XVII

666 6 0
                                    

Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa.

"Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam," si "pemuda" terangkan lebih jauh. "Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada pemiliknya?"
"Adik In," katanya dengan perlahan, "kita sekarang akan berpisah, mengapa kau bergurau begini rupa terhadapku?" Dengan "adik" ia menyebutnya adik perempuan. Iapun nampaknya sedikit tak puas.

In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh.

"Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?" ia tanya.
"Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati," jawab San Bin, "segala apa yang aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!"

In Loei tertawa."Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia bilang.
San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata: "Di dalam hatimu sudah ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?....."

Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului ia.
"Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani," demikian si nona. "Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia mudanya."
"Itu ada sangkut paut apa dengan aku?" tanya San Bin, mendongkol.

Matanya In Loei menjadi merah.

"Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi dapat aku memintanya?" dia tanya.
"Begitulah kesulitanku ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang yang paling tepat....."
"Apa? Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?" San Bin tanya. "Kau desakkan soal apa yang orang tak inginkan....."
"Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?" balik tanya In Loei. "Aku juga tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya. Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?"

San Bin berdiam, ia mengawasi. Ia merasa kasihan terhadap nona ini. Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan. Ia lantas bersenyum. Segera ia lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi.....

Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa. Tak tahu ia mesti bersedih atau bagaimana.....

Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim. Dulu memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah, hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan.

In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan beraneka warna. Tapi tak sempat ia menikmati keindahan kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan.

"Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie Kiam sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku? Aku juga belum tahu alamatnya....."

Karena ini, ia jadi berpikir.

"Terang sudah si perwira muda adalah kakakku," pikir ia kemudian, "ia sekarang berada di kota raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja?....." Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku itu," ia sesalkan diri. "Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku bantui ia mencari balas,bagaimana? Beberapa kali Thio Tan Hong sudah tolongi aku dari marah bencana,
cara bagaimana aku bisa binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat....."

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang