hati saling balas, bilakah itu akan berakhir? Leluhurku dengan Cu Goan Ciang telah memperebutkan negara, dia telah mewariskan surat wasiat yang memesan supaya anak cucunya mewakilkan dia menuntut balas.....Meskipun demikian, pesan pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa napsu saja membunuh musuh, tetapi yang paling utama adalah berdaya untuk merampas kerajaan Beng!"
In Lui dengar itu, tubuhnya bergidik.
"Memang benar, saling balas ini ada hebat sekali, begitu dahulu, begitu sekarang..." ia berpikir. "Jikalau keluarga Thio dapat membalas sakit hatinya, bukankah mereka akan membinasakan segenap orang kota, hingga darah mengalir di seluruh tegalan.."
"Jikalau Thio Tan Hong, untuk pembalasannya itu, bersekutu dengan bangsa Watzu, tentara siapa ia bawa masuk ke Tionggoan untuk menggempur kerajaan Beng, maka dia adalah satu manusia yang paling berdosa..." ia memikir pula. "Jikalau itu sampai terjadi, aku pun tidak akan memberi ampun padanya!"
Hebat nona ini berpikir, tanpa merasa, tangannya telah meraba pula gagang pedangnya. Tapi segera ia dengar suara orang.
"Leluhurku menyingkir ke negeri Watzu," demikian Tan Hong berkata, seorang diri. "Ketika itu bangsa Mongolia sedang lemahnya, di bagian dalam, mereka terpecah-belah. Ketika itu juga tentara kerajaan Beng berulang kali dating menyerbu, melakukan perampasan. Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa Mongolia setiap tahun mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa Mongolia menjadi sangat bersakit hati, merasa penasaran dan bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk mencari balas. Ha, manusia terhadap manusia, negara terhadap negara, mengapa diantara mereka ada demikian banyak dendam? Mengapa mereka hendak saling menuntut balas? Sungguh aku tidak mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling memperlakukan sama rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?'
Tertarik hati In Lui mendengar kata-kata itu.
"Leluhurku dan marhum raja Watzu sama-sama memikir untuk mencari balas," Tan Hong berkata pula,"mereka hendak mencari balas terhadap kerajaan Beng. Oleh karena minatnya itu, leluhurku telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu. Setiap hari bangsa Watzu itu jadi semakin kuat. Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga setiap waktu menjadi terlebih tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu, malah belakangan dia diangkat menjadi Yu-sinsiang, perdana menteri muda."
Belum selesai Tan Hong dengan kata-katanya itu, tidak peduli tidak ada orang yang melayani ia bicara, karena si nona tetap bungkam, ia melanjutkan pula, "Ayahku ingat baik-baik sakit hati itu, maka itu terhadap anak-cucu Cu Goan Ciang, juga terhadap mereka yang sangat mencintai kerajaan Beng, dia mendendam hebat sekali, sampai meresasp ke tulang-tulangnya! ..Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkongmu diutus ke negeri Watzu," ia menambahkan kepada In Lui, "disana ia selalu mengutarakan bahwa dia adalah menteri yang sangat setia dari kerajaan Beng. Mendengar itu, ayahku menjadi naik darah, maka ayah segera menahan engkongmu itu, engkongmu itu dipaksa berdiam di daerah es dan salju, ia hidup dengan menggembala kuda sampai dua puluh tahun lamanya!"
In Lui kertakkan giginya. Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir keras.
"Engkong telah menderita selama dua puluh tahun, " ia berpikir, "karena sakit hati itu, engkong menginginkan supaya sekeluarga Thio dibunuh semua. Tapi kerajaan Beng telah merampas negara leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio jadi sangat bersakit hati, sampai karenanya, engkongku turut terlibat. Sungguh ini ada dendam turun-temurun......Dapatkah aku tak memperdulikan sakit hati leluhurku itu? Engkong ingin turunannya membalas dendam, bolehkah aku membiarkannya?"
In Lui cekal gagang pedangnya, akan tetapi pikirannya sangat ruwet.
"Engkongmu itu menggembala kuda diantara es dan salju sampai dua puluh tahun lamanya, selama itu tidak pernah ia hendak tunduk, "terdengar Tan Hong mulai berkata pula, "Oleh karena itu kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan mengagumi kekerasan hati dari engkongmu itu. Ayahku pernah bercerita kepadaku tentang hikayat engkongmu itu. Ayah katakana ketika engkongmu secara diam-diam minggat pulang ke negerinya, sebelumnya ayahku telah mengetahuinya, sekalipun demikian, ayah sengaja tidak mengirim pasukan tentara untuk mencegah, engkongmu dibiarkan dapat menyingkir. Malah ayahku pun berkata, ketika itu ayah telah tugaskan Tantai Ciangkun menyampaikan kepada engkongmu tiga pucuk surat tertutup untuk menolong engkongmu dari ancaman bahaya maut. Hanya sayang sekali, engkongmu tidak sudi mempercayainya, hingga dengan begitu engkongmu telah menyia-nyiakan maksud hati baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa."
In Lui mendengar, ia bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini? Masih ia membungkam. Masih ia pegangi gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas.
"Memang perbuatan ayahku terhadap engkongmu ada keterlaluan," ia berkata pula, "maka itu tidaklah heran kalau engkongmu tidak mempercayai maksud baik dari ayahku itu. Orang tua marhum telah berhutang, sudah selayaknya turunannya membayar hutang itu! Maka juga tidak mengherankan bahwa kau jadi membenci sangat padaku! Ah..."
In Lui tetap membungkam.
Si anak muda melanjutkan pula, "Negeri Watzu itu setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan Beng selanjutnya tidak berani menghina pula. Malah kemudian, keadaan menjadi berbalik. Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri Watzu. Mulanya mendengar kabar, guruku itu hendak melakukan pembalasan untuk engkongmu itu, akan tetapi kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak dapat aku pandang Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah datangnya guruku itu, perangai ayahku telah berubah. Sering aku lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya sendiri, seorang diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh seorang diri, katanya 'membalas dendam! Membalas dendam! Harus atau tidak aku membalas dendam?' Dalam keadaan itu ayah tampak beringas, sikapnya menakutkan. Pernah beberapa kali aku hiburi ayah, tapi ia menjadi gusar, dia deliki aku! Dia kata 'anak, kau mesti ingat sakit hati leluhurmu yang bagaikan gunung besarnya!' "
"Kau tahu dengan cara bagaimana aku sekarang aku pulang ke Tionggoan? Sebenarnya aku telah membolos. Dari semua orang, melainkan guruku seorang yang mengetahuinya. Guruku telah menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di Tionggoan. Kau harus ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti aku tidak akan membantu bangsa Watzu menyerbu Tionggoan! Akan tetapi, aku juga hendak menuntut balas..."
"Bagaimana kau hendak membalasnya?"
In Lui tergerak hatinya, hingga ia bertanya demikian.
"Setelah aku sampai di Tionggoan, yang pertama-tama aku lakukan ialah membuat penyelidikan," sahut Tan Hong. "Aku telah melihat jelas, pemerintahan kerajaan Beng sesungguhnya telah menjadi buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas, tampaknya tidak ada kesukarannya. Apabila aku mendapatkan peta bumi serta harta yang terpendam, maka dengan menggunakah pengaruh uang itu aku kumpulkan kawan sekerja, untuk kemudian mengerek bendera, dengan demikian tidaklah sukar untuk merampas kerajaan Beng!"
In Lui terperanjat.
"Apakah kau berniat menjadi kaisar?" dia tanya.
Thio Tan Hong tertawa.
"Kaisar pun asalnya rakyat jelata!" dia kata. "Negara dari satu keluarga, dari satu she, dapatkah itu dipegang kekal untuk beratus abad? Jikalau aku dapat merampas kerajaan Beng, bukan saja aku hendak menjadi raja.."
"Apakah itu untuk mencari balas?" In Lui tanya pula.
"Juga bukan hanya untuk membalas dendam!" jawab Tan Hong. "Andaikata berlaksa negara di kolong langit ini tidak menggerakkan senjata, bagaimana baiknya?" ia berhenti sebentar, ia tertawa bergelak. Lalu ia bersenandung, "Berapakah usianya manusia? Negara aman, bagaimana dapat ditunggu? Coba muncul satu nabi, bukankah persamaan kekal abadi untuk berlaksa abad? Haha! Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku, untuk apa aku mesti menjadi kaisar?"
Di tempat gelap seperti itu, In Lui tidak tampak wajah orang, akan tetapi dapat ia merasakah hati besar orang itu.
"Kau menjadi kaisar atau tidak, itulah tidak aneh!" ia campur bicara. Tak sanggup dia untuk terus membungkam. "Hanya jikalau kau bercita-cita merampas negara yang luasnya sembilan laksa lie dari kerajaan Beng, maka kau menghendaki atau tidak, aku kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota hingga darah mengalir seluas tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak menyerbu, jikalau kau memusuhi kerajaan Beng, bukankah kau jadi membantu bangsa Watzu itu?"
Ditanya begitu, Tan Hong berdiam sebentar.
"Adik kecil, kata-katamu beralasan juga," ia menyahut dengan perlahan. "Adik kecil, kakakmu suka mendengar perkataanmu. Jikalau kau tidak mengizinkan aku menjadi kaisar, aku suka tidak menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku turut kau."
Halus suara pemuda ini, enak didengarnya. Maka merahlah muka In Lui, ia jengah tetapi ia pun girang. Tiba-tiba saja ia gerakkan sebelah tangannya, akan tolak tubuh orang.
"Siapakah yang inginkan kau dengar perkataanku!" dia bentak, suaranya gusar.
"Bagaimana? Kembali kau gusar." Kata Tan Hong.
Si nona diam, tidak ia menyahuti.
Tan Hong menghela napas, tangannya diulurkan ke batu dimana ia taruh rangsum keringnya. Ia dapatkan batu telah kosong. Rangsum itu telah dimakan si nona! Selama mendengarkan orang bercerita, tanpa merasa, In Lui dahar rangsum itu. Pernah ia sadar bahwa "tidak selayaknya" ia makan rangsum itu, tidak tahunya ia telah dahar hingga potongan yang terakhir.
Diam-diam Tan Hong tertawa dalam hatinya. Ketika ia awasi si nona, di tempat yang gelap itu ia hanya tampak sepasang mata yang bersinar hidup bagaikan bintang di malam gelap gulita.
"Adik kecil, sudah waktunya untuk kau tidur," Tan Hong kata kemudian. Lalu dengan perlahan, ia nyanyikan sebuah lagu halus.
In Lui lelah dan ngantuk, ia telah dahar cukup, hatinya tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya.
Tan Hong, dengan pedang ditangan, bertindak ke mulut guha, untuk menjadi centeng.
Hujan telah berhenti, akan tetapi di malam buta, tentara pahlawan tidak berani mendaki bukit untuk mengejar terus orang-orang yang menyingkirkan diri itu.
Pemuda itu pun lelah dan ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In Lui, ia kuatkan hati untuk tinggal melek. Tidak berani ia tidur.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan In Lui, "Engko! Engko!...Engkong, engkong!"
"Ya," sahut si anak muda. Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi. Ia berpaling ke dalam tapi In Lui diam terus, Cuma suara napasnya terdengar perlahan.
"Dia ngigo...."kata si anak muda, yang terus bertindak ke dalam, akan membuka baju luarnya, baju mana ia pakai menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu sadar. Kemudian ia kembali ke mulut guha, dimana ia duduk mendeprok.
In Lui tengah bermimpi. Ia lihat Thio Tan Hong melenggakkan kepalanya dan tertawa panjang, tetapi ketika si anak muda mengusap-usap gambar lukisannya, tiba-tiba ia menangis sedih dan kemudian, dia berjanji dengan nada tinggi. Heran In Lui atas tingkah laku orang, ia pun merasa kasihan. Maka ia menghampirinya, ia pegang pundak orang. Di saat itu ia tampak engkongnya menghampiri dia, tangan engkong itu mencekal tongkat bambu yang ada bulunya. Bengis roman si engkong ketika ia nyelak diantara kedua orang itu, terus dia angkat tongkatnya, dipakai mengemplang!
"Engko, tolong!" teriak In Lui dalam mimpinya itu.
Segera nona ini lihat suciat, yaitu tanda kebesaran di tangan engkongnya, telah berubah menjadi surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dengan surat wasiat itu, sang engkong tutupi kepala cucunya, sambil mendamprat, "Siapakah engkomu? Lekas kau bunuh dia!"
Waktu itu In Lui endus baunya yang berbau bacin, yang berulang kali menyerang hidungnya, hingga hampir tak kuat ia menahannya. Lebih celaka lagi, ia tidak dapat berteriak, maka akhirnya, sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya yang hebat itu.
Mengawasi ke mulut guha, si nona tampak sorot matahari yang melusup di sela-sela. Ia mengawasi, ia tenteramkan hatinya, yang berdenyut. Begitu ia merasa tenang, ia dapatkan tubuhnya berkerudung baju Tan Hong. Segera ia rasakan pipinya panas, hatinya pun memukul. Lantas ia turunkan baju itu, terus ia jalan perlahan, menuju ke mulut guha.
Tan Hong tengah duduk di batu, ujung pedangnya menunjang tanah, kepalanya ditundukkan. Karena ngantuknya anak muda ini tidak sanggup bertahan lagi, ia ngelenggut, mendekati terang tanah, ia tertidur juga...
Kembali surat wasiat kulit kambing yang berdarah berkelebat di mata In Lui, terus saja ia cekal keras gagang pedangnya. Di dalam hatinya, nona ini berkata, "Jikalau aku hendak tikam dia, inilah ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku berpikir begini macam? Engkong, engkong," ia mengeluh, "engkong, jangan paksa aku, jangan paksa aku..."
Samar-samar In Lui seperti lihat engkongnya mendatangi dengan tangannya masih memegang su-ciat, tepat seperti di waktu ia bermimpi, mata engkongnya itu bengis.
"Mustahilkah aku masih bermimpi?"
Sambil menanya begitu dalam hatinya, In Lui terus gigit jari tangannya. Kontan ia merasakan sakit, maka terang sudah, ia bukan tengah bermimpi pula. Tapi, kalau itu bukan impian, kenapa ia seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum sadar? Kalau ia sadar, sungguh hebat penderitaannya ini. Ia tengah menghadapi musuhnya, yang engkongnya titahkan ia bunuh.
"Jikalau aku lepaskan ketika yang baik ini, aku tidak binasakan orang keluarga Thio, apakah engkong di alam baka tidak sesalkan aku?" demikian ia Tanya dirinya.
Dengan tangan pada gagang pedang, In Lui maju lagi dua tindak, tiba-tiba ia masukkan satu jari tangannya ke dalam mulut, ia menggigit, kembali ia sadar benar-benar, di depan matanya tidak lagi terbayang engkongnya. Maka pedang, yang ia telah cabut, ia masukkan pula ke dalam sarungnya. Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju orang yang ia keredongkan kepada pemiliknya.
Thio Tan Hong merasa tubuhnya tersentuh, ia segera lempangkan tubuhnya, lantas ia lompat bangun. Segera ia tertawa.
"Eh, adik kecil, pagi-pagi begini kau sudah bangun?" dia Tanya. "Kenapa kau tidak tidur pula?"
In Lui gigit bibirnya, mukanya menjadi pucat.
Tan Hong awasi pemudi ini, matanya bersinar halus, ia nampaknya sangat mengasihani si nona.
Nona In lihat sinar mata orang itu, ia tampak wajahnya sangat simpati, luka hatinya, hingga hampir ia menangis. Lekas-lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak mengawasi lebih jauh pemuda itu.
Tan Hong menghela napas, terus ia memandang ke arah bawah bukit. Ia lihat beberapa puluh pahlawan Kim-ie-wie, bersama-sama dengan serdadu-serdadu Gie-lim-kun, mereka terpecah dalam beberapa rombongan, mereka tengah mendaki bukit. Terang sekali mereka hendak mencari terlebih jauh kedua orang yang mereka sedang kepung.
Bingung juga si anak muda. Tidak sukar menggempur beberapa puluh pahlawan. Tidak demikian dengan kurungan di bawah bukit itu, dimana, tertampak bendera-bendera dari pengurungan yang rapat. Cara bagaimana kurungan itu dapat ditoblos?
Selagi anak muda ini berpikir keras, ia lihat kawanan pahlawan sudah sampai di tengah bukit. Ia lantas sambar tangan In Lui, untuk diajak lari ke belakang satu batu besar.
Makin lama rombongan pahlawan datang makin dekat. Sekonyong-konyong terdengar seruan Thio Hong Hu.
"Keluar! Keluar kamu! Aku telah melihat padamu! Hendak aku bicara dengan kamu!"
Hati Tan Hong tercekat, Thio Hong Hu adalah satu jago dari kota raja. Ia tidak sangka orang dapat datang demikian cepat, malah dialah yang pimpin rombongan pahlawan dan serdadu istana itu untuk menggeledah bukit.
Dengan golok Biantoonya, Thio Hong Hu menuding ke atas bukit, kembali ia perdengarkan suaranya yang nyaring, "Kenapa kamu main sembunyi-sembunyian? Begitukah kelakuannya satu hoohan?"
Kali ini belum Hong Hu menutup mulutnya atau satu orang, bagaikan bayangan, telah lompat muncul, bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Ditangannya terhunus pedang.
"Thio Tayjin gagah perkasa!" demikian orang itu, ialah Thio Tan Hong, berkata sambil tertawa, "kau telah pimpin beribu-ribu serdadu dan kuda, kau juga telah menyerang bukit ini, sungguh kau satu hoohan!"
Melengak Thio Hong Hu, mukanya menjadi merah secara mendadak. Itulah sindiran hebat.
"Jangan kau memancing kemurkaanku!" katanya kemudian. Dapat ia tenangkan diri. "Meski benar dibawah gunung ini ada pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh berurusan dengan aku si orang she Thio saja!"
Thio Tan Hong kibaskan pedangnya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya dengan gembira. "Kalau begitu, silahkan kau kemukakan syarat-syaratmu!"
Thio Hong Hu tidak lantas sambut tantangan itu, ia hanya mengawasi dengan tajam kepada dua orang itu. Waktu itu In Lui pun turut munculkan diri.
"Aku lihat kamu bukan orang-orang Jalan Hitam," katanya. "Sebenarnya kamu mempunyai hubungan apa dengan Cin-sam-kay Pit To Hoan?'
"Tentang hubungan itu, tak usah kau mengetahuinya," jawab Tan Hong, "baik kita jangan ngobrol saja! Mari kita bertempur sampai tiga atau lima ratus jurus! Bagaimana andaikata kau tidak mampu mengalahkan aku?"
Tan Hong merasa, dalam tenaga dalam, ia kalah dari komandan Kim-ie-wie itu, akan tetapi dalam hal ilmu pedang, ia menang diatas angin, maka ia percaya, dengan bertanding sekian banyak jurus, mestinya mereka seri. Ia tahu Thio Hong Hu kagumi dirinya sendiri, sengaja dia gunakan kata-kata itu untuk membangkitkan kemendongkolan orang.
Kembali Thio Hong Hu lirik kedua orang itu.
"Tidak usah kita bertanding satu lawan satu!" katanya dengan jumawa. "Kamu boleh maju berdua berbareng!"
Tan Hong tertawa dingin.
"Kalau begitu maka sejak ini Keng-su Sam Toa-kho-ciu akan tinggal dua orang saja!" katanya secara menghina. (Keng-su Sam Toa-kho-ciu berarti "tiga jago terbesar dari kota raja")
Dengan perkataan ini Tan Hong artikan bahwa ia berdua In Lui mengerubuti komandan Kim-ie-wie itu, sudah pasti si komandan akan terbinasa.
Thio Hong Hu tidak kena dipancing, ia tertawa.
"Aku lihat itulah tidak mudah!" katanya. "Ilmu silat kamu berdua telah aku lihat, jikalau kita bertanding satu lawan satu, mungkin kau dapat bertahan lima ratus jurus. Kau majukan tantanganmu ini, mengerti aku maksudmu. Sudah tentu aku tidak sudi diperdayakan!"
"Sungguh orang ini lihai!" kata Tan Hong dalam hatinya, ia tercekat. "Tahu pihak sana, tahu pihak sendiri, demikian pepatah. Pikiran dia sama dengan pikiranku." Lantas dia menyahuti, " Kalau begitu baiklah kita tidak mengadakan batas lima ratus jurus itu! Mari kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh utarakan syaratmu!"
Thio Hong Hu sebutkan syaratnya, ia kata, "Tentang sahabatmu ini, dengan ilmu silatnya, mungkin dia dapat bertahan sampai seratus jurus, maka itu, baiklah kita atur begini, "Kamu berdua maju bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh jurus. Jikalau kamu yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu diangkat bu-kiejin tahun ini, untuk itu kamu tidak usah diuji pula!"
Thio Tan Hong tertawa bergelak.
"Untuk kami berdua menangkan kau, itulah gampang, sama seperti kita membalikkan tangan!" katanya. "Perlu apa menunggu sampai lima puluh jurus? Malah dalam lima jurus, bila kami tidak dapat mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas diri kami! Jikalau dalam lima jurus kami menangkan kau, kami tidak kemaruk dengan gelaran bu-conggoan-mu, apapula bu-cinsu! Untuk kami, air ada biru, gunung ada hijau, di belakang hari masih dapat kita bertemu pula!"
Inilah ejekan untuk Hong Hu, dia dipancing kegusarannya. Dengan itupun Tan Hong maksudkan, andaikata mereka berdua yang menang, maka Thio Hong Hu mesti membiarkan mereka angkat kaki tanpa gangguan.
Sementara itu Hong Hu mempunyai maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini. Kemarin ia tidak berhasil mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak Hoan Tiong dan Khoan Tiong mendapat luka, ia menjadi kaget.
"Apa yang telah terjadi?" ia tanya kedua kawan itu.
Hoan Tiong dan Khoan Tiong tuturkan pengepungannya terhadap Tan Hong dan In Lui, mau atau tidak, mereka mesti puji ilmu silat kedua orang yang hendak ditawan itu. Pada waktu berkata-kata, mereka ini nampaknya masih jerih.
Mendengar itu, Thio Hong Hu menjadi sangat heran, hingga ia berpikir.
"Dari mereka berdua, si mahasiswa berkuda putih nampaknya yang lebih lihai, kelihatannya dia melebihi satu tingkat daripada Hoan Tiong dan Khoan Tiong, tetapi, dengan berkelahi bersama, dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila mereka dapat mengalahkan kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat merebut kemenangan dalam beberapa jurus saja!"
Hong Hu adalah ahli silat kenamaan, ia tahu bagaimana peryakinan ilmu silatnya, maka, mendengar ada orang yang demikian lihai, timbullah keinginannya untuk mencoba-coba kepandaian orang itu. Demikian ia majukan tantangannya. Benar-benar ia tidak percaya, di dalam lima puluh jurus ia akan dapat dikalahkan. Tapi sekarang ia dengar Tan Hong mengatakan lima jurus, bukan main mendongkolnya ia. Meski demikian, ia tertawa terbahak-bahak, goloknya diacungkan.
"Baiklah!" serunya. "Sekarang jurus yang pertama! Kamu sambut!"
Segera golok berkelebat, kelihatannya seperti kekiri dan kekanan. Hong Hu telah menggunakan jurus "Liu-seng sian tian" atau "Bintang sapu menyambar, kilat berkelebat". Serangan itu ditujukan kearah kedua lawannya.
In Lui menyender di lamping batu, ia bagaikan orang tak sadar akan dirinya, Tan Hong lihat keadaan orang, dia menyerukan, "Adik kecil, lekas keluarkan kepandaianmu!"
Tan Hong tidak hanya berteriak, berbareng dengan kata-katanya itu, tubuhnya mencelat ke depan In Lui, pedangnya digerakkan dalam gerakan "Memotong Sungai". Dengan itu ia tangkis serangan pertama dari Hong Hu.
Golok menyerang, pedang menangkis, maka itu, keduanya bentrok keras, suaranya nyaring, tetapi golok Hong Hu benar-benar lihai, sekalipun ditangkis, sambarannnya tak kehilangan sasarannya, masih ujung golok bergerak kearah In Lui.
Nona In sudah lantas menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua tindak. Tidak berhasil ia mencegah serangan Hong Hu itu. Coba Tan Hong tidak mendahului menangkis, mungkin pedangnya terlepas dan terpental dari cekalannya.
Thio Hong Hu lihat ia berhasil, ia tertawa bekakakan.
"Kiranya ilmu pedang kamu cuma sebegini!" katanya dengan mengejek.
"Hati-hati, kamu sambut golokku! Inilah jurusku yang kedua, namanya Pat hong hong ie, yaitu Angin dan hujan di delapan penjuru! Kamu mesti menyambutnya dengan pedang berbareng! Aku memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu sesalkan aku!"
In Lui tidak sadar akan adanya bahaya meskipun ia telah dihajar hingga sempoyongan dan mundur, sepasang matanya yang tadinya hidup sekarang lenyap sinarnya.
Tan Hong lihat keadaan orang itu, ia segera membisiki, "Adik kecil, meskipun kau membenci aku, tapi sekarang mesti kita mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh sayangi jiwamu, agar di belakang hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh, adik tolol..."
Adalah di saat itu, serangan yang kedua dari Hong Hu telah tiba, sinar golok itu berkelebatan menyilaukan mata. Serangan itu ada jurus yang paling lihai dari ilmu silat "Ngo-houw toan-bun-to" atau "Lima ekor harimau mencegat pintu". Sudah tentu jurus ini ada terlebih lihai daripada yang pertama.
Tergerak hati In Lui, tetapi air matanya segera mengembeng. Tapi sekarang ia tidak lagi sedungu tadi. Ia angkat pedangnya, dengan putarkan itu, ia menangkis. Perbuatannya ini diturutkan dengan gerakan serupa dari Thio Tan Hong. Maka itu, berangkaplah pedang mereka masing-masing. Dan gagallah serangan Hong Hu yang kedua kali itu.
"Bagus!" seru komandan Kim-ie-wie itu, "Benar-benar bagus cara kamu menangkis ini! Sekarang sambutlah lagi yang ketiga!"
Hong Hu maju satu tindak, golok Bian-too dimajukan, bukan sejurus, tapi kembali kekiri dan kekanan, cepatnya luar biasa. Itupun ada jurus, "Hun hoa hut liu" yaitu "Memisah bunga, mengebut yangliu". Halus mulanya, keras akibatnya. Dengan cara ini, ia menyerang sambil membela diri. Serangan juga disusul dengan tertawa nyaring dan panjang.
In Lui gerakkan tangannya, maka menyambarlah Ceng-beng-kiam diikut berbareng dengan pedangnya Tan Hong, hingga kedua pedang kembali berangkap menjadi satu dengan apa golok lawan dapat ditutup.
Kali ini barulah Thio Hong Hu terkejut, hatinya tercekat. Lekas-lekas ia tarik goloknya, untuk dipakai melindungi diri. Ia telah kerahkan tenaganya, karena goloknya itu terjepit keras. Ia berhasil juga menarik goloknya akan tetapi ia mesti mundur dengan limbung, napasnya pun memburu.
"Bagus, tak kecewa ia menjadi orang kosen nomor satu di kota raja," Tan Hong memuji di dalam hatinya. Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hu telah memasang kuda-kuda "Put-teng put-pat" goloknya melintang di depan dada, kedua matanya dibuka lebar-lebar, sinar matanya masih menunjukkan kagetnya tadi.
Tan Hong kerutkan alisnya, ia berpikir, "Orang ini luas pengalamannya, sekarang ia ambil sikap membela diri, dengan lagi satu jurus, belum tentu dia dapat dikalahkan.."
Setelah memasang kuda-kudanya itu, tenang hatinya Thio Hong Hu.
"Aku telah menyerang tiga kali, masih ada satu kali lagi!" ia berseru dengan nyaring. "Habis itu, akan aku biarkan kamu berlalu terlebih dahulu! Kamu sudah siap? Bagus! Sambutlah!"
Thio Tan Hong melirik pada In Lui, kali ini ia tampak kedua matanya bersinar tajam. Itulah sinar mata yang wajar, nyata keadaan si nona telah pulih kembali. Dengan sinar mata demikian, In Lui tengah mengawasi musuh.
Menampak demikian, Tan Hong dapat harapan. Tiba-tiba saja ia berseru, terus ia maju menyerang. Perbuatan ini dengan serentak diturut In Lui, hingga mereka jadi maju berbareng, kedua pedang berkelebatan, ujungnya menikam.
Thio Hong Hu mendak, goloknya dilintangkan, dipakai menangkis kedua pedang lawan. Habis itu, ia putar tubuhnya, goloknya tergerak pula, disusul dengan mencelatnya tubuhnya.
Tan Hong tak sangka orang ada demikian sebat, di dalam hatinya, ia mengeluh, "Celaka....kalau ini gagal, dia lolos, dengan begitu lewatlah jurus keempat, kita mesti mengaku kalah..."
Maka itu, hendak ia lanjutkan serangannya. Untuk itu hendak ia menangkis dulu, baru ia menikam.
Selagi Tan Hong memikir demikian, In Lui telah bekerja.
Sekonyong-konyong Hong Ju menjerit, disusul dengan rubuhnya tubuhnya.
In Lui telah berlaku sangat sebat, selagi pedang Tan Hong melayani golok lawan, ia menyambar kaki orang, tepat ujung pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna kaget dan sakit, jago dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi.
Tan Hong terkejut karena herannya. Ia menduga, dengan mencelatnya Hong Hu, pedang In Lui akan menemui tempat kosong seperti pedangnya sendiri.
Dengan lompatan "Le hie ta teng" atau "Ikan gabus meletik" Hong Hu mencelat bangun, terus ia pandang kedua lawannya dengan menyeringai. Ia mengibas sebelah tangannya, lalu ia berkata, "Benar lihai sepasang pedang kamu! Sekarang kamu boleh pergi!"
Khoan Tiong sudah mendampingi kawannya ini.
"Toako, secara demikian mudah kau membebaskan mereka?" ia menegur.
"Ya," jawab Hong Hu. "Kun-cu it gan, koay-ma it pian! Biarkan mereka pergi!"
Khoan Tiong seperti menggerutu "Kun-cu It gan, koay-ma it pian" - "Gentleman dengan sepatah kata, kudan jempolan dengan satu cambukan", tapi ia berdiam tidak berani mengucapkan kata-kata.
"Mereka bukannya orang-orang Jalan Hitam!" kata Hong Hu pula. "Dengan melepaskan mereka, kita tidak mendapat salah. Kenapa kita mesti serakahkan jasa semacam ini?"
Merah wajah Khoan Tiong.
"Oleh karena kau yang menanggung jawab, toako, kita tidak dapat berkata apa-apa lagi," katanya.
Hong Hu segera berikan titahnya untuk memberi jalan kepada kedua anak muda itu.
Thio Tan Hong menghormat pada komandan Kim-ie-wie itu.
"Dua kali kita telah bertempur, masih belum tahu aku she dan namamu," berkata Hong Hu, "sebenarnya kau datang darimana?"
Tan Hong bersikap lesu, ia menguap.
"Kau orang she Thio, aku juga orang she Thio," sahutnya, "Thio kau tidak sama dengan Thio aku, akan tetapi pada lima ratus tahun yang lalu kita berasal dari satu keluarga. Maka itu, baiklah aku panggil kau toako. Toako," ia tambahkan, "adikmu telah lelah sekali, disini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat aku tidur disini, karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama pula.."
Wajah Khoan Tiong berubah pula menjadi merah, tidak demikian dengan Thio Hong Hu, dengan sikap wajar, dia malah tertawa.
"Kau jumawa, kau juga gagah, tidak kecewa aku mendapatkan saudara satu she sebagai kau!" ia kata. "Bailah saudara, kau boleh pergi!"
Tan Hong segera bersenandung.
"Jikalau masih ada sifat orang kang-ouw, orang menjadi jenderal pun tidak kecewa... Air biru, gunung hijau, di belakang hari nanti kita bertemu pula, saudara, aku pergi!" ia tambahkan. Terus ia tuntun tangan In Lui untuk diajak turun gunung dimana tidak ada satu serdadu juga yang merintangi mereka.
Di sepanjang jalan, In Lui terus bungkam. Setelah melalui kira-kira tujuh lie, mereka tinggalkan tentara negeri jauh sekali di belakang mereka. Di depan mereka terdapat jalan simpang tiga, disitu Tan Hong menguap.
"Adik kecil, mari kita cari tempat untuk beristirahat dulu," ia kata pada kawannya. "Jalan yang di tengah ini untuk ke kota Ceng-teng, yang di kiri untuk ke kota Loan-shia. Aku pikir, baik kita menuju ke Ceng-teng saja."
In Lui kebutkan bajunya.
"Kau ambil jalanmu, aku ambil jalanku!" ia menyahut dengan dingin.
Tan Hong melengak.
"Demikian rupa kau benci aku?" dia tanya.
In Lui menyingkir dari pandangan orang, ia kerutkan alisnya.
"Aku haturkan terima kasih yang kau telah menolong aku," si nona berkata pula, "akan tetapi permusuhan kita kedua keluarga, tidak ada jalan untuk memecahkannya!..Ah, siapa surut engkong menutup mata siang-siang, coba ia masih hidup, mungkin aku dapat menasehati supaya dia mengubah pikirannya...Sekarang sudah tidak dapat lagi...Pesan dari leluhur, cara bagaimana turunannya dapat menentangnya? ....Ah, ini dia takdir..."
"Aku tidak percaya takdir!" kata Tan Hong tegas.
"Kalau kau tidak percaya, habis kau mau apa?" si nona tanya. "Baiklah kau boleh pergi! Jikalau kau menuju ke timur, nanti aku menuju ke barat!"
Wajah Tan Hong tampaknya muram.
"Jikalau sudah pasti kau hendak menuntut balas, kenapa kau tidak lakukan itu sekarang saja?" dia tanya. Ia lesu sekali.
Merah mata In Lui, kakinya terus menindak. Ia berjalan dengan sangat cepat, tidak ia menoleh.  

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang