Walaupun ia berlari-lari, In Lui toh dengar helaan napas panjang di belakangnya, helaan mana disusul dengan kata-kata, "Melihat kau menyebabkan kau berduka, tidak melihat kau, maka akulah yang bersusah hati....Ah, daripada kau yang berduka, baiklah aku saja.... Adik kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu. Kau pergi adik, kau pergi!"
Nona in keras hati meskipun ia rasakan hatinya itu sakit. Ia masih dapat kuatkan hati, untuk tidak menoleh. Akan tetapi, air matanya, tak dapat ditahan.
Dengan terbawa angin, In Lui masih dengar kata-kata orang," Saling melihat, tetapi tidak seperti saling melihat, merasa cinta toh tidak merasa cinta."
Dalam usianya tujuh belas tahun, belum pernah In Lui memikir halnya kasih sayang antara pemuda dan pemudi, mendengar itu, merah mukanya. Di dalam hatinya, ia jadi memikir, "Apakah benar aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?"
Lantas hatinya menjadi bimbang, mukanya merah sampai ke kupingnya. Ia lari terus, setelah beberapa puluh tombak, baru ia berani berpaling ke belakang. Sekarang ini ia tidak lihat sekalipun bayangan Thio Tan Hong!Akhirnya tibalah In Lui di kota Ceng-teng, sebelum matahari terbenam. Ia langsung mencari sebuah hotel besar dimana, dengan mengunci pintu rapat-rapat ia segera rebahkan diri di atas pembaringan.
Tak tahu nona ini, berapa lama ia telah pulas, waktu ia sadar, ia dengar suara gembreng diiringi dengan kata-kata nyaring, seperti orang tengah membentak-bentak, yang mengetuk pintu setiap kamar untuk memberitahukan, "Hotelku telah disewa seluruhnya oleh pembesar negeri, menyesal sekali aku minta tuan meninggalkan hotelku ini untuk mencari rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu akan aku kembalikan. Inilah terpaksa, harap tuan sudi memaafkannya."
Seperti sudah menjadi kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong oleh pembesar negeri, penumpang-penumpang itu puas atau tidak, mereka harus pindah. Demikianlah tindakan terpaksa dari pemilik hotel.
Kamar In Lui diketok paling belakang, ia sudah dandan, sudah siap sedia, begitu ia membuka pintu, ia katakan pada jongos yang mengetoknya, "Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku sudah tahu, sekarang aku pergi!"
"Maaf," kata jongos itu, yang terus mengawasi tetamunya, dari atas ke bawah, dari bawah keatas.
In Lui heran atas dikap orang.
"Apakah yang kau awasi?" dia tanya.
"Aku lihat tuan bukan penduduk sini," sahut jongos itu, "maka itu, dalam keadaan begini mungkin sulit bagi kau mencari lain rumah penginapan."
In Lui makin heran.
"Apa?" dia tegaskan. "Kenapa jadi sulit?"
Jongos itu menutup pintu.
"Apakah tuan tahu kenapa pembesar negeri hendak pakai hotel kami ini?" kata ia perlahan sekali.
In Lui menggelengkan kepala.
"Suara tadi sangat berisik, aku tidak dapat dengar nyata," ia kata.
"Apa yang aku ketahui, inilah persiapan untuk melayani utusan dari Mongolia," terang jongos itu, suaranya tetap perlahan. "Sampai Sri Baginda menugaskan pasukan Gie-lim-kun guna mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua hotel di Ceng-teng, tengah hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau hotelnya menumpang tetamu yang dapat menimbulkan kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada polisi. Maka itu, aku kuatir dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa menemui kesulitan yang memusingkan kepala."
Mendengar itu, In lui tertawa.
"Habis, cara bagaimana kau berani membiarkan aku tetap menumpang disini?" katanya. "Apakah aku tidak mendatangkan kecurigaan itu?"
Jongos itu berdiam, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Bukankah tuan she In?" tanyanya.
In Lui tercekat. Waktu mendaftarkan nama, ia memakai she dan nama palsu. Ia heran kenapa jongos itu ketahui she nya. Maka segera ia sambar tangan orang, yang nadinya terus ia pegangi.
"Kau siapa?" dia tanya dengan bengis.
"Jangan kuatir, tuan," sahut jongos itu, agaknya ia tidak takut. "Kita ada orang sendiri. Jikalau tuan tidak percaya padaku, aku mempunyai suatu barang yang tuan telah tinggalkan disini, kalau tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui duduknya hal."
In Lui tidak takut. Ia pikir, kalau toh mesti menggunakan kekerasan, jongos ini tidak akan lolos dari tangannya. Karena itu ia lepaskan cekalannya, ia biarkan jongos itu pergi mengambil barang yang dia sebutkan itu.
Jongos itu ngeloyor pergi, tidak lama kemudian kembalilah ia bersama kuasa hotel, siapa memegang satu bungkusan kecil yang terbungkus oleh kain sutera, terus ia berikan kepada tetamunya.
"In Siangkong, inilah barang yang tetamuku tinggalkan untukmu," ia kata.
In Lui terima bungkusan itu, dengan hati-hati ia membukanya. Ia lantas lihat sepotong san-hu biru-hijau, yang mempunyai sembilan tangkai. Ia menjadi tercengang. Karena itulah san-hu kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada Cio Cui Hong selaku tanda mata.
"Apakah dia juga datang kemari?" tanyanya. Dengan "dia" ia maksudkan "dia" wanita. "Apakah dia juga berdiam disini?"
"Nona Cio sampai disini kemarin," jawab kuasa hotel itu. "Dia telah melukiskan jelas padaku tentang roman dan potongan In Siangkong, dia minta kami memperhatikannya. Sungguh kebetulan, benar-benar In Siangkong datang ke hotel kami!"
In Lui berdiam. Ia segera ingat cintanya Cui Hong terhadapnya, yang nona itu tidak dapat lupakan. Karena ini, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Baiklah aku menjelaskan, tuan, "si kuasa hotel berkata pula "Hotel kami ini adalah milik partai Hay Yang Pang, dan usaha kita adalah dengan cara diam-diam melayani keperluan orang kang-ouw yang menjadi kaum kita. Hong-thian-lui Cio Loocianpwee itu adalah kenalan baik kami, dan Nona Cio datang kesusu kemarin malam, terus dia titipkan barangnya ini. Nona itu juga memesan supaya kau besok pergi ke Ceng-liong-kiap, untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila Siangkong sampai disana, nanti ada orang yang menyambut padamu untuk diantarkan."
In Lui manggut.
"Habis, sekarang aku harus bermalam dimana?" dia tanya.
"Oleh karena siangkong ada orang kita sendiri," sahut si kuasa hotel, "aku minta siangkong suka serahkan kamar itu, untuk kami menggantinya dengan kamar kerjaku sendiri. Aku harap siangkong suka memaafkan sikap kami ini."
Tetapi In Lui menunjukkan kegirangannya.
"Bagus, bagus!" katanya. "Sekalian aku hendak tengok macamnya utusan dari Mongolia itu, bagaimana keangkerannya hingga ia mesti dilayani secara begini!"
Maka malam itu, habis bersantap, In Lui berpura-pura tidur. Dengan begitu, ia jadi dapat beristirahat.
Segera juga terdengar tindakan kaki-kaki kuda dan suara bengernya, pun suara manusia terdengar riuh menjadi satu. Dan hamba-hamba hotel lantas berlari-lari keluar untuk mengadakan penyambutan.
In Lui tidak berani munculkan diri, maka itu ia cuma mengintai dari sela-sela pintu.
Segera juga tampak empat perwira mengantarkan delapan orang Mongolia memasuki hotel, yang berjalan di tengah, diiringi di kedua sampingnya. Dengan segera In Lui kenali orang yang jalan di tengah-tengah, yang istimewa menarik perhatiannya. Dia adalah si pangeran asing yang pernah bertempur dengannya ketika terjadi penyerbuan kepada Ciu Kian.
Hotel itu adalah yang terbesar di kota Ceng-teng, banyak kamarnya, keempat perwira Gie-lim-kun memeriksa semua kamar, habis itu mereka tanya kuasa hotel, "Apakah disini tak ada orang lain lagi?'
"Paduka tuan telah sudi pakai hotel kita, mana kita berani menerima lain penumpang," kuasa itu menjawab dengan hormat.
Tadinya masih hendak dilakukan pemeriksaan ke dalam, tempat keluarga kuasa hotel dan orang-orangnya, tetapi si pangeran asing mencegah.
"Tak usah tong-nia demikian teliti, "katanya sambil tertawa, "Walaupun Tionggoan besar, mungkin belum ada orang yang berani menjadi lawan kami! Atau andaikata ada juga yang berani, dia tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu tak usah tongnia beramai turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab atas penguburan mereka itu!"
"Benar, benar!" memuji keempat perwira Gie-lim-kun itu. "Memang orang-orang gagah dari negeri Tuan, semua tak ada tandingannya di kolong langit ini. Adalah kami yang terlalu berhati-hati."
Mendongkol In Lui mendengar perkataan orang itu.
"Sebentar akan aku berikan kamu pengertian apa yang dinamakan lihai!" pikirnya. Ia anggap orang menghina diri sendiri, sedang disini ada soal kebangsaan.
Sebentar kemudian, selesai sudah utusan itu mengambil kamar, lalu dua orang Mongolia serta dua perwira Gie-lim-kun ditugaskan bergantian berjaga malam.
In Lui tunggu saatnya, untuk salin ya-heng-ie, pakaian untuk keluar malam, begitu lekas ia dengar suara kentongan tiga kali, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya, untuk mendekam dulu di ujung payon. Tapi ia siap sedia dengan senjata rahasianya, Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw (Kupu-kupu yang bermain diantara bunga-bunga Bwee). Ia tunggu waktu, bila kedua cinteng Mongolia itu membalik belakang terhadapnya, hendak ia serang mereka itu.
Tiba-tiba diatas wuwungan berkelebat satu bayangan putih. In Lui lihat itu, ia terkejut. Sekejap saja ia lihat berkelebatnya satu tubuh manusia, orang itu memakai topeng, bajunya putih dan panjang, maka di dalam gelap tampak tegas warna putih dari pakaiannya itu. Segera juga hati In Lui berdenyut. Sekelebatan ia ingat kejadian pada malam itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup masuk ke Cio-kee-chung. Karena ini, ia lantas goyangkan tangannya, untuk memberi tanda.
Orang bertopeng itu membalikkan tubuhnya, ia rupanya melihat tanda yang diberikan, malah ia membalas menggerakkan kedua tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya menyuruh si nona lekas berlalu.
Belum sempat In Lui berpikir, untuk mengambil keputusan, ia tampak orang itu sudah lompat turun, menyusul mana ia dengar dua jeritan dari kesakitan. Sebab dengan kesebatannya, orang bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua pahlawan itu.
"Itulah serangan Kim-kong-ciu yang lihai!" memuji In Lui, kagum, "Belum pernah aku tampak Tan Hong menggunakan semacam pukulan...Apakah dia adanya atau lain orang?"
Tengah si nona berpikir, dari dalam telah lompat keluar kedua cinteng Gie-lim-kun, tetapi kembali dengan kesebatannya, bukan ia menyingkir, si orang bertopeng justeru menerjang, ketika kedua tangannya bergerak, tidak ampun lagi ia menotok urat lemah di pinggangnya.
Itulah perwira Gie-lim-kun yang di sebelah kiri, tetapi yang di sebelah kanan, kepandaiannya tidak selemah kawannya, dengan gerakan "Cui hui pie pe" atau "Tangan mementil pie-pee" dapat ia egoskan diri dari bahaya.
Si orang bertopeng segera berseru, "Kenapa anak cucunya Oey Tee mesti jual jiwa untuk bangsa Tartar?"
Suara itu perlahan, In Lui tidak dapat mendengar dengan nyata. Ia hanya heran kenapa dari pukulan kematian, orang itu mengubahnya dengan totokan jalan darah, hingga orang Gie-lim-kun itu tidak dibinasakan.
Tidak lama mereka itu bertempur, lantas perwira Gie-lim-kun itu mundur, atas mana si orang bertopeng lompat ke dalam, ke arah kamar dari si pangeran asing.
Belum sampai orang itu di muka pintu, dengan tiba-tiba daun pintu terpentang lebar, disusul dengan suara tertawa yang nyaring, dan munculnya satu bayangan, gerakan tubuh bayangan itu mendatangkan siuran angin.
Mau atau tidak, si orang bertopeng mundur tiga tindak.
In Lui tidak pergi ketika diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia diam di tempatnya mendekam, dari situ ia dapat lihat siapa adanya orang yang keluar dari dalam kamar itu, ialah Tantai Mie Ming.
Jago Mongolia itu telah memasuki Tionggoan, entah dengan cara bagaimana, sekarang ia menemani si pangeran asing yang menjadi utusan itu.
Segera In Lui lihat, setelah mundur, si orang bertopeng maju pula, dia menyerang.
Tantai Mie Ming gerakkan tangannya berikut tubuhnya, atas mana si orang bertopeng rubuh terjungkal, jumpalitan, tapi sekejap saja, ia sudah berdiri pula.
Kaget sekali In Lui, hingga ia berteriak, "Lekas menyingkir!" sedang tiga batang senjata rahasianya dengan saling susul ditimpukkan kepada Tantai Mie Ming. Ia tujukan ke atas, untuk membuatnya orang repot.
Tantai Mie Ming kibaskan kedua tangannya, belum lagi senjata rahasia tiba pada tubuhnya, tiga-tiganya suah jatuh ke lantai.
Selagi jago asing itu menangkis piauw, si orang bertopeng sudah maju pula dengan serangan kedua tangannya. Masih sempat Tantai Mie Ming menangkis, juga dengan kedua tangannya, maka itu keempat tangan jadi beradu dengan suara keras hingga terbit suara nyaring. Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh limbung, tapi tidak sampai rubuh.
"Bagus!" seru Tantai Mie Ming. "Siapa sanggup lawan tanganku, dia terhitung satu hoohan juga!"
Setelah kegagalannya ini, si orang bertopeng lari keluar, berniat lompat naik ke atas genteng.
Perwira Gie-lim-kun yang tadi menyaksikan jalannya pertempuran, ketika ia lihat orang hendak lari, dengan mendadak ia membokong dengan joan-piannya, cambuk yang lemas.
In Lui saksikan perbuatan orang itu, ia menjadi gusar, serta merta tangannya terayun, sebatang piauwnya terbang menyambar.
Perwira itu tidak sepandai Tantai Mie Ming, lengannya terkena piauw, tak ampun lagi, ia rubuh dengan tak sadarkan diri, cambuknya turut jatuh.
Pada saat itu si orang bertopeng pun sudah naik ke atas tembok, darimana ia lompat terus ke atas genteng.
"Terima kasih!" ia mengucap dengan perlahan kepada nona kita, ia tidak berhenti lari atau menghampiri, ia berlalu terus dengan cepat sekali.
Karena In Lui tercengang menyaksikan kelakuan orang itu, ia hanya melihat bagian belakangnya saja. Ia jadi berpikir. Mendengar suaranya dan melihat punggungnya, seolah-olah ia pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan Thio Tan Hong.
Sedang ia diam berpikir, beberapa pahlawan Mongolia serta anggota-anggota Gie-lim-kun tampak mendatangi, malah Tantai Mie Ming menjurus ke arah tempatnya sembunyi, hingga ia menjadi terkejut. Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil memandang ke arahnya, perdengarkan tertawanya.
"Mana si orang jahat?" pahlawan-pahlawan itu saling menanya.
Sekonyong-konyong Tantai Mie Ming putar tubuhnya dan ia melepaskan panah ke lain arah daripada In Lui, habis mana ia kata, "Orang-orang jahat banyak jumlahnya, diantara kamu, dua orang melindungi ong-ya, yang lainnya semua turut aku!"
Inilah diluar sangkaan In Lui, maka ia menjadi heran atas sikap Tantai Mie Ming. Bukankah Mie Ming telah dapat mencari ia? Kenapa dia justeru mengajak rombongannya pergi ke lain jurusan? Sungguh ia tidak mengerti.
Setelah orang-orang pergi, In Lui turun dari tempatnya sembunyi, dengan matanya yang awas ia segera tampak jongos hotel, yang menyembunyikan dia di pojok yang gelap, melambaikan tangannya. Ia lantas menghampiri.
"Mari turut aku!" kata jongos itu. "Selagi keadaan kalut, kita mesti menyingkir."
In Lui ikut dengan tidak banyak omong. Ia percaya jongos itu. Untung bagi mereka, mereka tidak menemui siapa juga.
Ketika itu pintu kota masih belum ditutup, si jongos mengajak tetamunya sampai di suatu tanjakan di luar kota.
"Sebentar jam lima, ada orang yang akan menjemput siangkong," kata jongos itu lega.
In Lui keluarkan napas.
"Sungguh berbahaya!" ia kata.
Dalam cahaya rembulan dan bintang-bintang yang samar-samar, si nona tampak wajah si jongos berseri-seri. Dia pun berkata, "Nona Cio memesan supaya siangkong ingat untuk membawa sanhu. Apakah siangkong telah sediakan itu?"
In Lui menjadi masgul, ruwet pikirannya. Baru tenang satu gelombang, sudah dating gelombang yang lain.
"Aku tahu sudah, " katanya dengan terpaksa.
Menampak wajah si "pemuda" berubah, jongos itu tidak berani tertawa lagi.
Berselang kira-kira setengah jam, dua ekor kuda tampak mendatangi, yang satu ada penunggangnya, yang lain kosong. Setelah penunggang kuda itu datang dekat, ia kenali orang itu adalah Cek Po Ciang.
Hwee-sin-tan Cek Po Ciang ini sangat membenci Thio Tan Hong, terhadap In Lui ia juga tidak berkesan terlalu baik, akan tetapi bertemu kali ini, ia girang juga, maka sambil memberi hormat, ia kata, "Kau juga dapat lolos? Bagaimana dengan si bangsat berkuda putih itu? Bukankah itu hari dialah yang datang membawa pasukan negeri?"
Orang she Cek itu tetap menyangka Tan Hong mencelakai mereka.
In Lui menyahut dengan dingin sekali, "Dia justeru mengorbankan segala apa untuk menolongi Pit Loo-enghiong! Apakah Pit Loo-enghiong tidak menceritakannya padamu?"
"Adakah itu benar?" ia menegaskan. "Aku belum bertemu dengan Pit Loo-enghiong. Cuma Nona Cio yang menyuruh aku menyambut kau, supaya dengnan menunggang kuda kita mencari dia."
Tanpa menjawab kata-kata orang, In Lui menanya.
"Dimana adanya Pit Loo-enghiong sekarang?" demikian pertanyaannya.
"Menurut nona Cio, setelah Pit Loo-enghiong lolos dari bahaya, dia bernaung di tempat Na Thian Sek di Im-ma-coan. Tempat itu terpisah dari sini kira-kira sepuluh lie. Ah, cahaya terang sudah mendatangi, kita mesti lekas berangkat!"
Po Ciang lantas serahkan kuda yang kosong, ia silahkan In Lui menaikinya, sesudah mana ia jalan di sebelah depan sebagai pengantar.. Mereka kaburkan kuda mereka dan pada waktu fajar sampailah mereka di sebuah lembah.
"Inilah selat Ceng-liong-kiap," Cek Po Ciang memberitahukan. Terus ia bersuit tiga kali beruntun.
"Itulah nona Cio sedang mendatangi," kata Po Ciang. "Pergi kau masuk ke lembah untuk papaki dia. Aku sendiri masih hendak pergi kepada Pit Loo-enghiong."
In Lui menurut, ia turun dari kudanya, ia lantas bertindak ke dalam lembah. Belum jauh ia jalan atau dari satu tikungan ia tampak munculnya satu orang, ialah Cio Cui Hong.
Nona itu mendatangi sambil berlari-lari, air matanya bercucuran, ia lompat menubruk, ia merangkul dengan keras.
"Ah, akhirnya kita bertemu pula..." serunya.
In Lui pegangin orang, untuk diajak duduk.
"Kau telah janjikan aku untuk bertemu dengan kau, "katanya tertawa, "tentunya itu bukan untuk bicara tentang cinta."
Cui Hong cemberut, matanya melotot, tapi ia seka air matanya.
"Thian telah melindungi hingga kita telah bertemu pula, "katanya dengan perasaan bersyukur, "akan tetapi engko Ciu....engko Ciu..."
In Lui terkejut.
"Engko Ciu kenapa?" dia Tanya.
"Aku berkesan keliru terhadap kakak angkatmu itu, dia sebenarnya orang baik hati..." Cui Hong jawab.
"Katakan lekas, engko Ciu kenapa?" tegas In Lui tanpa perdulikan pengutaraan orang.
"Ketika itu hari kau rubuh dari kuda hingga kau kena terkurung, "sahut Cui Hong dengan ceritanya, "kami telah kembali dengan niat menolongi kau. Tapi kami telah dipotong musuh. Belakangan muncul Thio Hong Hu. Dia gagal mengejar Pit Loo-enghiong, dia rintangi aku dan Ciu Toako. Kami berdua bukan tandingan dari Hong Hu, baru belasan jurus, aku telah kena tersampok belakang goloknya hingga aku rubuh dari kudaku, pada saat itu hampir aku kena dibekuk musuh, Ciu Toako telah berlaku mati-matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya, dengan menerjang bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio Hong Hu, ia gigit. Karena ini, Thio Hong Hu mengemplang dengan goloknya, hingga ia pingsan, habis itu, dia naik ke kudanya untuk lari pergi, mungkin untuk mengobati lukanya, hingga kau tidak dikejarnya terlebih jauh."
Diantara In Lui dan Ciu San Bin ada perasaan yang tidak menyenangkan mereka, akan tetapi meskipun demikian, mereka menyayangi satu pada lain bagaikan saudara sendiri, maka itu, mendengar keadaan San Bin itu, In Lui kaget dan kuatir.
"Kalau begitu, perlu kita lekas pergi menolong!" katanya.
"Aku minta kau datang kemari justeru untuk mencari daya buat menolongi dia," kata Cui Hong. "Dengar dulu perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali. Setelah hari itu aku lolos dari bahaya, lalu kemarin dulu aku bermalam di kecamatan Kee-koan. Disitu, pada waktu tengah malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang bertopeng, yang memancing aku pergi ke luar kota. Turut penglihatanku ilmu silat dia itu ada terlebih lihai daripada aku, tetapi dia tidak mencelakai aku. Setibanya di luar kota, dia lanta tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu membuat aku menjadi heran dan berpikir. Baru besok siang, aku mengerti perbuatannya si orang bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Kee-koan telah dikerahkan tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum. Hotel-hotel diperiksa teliti, mereka yang berlalu lintas juga ditanyai melit-melit. Menurut kabar, tindakan itu diambil untuk persiapan menyambut seorang besar, untuk menjaga keamanan. Terang sudah, si orang bertopent itu memancing aku keluar kota karena ia telah mengetahui terlebih dahulu tentang akan dilakukannya penggeledahan itu. Dan tentu sekali, dia bermaksud baik."
In Lui menjadi heran sekali.
"Orang bertopeng....orang bertopeng?" katanya tak tegas. "Bagaimana tentang potongan tubuhnya, dia mirip atau tidak dengan orang yang telah nyelusup masuk ke rumahmu dahulu, yaitu si mahasiswa berkuda putih?"
"Di waktu malam gelap seperti itu, aku tidak dapat melihat dengan nyata," sahut Cui Hong. "Lain dari itu, aku juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda putih itu. Karenanya, tak dapat aku berkata suatu apa."
Dengan sendirinya, wajah In Lui menjadi bersemu dadu.
"Aku tahu siapa si orang besar yang hendak disambut di Kee-koan itu," ia beritahu. "Mereka adalah utusan bangsa Mongolia serta sekalian pengiringnya. Oleh karena Kee-koan ada sebuah kota besar, rupanya dipandang perlu untuk melakukan penggeledahan umum itu."
Cui Hong heran.
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
"Tadi malam aku juga telah melihat orang yang bertopeng itu," jawab In Lui. "Tentang ini, belakangan saja kita perbincangkan pula. Baiklah kau bicara terlebih dahulu, tentang kau."
Cui Hong menurut.
"Kemarin malam aku telah bertemu dengan satu sahabat dari ayahku," ia bercerita. "Dari sahabat itu, aku dapat tahu Pit Loo-enghiong sudah lolos dari ancaman marah bahaya. Lantas aku cari Pit Loo-enghiong itu. Tidak tahunya, Pit Loo-enghiong juga telah bertemu dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng itu telah menitipkan sepucuk surat padanya. Pit Loo-enghiong berkata, si orang bertopeng mirip seperti Thio Tan Hong yang kedua. Kemudian Pit Loo-enghiong tiba di rumah keluarga Na, disana pun si orang bertopeng telah meninggalkan suratnya. Oleh karena ia baru saja terlepas dari bahaya, Pit Loo-enghiong tidak berniat untuk mencari tahu tentang orang bertopeng itu."
"Bagaimana bunyi surat si orang bertopeng itu?" Tanya In Lui.
"Surat itu mengatakan bahwa si orang bertopeng ketahui rombongan utusan bangsa Watzu itu pergi ke Pakkhia, yang menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia menduga bangsa Watzu hendak mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan antara Kerajaan Beng dan negara Watzu telah menjadi buruk, tetapi kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka juga terhadap utusan Watzu itu, ia menyambutnya dengan gembira, dalam hal tindakan memberi perlindungan ia sangat berhati-hati. Surat itu juga mengatakan, si orang bertopeng ketahui Ciu Toako berada di tangan tentara negeri. Untuk menolong Ciu Toako, dia usulkan supaya kita berkumpul, supaya kita cegat rombongan utusan bangsa Watzu itu, untuk menawan si pangeran juga. Dengan tindakan kita ini, jikalau kita berhasil, kesatu kita dapat menolongi Ciu Toako, dan kedua pemerintah juga tak usah dengan tundukkan kepala memohon perdamaian dari bangsa asing itu. Lebih jauh surat itu menunjuk, selat Ceng Liong Kiap bagus letaknya, berbahaya, maka ia anggap, disini dapat kita umpetkan diri, untuk mencegat rombongan utusan itu. Si orang bertopeng berjanji, pada saat pencegatan mungkin dia bias datang untuk memberikan bantuannya."
"Bagaimana pikiran Pit Loo-enghiong?" In Lui tanya pula.
"Ketika Pit Loo-enghiong ketahui Ciu Toako tertawan musuh, ia kaget dan kuatir bukan main. Ia tahu, tidak ada waktu lagi untuk mengirim panah lok-lim-cian, sebab air yang jauh tidak dapat dipakai menolong kebakaran yang dekat, maka itu ia setuju akan daya yang disarankan si orang bertopeng, tidak perduli tindakan ini sangat berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit Loo-enghiong minta kita bergantian memasang mata disini, untuk menunggu ia datang bersama kawan-kawannya.
In Lui berpikir, hingga tak dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie Ming gagah luar biasa, sungguh sulit merampas orang dibawah perlindungan dia. Selagi ia masih berpikir, si nona tegur padanya.
"Apakah jongos hotel telah menyerahkan sanhu padamu?" demikian tanyanya.
"Ya, sudah," jawab In Lui.
"Justeru sekarang masih ada tempo, ingin aku tanya kau suatu hal, " kata pula Nona Cio.
"Apakah itu?" In Lui balik menanya.
Cui Hong mengawasi.
"Sepanjang jalan ini, bagaimana sikapmu terhadapku kau tahu sendiri, " ia kata. "Meskipun kita ada suami-isteri, yang benar adalah tak pernah kau perlakukan aku sebagai isterimu bukan?"
"Ah, mengapa di waktu begini kau menanyakan urusan itu?" Tanya In Lui, romannya tidak wajar, agaknya dia bingung.
"Sudah sekian hari hatiku pepat, " Cui Hong akui. "Aku adalah seorang dengan perangai terburu napsu, maka urusan ini tidak bias aku tidak menanyakannya dengan jelas."
In Lui kewalahan.
Ketika itu matahari sudah mulai muncul, maka dapat dipercaya, perutusan Watzu akan segera tiba di selat. Karena ini, In Lui jadi bertambah tidak bernapsu akan bicara tentang perhubungan mereka sebagai suami-isteri. Tiba-tiba ia tertawa, kedua biji matanya pun berputar.
"Encie Hong!" katanya riang gembira, "aku mengerti maksudmu. Kau suruh si jongos menyampaikan sanhu padaku ialah agar...." Ia berhenti, agaknya ia tengah berpikir.
Cui Hong memotong, "Ialah untuk menanyakan pikiranmu. Umpama kata kau tidak suka padaku, sanhu itu kau simpan, untuk diserahkan pada lain orang. Seandainya kau..."
In Lui pun memotong.
"Encie Hong, sanhu ini adalah kepunyaanku untuk kau, selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat diserahkan kepada lain orang? Sekarang, dengan tanganku sendiri, aku serahkan pula padamu."
Cui Hong terhibur, ia menerima batu permata itu.
Tiba-tiba saja In Lui berkata secara sembarangan, "Ah, Ciu Toako benar-benar seorang yang baik....bukankah aku tidak mendustai kau?"
Cui Hong tercengang, lekas ia tunduk, hingga ia tampak pada sanhu itu, di lembaran bunga yang ketiga ukiran huruf "Ciu". Lantas saja wajahnya berubah.
Tadinya nona Cio ini hendak bicara, segera ia tercegah oleh berisiknya suara serombongan kuda dan orang yang mendatangi di luar selat, yang terus memasuki selat itu.
Dengan lantas In Lui dan Cui Hong sembunyikan diri diantara batu besar yang berdiri tegak bagaikan rebung, dari situ mereka tampak serombongan kecil barisan serdadu sebagai pembuka jalan. Disana terlihat si pangeran Mongolia berjalan dengan merendengkan kudanya bersama Tantai Mie Ming.
"Celaka, mereka telah tiba!" berbisik Cui Hong pada In Lui, agaknya ia terkejut.
"Pit To Hoan sendiri masih belum datang."
Si pangeran mainkan cambuknya, diatas kudanya itu, ia tampak bangga atas dirinya sendiri.
Selagi rombongan itu berjalan terus, tiba-tiba terdengar orang menyanyikan satu lagu rakyat Mongolia, si penyanyi tengah mendatangi dari arah depan, memapaki rombongan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)
Aktuelle LiteraturMerupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terbaik. Yang paling mengesankan dari cersil ini adalah romantismenya. Pendekar dara remaja In Lui, bertemu dan bersahabat dengan pendekar gagah...