Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia membaca lebih jauh," Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, ia telah berangkat pulang ke dalam negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar, saudara In Teng masih mempunyai satu anak perempuan bernama Lui, andai kata tuan ketahui dimana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai sutee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah perhubungan kita. Cerita di luaran mengatakan dia telah terbinasa di tangan pengkhianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada sutee Tiauw Im dan sumoay Eng Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih."
Habis membaca, Ciu Kian menghela napas.
"Jikalau demikian adanya," kata In Lui, "baiklah aku pergi dulu ke kota raja untuk mencari kakakku."
Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir.
"Begitupun baik," sahutnya setelah lama berpikir.
In Lui heran melihat wajah orang tua itu.
"Rasanya aku dapat menduga niat kakakmu itu," kata Ciu Kian kemudian. "Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang istimewa pada mereka yang tahun ini ikut ujian, setelah ujian umum, ia lantas mengadakan ujian conggoan. Pasti kakakmu hendak ambil jalan melalui ujian itu untuk memajukan dirinya, supaya kemudian ia dapat meminjam tenaga pemerintah untuk mewujudkan pembalasan bagi engkongnya. Maksud ini baik, sayang kawanan dorna sedang berkuasa, dari itu aku kuatir,dia tidak akan mendapat hasil."
Orang tua ini mendongak, melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In Lui.
"A Lui, pernahkah kau membaca surat balasan Lie Leng kepada Souw Bu?" tiba-tiba ia bertanya.
Si nona manggut, memang ia pernah membaca surat itu, karena engkongnya membandingkan dirinya dengan Souw Bu, maka ia telah minta kepada engkongnya untuk menceritakannya.
"Masa dulu Lie Leng, dengan tentaranya telah melawan bangsa Ouw," berkata Ciu Kian. "Serdadunya cuma lima ribu jiwa, tapi ia melawan musuh dengan tentara sepuluh laksa jiwa, bisa dimengerti kelemahannya. Walaupun demikian, ia masih bisa membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini, hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan ditawan juga. Kalau diingat, besar jasa Lie Leng, tetapi pemerintah tidak menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka itu, ia jadi putus asa, tak ada keinginannya untuk pulang ke negerinya. Dalam suratnya pada Souw Bu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal."
Ia mendongak pula, ia menghela napas.
"Susiok-couw," berkata In Lui, " Kau tetap menentang tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie Leng?"
"Kau belum tahu tentang aku, anak," kata Ciu Kian. "Dalam usiamu tujuh tahun, kau telah mendengar riwayat engkongmu, maka sekarang, akan aku tuturkan tentang diriku. Dahulu di masa aku menguasai kota Gan-bun-kwan, pernah aku melakukan peperangan besar dan kecil sampai beberapa pulu kali, setiap kali berperang, tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak diduga, oleh karena mendengar hasutan, raja telah memecatku. Bagiku, kejadian itu tidak berarti apa-apa. Tapi engkongmu? Dia bandingkan dirinya dengan Souw Bu, tapi dia mengalami lebih hebat, dia dihadiahkan kematian! Apakah ini adil? Karena itu, aku lantas tinggalkan Gan-bun-kwan. Awalnya, aku tidak mempunyai pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolong puteraku! Dialah orang yang memancing kau mendaki gunung"
In Lui terharu sehingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia memandang jago tua itu, wajah Ciu Kian muram, jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya Ciu Kian menunjuk benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin. "Lihat di sana, benderaku tetap bendera Jit Goat Kie!"
In Lui angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu dengan matahari dan bulan sabitnya. Yang luar biasa adalah huruf 'jit' (matahari) dan goat (rembulan) apabila keduanya digabung menjadi satu, kedua huruf itu menjadi huruf "Beng" (terang), tetapi disini diartikan Beng dari kerajaan Beng.
"Kiranya sekalipun susiok-couw menjadi berandal, masih kau tak melupakan kerajaan kita!" ia kata.
Ciu Kian tidak menjawab, ia hanya berkata," Kalau nanti kau dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya dia jangan turut dalam ujian buconggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk datang padangku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya lihat yayamu itu! Apakah itu tak dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?"
Si nona mengangguk.
"Susiok-couw benar" sahutnya.
Ciu Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya.
"Samsusiok Cia Thian Hoa-mu gagal, dia juga orang yang aku kagumi." dia berkata pula. "Aku ingat pada sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysu, dia telah membuat janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas. Sekarang ini Tiauw Im Taysu sudah menitipkan kau kepada adik seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini membuat orang berduka?"
"Nanti aku beritahukan guruku," kata In Lui, "biar ia bersama ji-supeeh pergi ke perbatasan untuk mencari sam-supeeh."
"Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua jurusan?" kata Ciu Kian. "Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada gurumu."
"Itulah lebih baik. Baiklah besok aku akan berangkat."
Ciu Kian tertawa.
"Kau masih mempunyai waktu beberapa hari," katanya. "Dalam hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu belajar dari aku!"
Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Ciu Kian dan In Lui kembali ke pesanggrahan.
Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali dengan warta kemenangannya yang besar, tentara Mongolia dihajar kocar-kacir dan banyak yang tertawan berikut kudanya. Karena itu, Ciu Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia menjadi repot untuk beberapa saat.
"Kau benar gaga, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kang-ouw, kau masih kurang," berkata pula Ciu Kian sambil tertawa. "Nanti aku suruh San Bin mengajarkan padamu."
In Lui cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baru tiga hari,m ia sudah tahu segala apa mengenai kaum kang-ouw.
Ciu Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan sebuah benderanya, bendera Jit-goat-kie.
"Semua orang kaum kita di lima propinsi utara, baik dari kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah," ia beri keterangan. "Umpama kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan."
In Lui terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir," Aku hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan bendera ini?" Tapi tidak ia utarakan pikirannya ini.
Ciu Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak serta permata. Sambil tertawa ia kata," Satu nona tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh simpan untuk dipakai di tengah perjalanan."
In Lui angggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan.
"San Bin, pergi kau antar serintasan!" Ciu Kian titahkan.
Demikian In Lui keluar dari pesanggrahan, ia menunggan kuda pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi Gan-bun-kwan.
"Siok-hu, silahkan kau kembali!" ia minta pada pengantarnya.
San Bin mengawasi dengan tajam.
"Kau harus lekas kembali" katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendengan dengan si nona, agaknya ia berat untuk berpisah.
"Siok-hu, terima kasih untuk kebaikanmu," kata In Lui. "Silahkan kembali!"
Tiba-tiba wajah San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya.
"Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa," berkata dia. "Di antara kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan adik."
In Lui menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata," Paman ini seorang yang baik, sayang cara bicaranya tidak ada batasnya."
Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam.
"Siok-hu, apakah kau tidak suka aku memanggil paman kepadamu?" tanyanya sambil tertawa. "Baiklah, lain kali aku kembali, aku akan bicara dengan susiok-couw supaya kita mengubah panggilan kita."
Kembali muka San Bin merah.
In Lui tertawa, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan. Ketika ia berpaling, nampak Ciu San Bin masih duduk diam di atas kudanya sambil mengawasinya.
Tiga hari In Lui melakukan perjalanan, pada hari ketiga ia tiba di Yang-kiok yang ramai, setibanya di dalam kota, nampak banyak rumah makan. Ia lantas merasa lapar.
"Sudah lama aku dengar arak hun-ciu dari Shoasay sangat tersohor, hari ini aku mencobanya," pikir nona ini. Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan yang di depannya tampak ditambatkan seekor kuda putih, putih juga keempat kakinya, roman kudanya pun bagus. Ia menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya bentrok dengan satu tanda rahasia orang kang-ouw di tembok, ia jadi heran. Dengan tenang, ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan tempat di pojok selatan, dekat dengan jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona, mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa.
Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan. Dia juga minum seorang diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.
Tiba-tiba si anak muda ini menyanyi," Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing, menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum habis tiga ratus cangkir."
Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia teguk satu cawan, hingga tenggorokannya berbunyi.
Di dalam hatinya, In Lui berkata," Siucay ini benar-benar tolol, ia tidak insyaf bahwa ini membahayakan perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja."
Si kurus di timur itu terdengar berseru," Minum habis tiga ratus cangkir! Bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum tenggak!"
Sang kawan, si gemuk, berjingkrak.
"Kau ngaco!" tegurnya. "Kau cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!"
"Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!" kata si kurus. "Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang."
"Angin busuk! Angin busuk!" si terokmok mendongkol. "Tidak, aku tidak mau minum!"
"Eh, kau tidak mau minum?" tanya si kurus.
Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpa menyiram tubuhnya.
Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga melanggar si mahasiswa.
"Kurang ajar!" anak sekolah itu membentak. Ia gusar, ia bangkit.
Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar sepotong emas serta serenceng mutiara. Emas masih bagus tapi mutiara itu, di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.
Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara itu.
"Kamu hendak merampas?" ia berseru.
Dua orang itu berhenti bergumul.
"Siapa yang merampas barangmu?" bentak mereka. "Kau berani tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!"
Beberapa tamu lain lantas maju, untuk memisahkan.
In Luin tertawa menyaksikan pertunjukan itu. Di matanya, sudah terang si gemuk dan si kurus itu adsalah dua penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dahulu, kantong itu kosong atau berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di dalam hatinya ia berkata," Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu mencapai maksudmu."
Nona ini bangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu.
"Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat orang lain?" ia tegur mereka. Sambil berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba saku kedua orang itu, akan rampas uangnya. Tidak ada orang yang melihat perbuatannya ini.
Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani mereka beraksi lebih jauh.
"Siapa suruh dia menuduh kita merampas..." mereka mendumal.
"Sudah, sudahlah!" kata seorang tam. "Kamu telah menubruk orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum arak di rumah saja."
Si mahasiwa angkat cawannya.
"Saudara, mari minum!" ia mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras.
"Terima kasih," sahut In Lui. Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi kedua orang itu.
Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot mata tajam. Lalu satu di antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan.
Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya. Rupanya ia hendak mengeluarkan uang. Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi pucat.
Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut. Ia lantas raba sakunya. Ia pun melongo dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunya kosong. Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka bungkam.
"Sama sekali satu tail tiga chie," kata tuan rumah, yang menghampiri kedua tamunya itu.
Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku mereka.
"Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga chie," kata pula si tuan rumah.
"Apakah boleh kami bayar lain hari saja?" tanya si kurus akhirnya.
Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa dingin.
"Kalau setiap tamu berhutang, tidakkah kami balak makan angin?" kata dia.
Jongos, yang tidak senang, turut bicara," Apakah kamu berdua bukannya sengaja hendak mengganggu kami? Kamu sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang, sekarang kamu juga hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja bajumu!"
Kasar suara jongos ini, tetapi ia membuat tamu-tamu lain tertawa, hingga ruangan menjadi ramai.
"Memang mereka berdua yang salah." ada orang yang turut bicara.
Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya.
"Dua potong baju saja belum cukup!" kata si jongos, yang tahu-tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan," Dasar kita yang lagi sial! Nah, sudah, pergilah kamu!"
Merah muka kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor pergi.
Puas In Lui menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. "Terang sudah kedua orang itu adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang-orang bawahan, kena dihina, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut, tapi bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia terancam bahaya."
Karenanya ia bangkit, ia teriaki tuan rumah," Berapa aku telah minum?" Ia sudah ambil keputusan akan susul kedua orang itu.
Tuan rumah menghampiri dengan wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang yang indah.
"Semuanya satu tail dua chie," ia jawab.
In Lui merogoh sakunya. Di situ ia taruh uang dari Ciu Kian. Tiba-tiba ia tercekat, sakunya kosong. Maka lekas ia rogoh saku kiri. Di sini ia taruh uang dari dua orang tadi. Kembali ia terkejut, uang copetannya juga lenyap. Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin.
Tuan rumah mengawasi dengan heran. Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang anglap lain.
"Apakah tuan tidak punya uang kecil?" dia tanya. "Uang goanpo juga boleh, dapat aku menukarnya."
Bingung In Lui, takut ia nanti disuruh buka pakaian.
Tuan rumah mengawasi orang merogoh dan merogoh lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga.
"Kau kenapa, tuan?" dia tanya, suaranya tawar.
Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata," Di empat penjuru lautan semua orang bersaudara. Uang seribu tail dibuyarkan pun bisa didapat kembali. Biarlah aku yang tolong bayarkan uang araknya engko kecil ini."
Ia rogoh sakunya akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu pada tuan rumah.
"Ini uangnya," katanya. "Lebihnya kau boleh ambil!"
"Terima kasih! Terima kasih!" ia mengucap berulang-ulang.
Merah muka In Lui.
"Terima kasih," ia pun menghaturkan terima kasih.
"Tak usah," kata si anak muda, tenang. "Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak."
Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang habis bekata, tanpa perdulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi.
In Lui mendongkol bukan main, ia jengah.
"Satu anak sekolah tidak tahu aturan," pikirnya. "Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti uangmu telah orang rampas." Kemudian ia mengawasi sekitarnya, ia tidak melihat tamu yang mencurigakan. Ia jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas angkat kaki, dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan perjalanannya. Bingung juga ia karena sekarang ia tidak punya uang.
Setibanya di luar kota, In Lui lihat si anak muda yang bersama kudanya yang putih berada di sebelah depan.
"Bukankan dia yang telah main gila?" tiba-tiba ia curiga. "Tapi dia tak mirip sama sekali."
Ia larikan kudanya, untuk menyusul mahasiswa itu, lalu ia mencambuk si anak sekolah.
Inilah satu ujian. Kalau si anak muda seorang lihai, ia mesti dapat egoskan tubuhnya akan tersingkir dari ancaman bencana.
Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari atas kudanya.
"Maaf, aku kesalahan!" berkata In Lui. "Aku tidak sengaja."
Mahasiswa itu menoleh.
"Ah, orang yang hendak menganglap." katanya. "Jangan kau ikuti aku karena aku mempunyai uang, dengan uangku aku hanya hendak ikat persahabatan. Orang semacam kau, yang sudah menganglap dan sekarang juga memukul orang denganmu tak suka aku bersahabat!"
In Lui mendongkol berbareng merasa lucu.
"Apakah kau masih sinting?" ia tanya.
Si mahasiswa tidak menjawab, ia hanya mengoceh seorang diri," Dengan golok membacok air, air tak terputus hanya mengalir terus. Angkat cawan meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar mendapatkan kepuasan, maka lebih baik besok pergi main perahu! Eh, eh, tak sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!"
Kelihatan nyata sintingnya mahasiwa ini.
Bingung juga In Lui. Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas kuda itu. Atau mendadak si mahasiswa jepit perut kudanya, hingga kuda itu melompat kabur.
Kuda In Lui adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan kudanya untuk menyusul, tidak dapat ia susul si anak muda.
"Dia tidak mengerti silat, tetapi kudanya jempolan sekali," pikirnya.
Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat.
Lama In Lui lanjutkan perjalanannya, sampai ia melihat matahari merah mulai condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tanda orang sudah mulai menyalakan api. Ia memikir untuk singgah pada seorang tani, tapi ia sangsi, bukankah ia sudah tidak punya uang?
Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia mendengar kuda meringkik.
Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang makan rumput, ia segera mengenali kuda itu.
"Eh, ia pun ada di sini!" pikirnya heran. "Orang-orang beribadat adalah orang-orang yang murah hati, baik aku singgah di sini saja."
Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun pintu yang tertutup rapat. Segera ia lihat mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang menambus ubi.
Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan suaranya. "Dimana hidup bisa tak bertemu denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!"
In Lui mengawasi.
"Apakah kau telah sadar dari sintingmu?" dia tanya.
"Eh, kapan aku sinting?" si anak sekolah membaliki. "Aku tahu kau adalah si orang yang menganglap."
In Lui mendongkol.
"Kau tahu apa?" katanya nyaring. "Ada orang jahat mencopet uangku!"
Berjingkrak si mahasiwa, ia melompat bangun.
"Apa?" serunya. "Ada orang jahat? Di kuil ini tidak ada pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku tidak mau berdiam di sini."
In Lui mendongkol berbareng geli hatinya.
'Kau hendak pergi kemana?" dia tanya. "Begitu kau keluar dari sini, penjahat akan membegal dirimu! Tidak ada orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratur penjahat pun aku tidak takut."
Si mahasiwa pentang matanya lebar-lebar, sekonyong-konyong ia tertawa.
"Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan orang?" dia tanya.
"Sebab ada copet yang mencuri uangku," In Lui akui.
Mahasiwa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang di hadapannya ini.
"Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!" katanya. "Hahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih lihai dari pada kepandaianmu menganglap!" Nampaknya dia hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan," Tak sudi aku mendengar kau! Dunia begini aman, dimana ada segala tukang copet?"
Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya.
Bukan kepalang mendongkolnya In Lui. Tak dapat ia gusar karena kata-kata orang itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja menahan kemendongkolannya.
"Kau tidak percaya, ya sudahlah!" katanya. "Akupun tak perlu kau mempercayaiku!"
Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah nafsu makan In Lui. Ia memang telah melarikan kudanya lama dan telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah hebat nafsu makannya. Ia menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka muluntya. Orang sudah mengatakan ia si tukang anglap. Tapi itu adalah satu kuil kosong, tidak ada pendetanya, dimana disitu ia bisa cari makanan untuk menangsal perutnya?
In Lui menderita, apa pula ia melihat orang mulai makan ubinya yang harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu mengoceh seorang diri. "Arak memang dapat membuat orang sinting. Ikan dan daging memang lezat. Sungguh wangi, sungguh wangi!"
In Lui deliki orang itu, lantas ia melengos.
Tiba-tiba si mahasiwa berkata," Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!" Dan lantas ia lemparka sepotong ubi yang masih panas.
"Siapa kesudian makan ubimu?" bentak In Lui. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya sambil menelan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat hidung, hidungnya melihat hati. Dengan begitu, sambil bersemedhi dapat ia kuasa rasa laparnya. Ia malah cepat merasa lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia dapatkan si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.
Melihat demikian, In Lui ulur lidahnya. Ia juga hendak ulur tangannya ketika ia lihat si anak sekolah membalikkan tubuhnya. Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula.
"Setan alas!" kata In Lui dalam hatinya. "Biar aku kelaparan satu malam, toh tidak jadi apa!"
Si mahasiswa tidur dengan mengorok, suaranya sangat berisik. In Lui ingin tidur, tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu.
"Tetapi dia ini aneh," ia pikir tentang anak sekolah ini. "Dia berpakaian indah, uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa ia membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa ia berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia justeru makan ubi yang idak ada harganya? Apa mungkin dia mengerti silat tetapi ia sengaja berpura-pura? Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat."
In Lui bangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si anak mudah membalikkan tubuhnya.
"Jikalau ia mendusin, bukankah ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya? " ia ragu-ragu. Ia sudah maju tiga tindak, kemudian mundur lagi dua tindak.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara apa itu.
In Lui menoleh, ia tidak melihat apa-apa, ketika ia berpaling kepada si mahasiwa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan babi.
"Sebenarnya aku tidak mau ambil mumat padamu," pikirnya kemudian, " akan tetapi aku kasihan padamu. Hitung saja untungmu bagus, baiklah nonamu akan talangi kau menangkis si orang jahat!"
Tanpa ragu-ragu, In Lui lari keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil memasang mata. Ia mencurigai suara itu.
Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dbantu sinar bintang, In Lui segera melihat datangnya dua orang, muka mereka ditutupi topeng.
"Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini," begitu terdengar seorang berkata.
"Bagaimana jika dia tidak suka menurut?" tanya yang lain.
"Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!" menyatakan orang yang pertama bicara.
"Bagaimana dapat kita berbuat begitu?" berkata pula kawannya. "Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?"
In Lui gusar mendengar pembicaraan itu.
"Sungguh jahat kamu!" pikirnya. "Sudah hendak merampas harta orang, juga kamu menghendaki jiwanya!"
Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru," Awas! Di atas pohon itu ada orang!"
In Lui berlaku sebat, dua batang piauwnya, Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu) telah dilepaskan.
Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit.
In Lui penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua orang yang ia percayai merupakan orang-orang jahat.
Dua orang itu, yang satu mencekal tongkat besi, yang lain sepasang gaetan, menangkis serangan itu. Maka bentroklah pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja menjadi kaget. Sebab yang bersenjatakan tongkat, tongkatnya somplak, yang mengenggam gaetan, gaetannya tersampok mental, syukur tidak sampai terlepas dari cekalan.
"Mereka lihai juga," begitu pikir In Lui yang merasakan tangkisan keras.
Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya lawannya ini, tetapi tidak punya kesempatan. In Lui sudah lantas menyerang dengan gencar.
Pedang In Lui adalah pedang Ceng-beng, salah satu dari sepasang pedang Hian-Kee It-su, pedang ini tajam dan biasanya dapat membabat kutung senjata biasa, tetapi karena tongkat itu besi tua, tongkat si orang bertopeng tak bisa dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena tersampok.
Orang yang bersenjatakan gaetan sebat sekali, bagus juga permainan gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya kena tabas. Ia membalas menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada menangkis.
In Lui berkelahi dengan gunakan ilmu silat Hui-hoa pok tiap atau Bunga terbang menyambar kupu-kupu. Ia pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba mendesaknya.
Belum lama kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan, tidak perduli mereka dua orang dan mendapat ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan.
In Lui menjadi penasaran hingga ia kertak giginya. Kalau tadinya ia tidak memikir untuk mengambil jiwa orang, sekarang ia tak gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali, ia serang orang yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat Toat-beng-sin atau Malaikat mencabut jiwa yang ia peroleh dari Hui-thian Liong Lie. Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu, baru nanti yang kedua.
Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan kelicinannya. Dia loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu, ia membalas dengan gaetannya yang kanan, yaitu selagi pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai menggaet dan menarik dengan keras.
Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah salah satu dari tipu Tantai Mie Ming.
"Hai, apakah kamu murid-murid Tantai Mie Ming?" ia tegur mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan.
Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya," Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini adalah hari peringatan satu tahun kematianmu!"
Dan seruan itu disusul dengan serang hebat.
Merah mata In Lui, ia jadi sangat gusar.
"Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka Tionggoan sudah tidak ada manusianya?" dia berteriak. Dia pun balas menyerang dengan dashyat.
Pertempuran berjalan seru. Akan tetapi selang sekian lama, In Lui jeri sendiri. Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus, ia menjadi lelah. Keringatnya pun mulai keluar. Di luar sangkaannya, kedua musuh tangguh, rapi kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia jadi kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu.
"Pedang bocah ini bagus," kata lawan yang pegang tongkat," bolehkah sebentar pedang itu diberikan kepadaku?"
"Boleh, boleh sekali!" sahut kawannya. "Aku suka mengalah, suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan padaku, kau mesti dengar perkataanku!"
In Lui mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu. Kata-kata bisa bermaksud buruk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dashyat, ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.
"Aduh!" teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu silat Hui pauw liu coan atau Air tumpah terbang mengalir jadi selokan dan tangannya pun diturunkan.
In Lui gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjukkan kesebatannya, meyusul itu, pedangnya menyambar ke tenggorokan.
Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa.
Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu. Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung. Kali ini ia tidak tercengang lagi, lantas ia melompat mundur, untuk memutar diri dan angkat kaki panjang.
In Lui sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw, ia arah punggungnya, akan tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja, musuh sudah lenyap di tempat gelap.
Nona ini tak mengerti sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata tongkat itu gampang dikalahkan, mestinya ia masih sanggup bertahan.
"Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam?" ia berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya piauwnya barusan. Apa benar ada orang yang membantu dan berbareng menolong juga lawannya itu? Tapi tampaknya tak beralasan, dugaan ini bertentangan dengan kenyataan.
Lantas In Lui hampiri korbannya, kemudian topengnya ia singkap dengan pedang. Ia lihat benar, orang itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat. Siapa dia? Apa maksud mereka berdua?
Tanpa pikir panjang lagi, In Lui menggeledah tubuh orang. Tapi ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta rangsum kering.
"Inilah kebetulan untukku!" kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka dia simpan uang dan makanan rangsum kering itu.
Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil.
"Sahabat sekawan, air semangkok mesti diminum bersama!" demikian suara yang terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau minta bagian.
In Lui jadi mendongkol.
"Baik!" jawabnya. "Kamu berjumlah berapa orang? Mari semua sama-sama minum!" Tapi mendadak ia sadar bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya.
Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!"
Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai menanggapi bagiannya.
In Lui tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya.
Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur. Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya merupakan bacokan. Sebab yang ia gunakan adalah tipu silat Toa Kim-na-ciu atau Tangkapan tangan. Ia bertangan kosong, lain dari kawannya yang mencekal sebilah golok.
In Lui terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis sambaran itu.
"Awas, dia lihai!" berseru orang yang pegang golok, yang terus membacok.
In Lui bela dirinya dengan tipu silat Coan hoa jiauw sie atau Menembusi bunga dengan mengitari pohon, dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu.
Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya lihai, hingga mereka itu kewalahan.
"Baiklah!" berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus. "Biarlah kau yang menelannya sendiri. Tapi kau mesti beritahu she dan namamu agar kemudian kita bisa menjadi sahabat!"
"Siapa sudi bersahabat dengan kamu?" bentak In Lui. "Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan, tetapi yang hebat adalah kamu telah bersekongkol dengan musuh untuk mencelakakan negara!"
Kata-kata ini dibarengi dengan serangan Hun-hoa hoat lie atau Memecah bunga, mengebut pohon, ujung pedangnya menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan. Tipu ini membuat musuh bingung, hingga orang yang mencekal golok lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh terlempar.
Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari serangan yang saling susul, tapi ia mash diserang berulang-ulang.
In Lui membuat orang tidak berdaya, di saat ujung pedangnya hendak menusuk punggungnya, tiba-tiba ia rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu. Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohon yang lebat.
"Bangsat tukang bokong, keluar kamu!" berteriak In Lui, yang tidak berniat mengejar musuh-musuhnya itu. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal.
Tidak ada jawaban atas cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi.
Masih In Lui menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit semut itu. Disitu ada sekelumit daging muncul, bengkak sebesar kacang kedelai. Teranglah itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata rahasia, hanya entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus tidak sudi perlihatkan diri.
Tidak puas In Lui sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah membokong dirinya, maka itu ia kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu. Tiba di dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih menggeros keras.
'Hai, orang mampus!" ia menegur. "Sungguh senang kau tidur!"
Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet.
"Ada penjahat!" In Lui berteriak pula.
Si anak sekolah membuka kedua matanya, dengan malas ia bangkit duduk.
"Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?" katanya seperti orang ngigo. "Itulah aku, aku yang mengetahui."
"Kau ketahui apa?" kata In Lui dengan dingin, sambil tertawa tawar. "Ada penjahat datang kemari!"
Mahasiswa itu kucak-kucak matanya.
"Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi," katanya. "He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu aku?"
Sama sekali ia tidak percaya In Lui, bukan saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya.
"Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya," kata In Lui.
Anak sekolah itu ngulet pula.
"Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apa-apa," katanya kemudian, sambil tertawa. "Buat apa kau bangunkan aku?"
In Lui mendongkol berbareng merasa lucu
"Akulah yang pukul mundur mereka itu!" katanya sengit.
"Apakah itu benar?" tanya si mahasiswa. "Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau menganglap lagi!"
Dan plok, ia lemparkan sepotong ubi padasi pemuda tetiron, yang menyampok dengan mendongkol.
"Siapa main-main denganmu?" dia menegur. "Eh, aku tanya kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang darimana?"
Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang, sebelah tangannya dipakai menuding.
"Eh, kau tanya kau, kau she apa, namamu siapa? Kau datang darimana?" demikian pertanyaannya.
In Lui jadi sangat mendongkol, ia gusar.
"Apa?" tanyanya.
Tapi si anak muda tertawa tawar.
"Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil aku pun tak dapat menanya padamu." ia jawab. "Apakah kau hakim tukang periksa orang?"
In Lui mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia benar juga.
"Mana dapat aku beritahu tentang diriku?" In Lui berpikir.
Mahasiswa itu melirik, sikapnya ngguh membuat In Lui sangat mendelu. Meski demikian, nona ini masih dapat memikir. "Tentang diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti paksa orang lain? Tentang dua orang Tartar itu, mereka datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang seperti yayaku yang kabur dari Mongolia, yaitu anak sekolah ini!"
Menerka demikian, tiba-tiba In Lui jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa jemu. Tetap tingkah pola si mahasiwa itu sangat menyebalkan, dia mengawasi dengan wajah tertawa tapi bukan tertawa, matanya dikecilkan.
Masih In Lui berpikir. Akhirnya ia keluarkan bendera Jit-goat-kie dari Ciu Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiwa.
"Nih, aku berikan kau ini!" katanya. "Tak mau aku jalan sama-sama kau!"
Mahasiswa itu melirik.
"Aku toh bukannya anak wayang!" katanya. "Perlu apa aku dengan benderamu ini yang dua mukanya?"
"Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya," berkata In Lui. Terpaksa ia berikan keterangan. "Dengan adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani ganggu padamu."
"Apa?" tanya si mahasiswa. "Apakajh bendera itu adalah suatu firman?"
Mau tak mau In Lui tertawa.
"Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja!" ia jawab. "Ini adalah Jit-goat-kie dari Kim-too Ceecu. Kau datang dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar nama Ceecu itu. Kim-too Ceecu mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua orang menghormatinya!"
Maksud In Lui baik menyerahkan bendera bulan sabit itu.
Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba. Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa dingin.
"Satu laki-laki yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia mengharapkan perlindungan orang lain?" katanya jumawa. "Apakah kau pernah baca Khong Cu atau Beng Cu?"
Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara berebet, bendera Jit-goat-kie itu robek menjadi empat bagian.
Merah padam wajah In Lui, kegusarannya bukan kepalang besarnya.
"Kim-too Ceecu sangat terkenal, dia satu laki-laki sejati, kau berani menghina dirinya?" dia berteriak, lalu sebelah tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat," Tidakkah tanganku akan membuat mukanya bengkak? Tidakkah itu hebat?" Karenanya ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata dengan sengit. "Aku tidak mau berlaku seperti kau, anak sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini! Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau perdulikan lagi padamu!"
Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat menyesal karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang. Ia jadi merasa tak enak sendirinya.
Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari pintu, ia bangkit dengan perlahan-lahan. Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia batal sendirinya, sebaliknya ia tertawa dingin.
Sekeluarnya dari kuil, In Lui lompat naik ke atas kudanya yang ia terus larikan. Ia baru sampai di tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya.
"Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!" ia berseru.
Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Lui tarik kepala kudanya, untuk berkelit. Menyusul itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan dari sapu tangan sulam.Ia lantas menjadi kaget, ia kenali, itulah bungkusannya yang lenyap. Ia segera mengambil, untuk membuka bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan Ciu Kian berikut uangnya hasil mencopet.
Heran dan penasaran, dari atgas kudanya, In Lui lompat menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia melihat ke sekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiur-siur.
"Sudahlah," akhirnya ia menghela napas. "Benarkah pepatah di luar langit ada lagi langit lainnya. Siapa sangka di sini aku bertemu dengan orang lihay."
Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi. Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju terus ke barat. Segera ia melihat ada orang-orang yang menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya, mereka itu adalah orang-orang kangouw. Ia teringat akan ajaran Ciu Kian tentang kaum kangouw.
"Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri suatu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum rimba persilatan," ia menduga-duga.
Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh perhatian. Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu pemuda biasa saja.
Setelah jalan serintasan, In Lui merasa lapar, ia segera mampir pada tukang bubur di tepi jalan yang juga menjual the. Ia lantas isi perutnya.
"Hari ini perdagangan ramai," kata ia pada tukang teh, yang tengah masak dua panci teh.
"Tuan, apakajh tuan hendak pergi ke Hek-cio-chung?" tanya tukang teh itu sambil tertawa.
"Apa itu Hek-cio-chung?" In Lui balik menanya.
"Kalau begitu, tuan orang dari luar," sahut tukang teh itu. "Hari ini Cio toaya dari Hek-sek-chung merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabatnya yang datang untuk memberi selamat.
In Lui ingat sesuatu.
"Apakah kau maksudkan Hong-thian-lui Cio Eng, Cio Loo-enghiong?" ia tegaskan.
Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat.
"Oh, kiranya tuan sahabat Cio Toaya," katanya.
"Siapakah yang tidak tahu Cio Loo-enghiong?" kata In Lui. "Aku memang berasal dari lain propinsi tapi pernah aku dengar nama Cio Loo-enghiong itu."
Tukang teh itu manggut.
"Benar! Cio Toaya itu luas pergaulannya, semua orang dari berbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik."
In Lui pun manggut. Tentang Cio Eng itu, ia dengar dari Ciu Kian. Katanya Cio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liap-in-kiam dan senjata rahasianya, batu Hui-hong-sek. Adalah karena senjata rahasia ini Cio Eng peroleh julukan Hong-thian-lui (Geledek menggetarkan langit). Sebab bila mengenai tubuh orang, senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring. Cio Eng gagah dan gemar bergaul, akan tetapi toh tabiatnya aneh.
"Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yang-kiok ini," pikir In Lui. "Baiklah aku pun pergi memberi selamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si orang lihai yang telah permainkan aku."
Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan karcis pemberian selamatnya.
Aku tidak tahu loo-enghiong merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan," katanya sambil tertawa. Terus ia tanyakan letak Hek-cio-chung setelah membayar uang teh, ia naik ke atas kudanya, akan menuju ke rumah Hong-thian-lui.
Sudah banyak tamu di rumah Cio Eng. Setelah In Lui serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu, terus ia diantar ke taman bunga dimana pesta diadakan, justeru perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilahkan duduk di meja pojok, kawan-kawan semejanya adalah orang yang tidak ia kenal, hingga ia mesti dengarkan saja mereka itu berbicara.
"Hari ini Cio Loo-enghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya ia hendak memilih juga mantu," kata seorang diantaranya.
"Bisa pusing kepala orang tua itu," kata seorang yang lain. "Aku dengar See Ceecu, Han To-cu dan Lim Chungcu berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak dilayani?"
Orang yang ketiga tertawa.
"Mau apa kau pusingkan kepala?" ujarnya. "Pasti sekali Hong-thian-lui mempunyai caranya sendiri!" ia lantas menunjuk," Kau lihat!"
In Lui berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah lui-tay (panggung untuk pertempuran) yang besar dan tingginya dua tombak lebih.
Orang itu tertawa, ia menambahkan," Hong-thian-lui telah berlaku terus terang, dia adakan pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah mantunya itu, untuk ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya ketiga pelamar itu tak dapat berkata apa-apa."
"Kalau begitu, pasti bakal ramai!" kata yang lain.
In Lui tertawa dalam hati.
"Inilah cara aneh," demikian ia pikir. "Kalau yang menang seorang yang jelek, apa tidak kasihan anak gadisnya?"
Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang pada bangkit. In Lui pun bangun, ia mengawasi ke arah dimana suara ucapan itu terdengar.
Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona. Ia minta jalan di antara orang banyak, terus dia lompat naik ke atas luitay, perbuatannya diikuti si nona.
In Lui lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman, alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung rambutnya. Untuk melihat lebih jelas, ia maju mendekati. Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah berhadapan dengan banyak tamu.
Dari pembicaraan orang banyak, In Lui tahu orang tua muka merah itu adalah tuan rumah, yaitu Hong-thian-lui Cio Eng, dan si nona adalah puterinya, yang bernama Cui Hong.
"Heran juga," pikir pemuda tetiron ini," Cio Eng bermuka bagaikan Lui Kong, tetapi ia mempunyai anak dara yang begini elok."
Lui Kong = Malaikat Geledek.
Tidak sempat In Lui berpikir lebih jauh, ia lihat Cio Eng tengah memberi selamat pada para tamunya, kemudian terdengarlah suaranya yang keras," Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang telah datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!"
"Bagus!" seru sekalian tamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masing-masing.
Cio Eng urut-urut kumis dan jenggotnya, ia tertawa.
"Hek-cio-chung adalah satu desa yang sepi, tidak ada keramaian apa-apa disini, tetapi saudara-saudara telah datang kemari, harap saudara-saudara jangan menertawakan!" kata pula tuan rumah melanjutkan. "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!"
Kembali orang-orang berseru. "Bagus! Bagus!" suatu tanda persetujuan.
Cio Eng tertawa pula.
"Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati," ia menambahkan," maka itu aku persilahkan putera-putera dari See Ceecu, Han Tocu, dan Lim Chungcu untuk naik ke panggung untuk memberi pengajaran kepada anakku itu. Aku ingin lihat siapa yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwi sieheng, bagaimana pikiranmu?"
Dengan samwi sieheng, tiga kakanda, tuan rumah maksudkan ketiga tamunya yang disebutkan itu, See Ceecu, Han Tocu, dan Lim Chungcu.
Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terangan, bahwa pertandingan itu untuk memilih menantu, akan tetapi semua tamunya sudah mengerti maksudnya itu.
"Bagus, bagus!" Han Tocu dan Lim Cungcu menyatakan akur. Lalu keduanya dengan masing-masing mengajak anaknya minta jalan di antara para tamu, dengan saling susul mereka lompat naik. Tampak nyata kegesitan mereka.
See Ceecu bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya lompat naik. Ia dapat melompat dengan sempurna, tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia tergelincir. Melihat ini, semua tamu heran.
Untuk kalangan Hek-too, jalan hitam, See Ceecu terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya puteranya telah mewarisi kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah tersohor menyusul nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera Han Tocu dan Lim Chungcu. See Ceecu kerutkan alisnya, dia hendak bicara tapi batal, cuma mulutnya kemak-kemik.
Putera dari Han Tocu, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah.
"Cio Loopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi," berkata anak muda ini. "Baiklah aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Cio Sie-moay, asal siemoay suka berlaku murah hati."
"Bagus, bagus!" tertawa Cio Eng. "Memang aku senang pada orang yang berlaku terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silahkan keluarkan semua kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sediakan obatnya!"
"Baik, loopee," kata Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tong-cu pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im".
"Bagus!" Cio Eng memuji.
See Ceecu melihat hal itu, ia menoleh pada puteranya, yang juga berpaling kepadanya, keduanya lantas menyeringai. Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan.
Segera pertandingan dimul, Toa Hay menyerang lebih dulu.
Cui Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang ia tidak menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke belakang penyerang itu. Lincah sekali tubuhnya itu.
Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus ia menyerang ke depan, ke kiri dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah menyentuh baju orang pun tidak.
"Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku," kata In Lui dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona Cio. Itulah ilmu silat "Pat-kwa yu sin ciang" yang bergerak ke delapan penjuru. "Coan hoa jiauw sie" yang ia pelajari adalah salah satu tipu silat daripada Pat-kwa Yu-sin-ciang itu.
Toa Hay lantas juga merasakan matanya berkunang-kunang, karena ia seperti dilibat si nona, yang seperti berada di empat muka dan delapan penjuru, bayangannya saja yang nampak berkelebatan.
Diam-diam In Lui tertawa di dalam hatinya.
Masih Toa Hay berputaran masih menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi dia berhenti.
Han Tocu kerutkan alisnya.
"Anak tolol!" akhirnya dia berseru. "Kau bukan tandingan Nona Cio! Apakah kau tidak hendak undurkan diri?"
Mendengar suara Han Tocu, Cio Cui Hong segera perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang, kedua kepalannya menyambar saling susul.
In Lui lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya," Orang tolol yang tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)
Fiction généraleMerupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terbaik. Yang paling mengesankan dari cersil ini adalah romantismenya. Pendekar dara remaja In Lui, bertemu dan bersahabat dengan pendekar gagah...