XI

707 12 0
                                    

Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang rupanya sedang jalan mondar-mandir. Mendengar itu, mendadak In Lui sadar dari lamunannya.
"Pastilah tak sabara Ciu Toako menantikan aku!" pikirnya, maka ia lantas pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia bertindak keluar.
San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu.
"Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?" dia berkata. "Orang telah datang semakin dekat. Orang yang datang ke tempat pekuburan ini, mestinya bukan sembarang orang. Bagaimana dengan kesehatanmu? Dapatka kau menggunakan pedangmu?"
"Rasanya aku dapat," jawab In Lui. "Ciu toako, coba kau tuturkan pula adanya tentang Lok-lim-cian."
Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran. Bagaimana dalam keadaan demikian si nona masih sempat menanyakan urusan panah kaum
Rimba Hijau itu?
"Aku percaya, sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas," ia menjawab. "Apa lagi yang hendak dibicarakan mengenai panah itu?"
"Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya Lok-lim?" In Lui tanya.
San Bin mengawasi, ia tertawa.
"Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?" dia bali menanya. "Di dalam propinsi ini, ada banyak jago Lok-lim! Ya, aku sampai lupa memberitahukan kau satu hal. Kau tahu, Ji-supeeh Tiauw Im Taysumu, yang belum lama ini baru kembali dari Mongolia, sekarang berada di daerah ini. Jangan-jangan dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu."
In Lui heran.
"Adakah itu benar?" dia tanya. "Kapan ji-supeeh pergi ke Mongolia? Apakah kau telah bertemu padanya?"
"Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang," sahut San Bin. "St, jangan kau bicara pula! Dengar, di luar ada suara orang memanggil kau!"
Memang benar kata-kata orang she Ciu ini.
"In Lui! In Lui!" demikian suara panggilan di luar pekuburan.
Itulah suara Cui Hong.
In Lui heran hingga ia tercengang. Baru ia hendak berkata, "Jangan bukakan pintu," San bin sudah pentang pintu kuburan, hingga nona Cio bisa lari masuk, larinya keras sekali.
Begitu ia lihat In Lui, Cui Hong girang bukan kepalang.
"In Siangkong, kau benar ada disini!" dia berseru. Cuma itu yang ia dapat katakana, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis karena girangnya.
"Luka In Siangkong baru baikan, kau jangan ganggu dia," San Bin peringatkan.
Baru sekarang Cui Hong lihat pemuda she Ciu itu, untuk sedetik ia tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan kegusaran.
"Kita ada suami-isteri, kenapa kau usilan?" dia bentak. Tapi terus ia hampirkan In Lui.
"In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahat Hek Pek Moko?" dia tanya dengan perlahan sekali.
In Lui manggut.
"Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh," ia jawab. Ia pegang tangan si nona, untuk ditarik. "Benar apa yang dikatakan Ciu Toako, perlu aku beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore."
Muka Cui Hong menjadi bersemu merah.
"Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku....."katanya dalam hati, saking mendongkol. Ia Cuma bisa berpikir, tidak berani ia utarakan kemendongkolannya itu.
San Bin disamping mereka tertawa perlahan.
"Eh, kau tertawakan apa?" tegur Cui Hong, matanya mendelik.
In Lui menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin yang bersenyum.
"Aku sudah lapar, Nona Cio, tolong kau masakkan aku makanan," demikian katanya. "Disini ada beras, ada daging. Ingin aku beristirahat, maka kalau nanti makanan itu sudah sedia, baru kau panggil aku..."
Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia.
San Bin hendak ikuti si nona, baru ia jalan dua tindak, Cui Hong sudah perdengarkan suaranya yang kaku, "Eh, mari kau bantui aku ambil air untuk cuci beras!"
Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam kamar rahasia.
In Lui menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu. Ia bagaikan anak nakal yang merasa sangat puas karena berhasil mengodai orang.
San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui Cui Hong mengambil air untuk cuci beras, lalu menyalakan api, untuk memasak nasi.
Cui Hong juga bungkam terus, tidak ia perdulikan anak muda itu, suatu tanda ia murka.
Adalah In Lui, yang katanya hendak beristirahat, di dalam kamar rahasia sudah mengasah otaknya. Ia pikirkan, dengan cara bagaimana dapat ia menjodohkan kedua pemuda dan pemudi mitu. Ia tersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan suara satu pada lain.
"Cui Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan karena ia menyangka aku sangat berpihak pada toako San Bin," ia pikir. "Tapi kalau nanti ia ketahui aku pun seorang wanita sebagai dia, pastilah dia akan tertawa. Adakah ini yang dikatakan, kalau bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?"
Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri. Tidakkah ia pun demikian ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong? Tidakkah ia juga semula menpunyai perasaan jemu? Karena ini, ia menghela napas sendirinya.
In Lui tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu dia dengar Cui Hong mengetok pintu kamar.
"In Siangkong, nasi sudah matang!" kata "isteri" itu.
Bagaikan baru sadar dari mimpinya, dengan gugup In Lui buka pintu. Ia lantas dapat tenangkan diri. Tapi begitu lekas ia tampak sikap San Bin dan Cui Hong berdua, yang tetap masih saling membungkam dan tak perdulikan satu sama lain, tak tertahan lagi, ia tertawa.
Cui Hong dan San Bin berebut hendak menyajikan nasi untuk In Lui. Karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda, hingga dia ini dengan jengah mesti mengalah.
In Lui tersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Cio.
San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In Lui, ia diam dengan muka yang merah.
"Cui Hong," berkata In Lui kemudian, "Ciu Toako adalah Jit Goat Siang-kie Kim Too Siauw Ceecu. Ia ada seorang yang banyak pemandangannya, luas pengetahuannya. Maka, itu pantaslah kalau kau meminta pengajaran darinya."
Dengan sengaja In Lui menyebutkan lengkap "Jit Goat Siang-kie Kim Too Siauw Ceecu" atau Ceecu muda berjuluk Kim Too, si Golok Emas, dari pesanggrahan yang berbendera Jit Goat Siang-kie, bendera sepasang matahari dan rembulan.
Mendengar itu Cui Hong perdengarkan suara di hidung, "Hm!"
"Memang telah aku ketahui kakak angkatmu itu ada seorang gagah yang luar biasa," demikian katanya secara memandang enteng. "Jikalau bukannya begitu, cara bagaimana kau begini mendengar kata terhadapnya?"
Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak demikian dengan si nona In, yang tak perdulikan ejekan itu. Ia telah menduga yang ia akan mendapat sambutan demikian. Sambil tertawa, ia berkapa pada si nona, "Turut katanya Ciu Toako, itu hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?"
"Memang," jawab Cui Hong. "Tidak lama setibanya aku di rumah, ayah pun pulang. Wajah ayah muram sekali, ia seperti tengah menghadapi soal yang sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat menemui kau, ayah jawab tidak. Ayah tahu betul kau masih berada di dalam kuburan Hek Pek Moko, tetapi ada orang yang mencegah dia menemui kau. Hal itu membuat aku heran sekali."
San Bin pun heran, hingga ia campur bicara.
"Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau, siapa yang berani merintangi dia?" demikian ia tanya.
Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Cui Hong terhadap pemud itu berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak mau melayani orang berbicara, ia hanya memandang In Lui.
"Berulang kali aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah dia, ayah tetap tidak hendak mengatakannya," kata Cui Hong. Ayah katakana ia tidak takuti siapa pun juga, melainkan perkataan orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya. Ayah pun berkata, tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong. Ia kata tidak usah aku pusingkan kepala lagi.
Berkata sampai disitu, merah muka Cui Hong, hingga tidak berani ia bertemu mata dengan In Lui, tangannya pun membuat main ujung bajunya saja.
In Lui tertawa di dalam hati, ia girang, ia pun berduka. Ia girang menyaksikan kemalu-maluan Cui Hong dan Cio Eng yang demikian menghargai Thio Tan Hong. Tapi ia berduka untuk nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti. Bukankah Tan Hong itu musuhnya? Ia tahu benar, orang yang dimaksudkan Cio Eng itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang pemuda she Thio itu, tidak hendak ia menyebutkannya.
"Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali," Cui Hong menambahkan, "Biasanya, dalam hal apa juga, ayah selalu bicara denganku, hanya selama ini, semua gerak-geriknya ia rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat cilik berkuda putih itu, perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang yang mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit jua padaku. Ayah sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi gusar. Sebaliknya ayah menghendaki aku segera mengantarkan surat........"
"Mengantarkan surat?" tanya In Lui. "Mengantar surat untuk siapa?" Ia perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahuinya.
Cui Hong sebaliknya bersenyum.
"Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang kenamaan, yang aneh," ia beritahu. Tapi Cuma sampai disitu ia memberitahukannya, lalu ia tambahkan," Sekarang ini tidak hendak aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin bertemu dengan orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!"
"Di propinsi Shoasay ini dimana ada orang kenamaan yang aneh seperti yang kau maksudkan itu?" San Bin campur bicara pula. "Apakah dia itu Na Tayhiap? Ataukah Cek Chungcu? Atau?"
"Hm!" Cui Hong memotong. "Tak usah kau menduga-duga tidak keruan! Kau memang ada Kim Too Siauw ceecu yang kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang kangouw kenamaan yang aneh itu!"
San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula.
In Lui tertawa.
"Sudahlah, jangan kau main sandiwara!" kata dia. "Akan aku turut perkataanmu. Besok bersama-sama Ciu Toako, aku akan turut kau! Sekarang sudah malam, hendak aku tidur!"
Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk.
Cui Hong Cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke dalam kamar itu.
"Enci Hong, disana masih ada sebuah kamar," berkata In Lui dengan perlahan pada nona ini.
Cui Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti bertindak. Ketika ia hendak buka mulutnya, dari luar ia dengar suara San Bin berkata seorang diri, "Hebat kuburan ini, bagaikan satu dunia baru saja! Ruang di dalam tanah bagaikan istana, sudah ada ruang besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh bagus! Kamu berdua boleh tidur masing-masing di kamar, aku sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga malam. Hiantee, kau baru sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur siang-siang, jangan kau terlalu banyak bicara."
Muka Cui Hong merah hingga ke kupingnya, ia lompat keluar kamar rahasia. Di ruang tengah itu, ia tampak San Bin mengawasi ia, wajahnya seolah-olah bersenyum. San Bin menutup mulut.
Mendongkol Nona Cio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai tubuhnya kutung. Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu dari kamar yang ditunjukkan In Lui, ke dalam mana ia bertindak masuk. Karena terus mendongkol, sampai jauh malam belum dapat ia tidur pulas.
Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusin dari tidurnya. Mereka berkumpul di ruang tengah. In Lui bicara dengan San Bin, tapi San Bin dan Cui Hong tidak bicara satu pada lain. Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama. Habis dahar, ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tiba-tiba terdengar di kejauhan suara kuda berbunyi.
San Bin lompat bangun.
"Cepat sekali datangnya kuda itu!" kata dia. Ia bicara seperti tanpa juntrungannya. Baru ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin dekat. Dua kali binatang itu berbenger.
"Eh!" Cui Hong berseru, tanpa ia merasa. "Suara kuda itu seperti suara si kuda putih!"
Mendadak wajah In Lui menjadi pucat, tubuhnya pun limbung bagaikan hendak jatuh.
Ciu San Bin sudah lantas cabut goloknya.
"Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!" ia kaa. "Mari kira gabung tenaga kita untuk tempur dia!"
In Lui raba pedangnya, tangannya gemetar. Belum lagi ia hunus pedangnya itu, terdengarlah suara berisik dari tubuhnya pintu depan, menyusul mana seekor kuda putih menyerbu masuk.
San Bin berseru, kaget campur girang, terus ia lompat menyambut sambil memberi hormat kepada orang yang menunggang kuda putih itu.
In Lui pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio Tan Hong yang ia harap-harap, hanya di luar sangkaannya orang itu adalah Tiauw Im Hweeshio! Ia menjadi girang berbareng kecewa, hingga ia berdiri menjublak di hadapan pendeta itu, tak dapat ia bicara.
Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu pemuda, hingga ia keluarkan suara tertahan, "Ah!" Kemudian, selagi ia hendak minta keterangan, Ciu San Bin telah menarik ujung bajunya, mengajaknya ke pinggir, untuk dibisiki. Akhirnya ia tertawa berkakakan.
"Anak Lui, mari!" ia memanggil sambil melambaikan tangannya. "Baru beberapa tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah menjadi demikian rupa."
"Susiok!" In Lui memanggil, yang maju seraya memberi hormat.
Cui Hong turut di belakang In Lui, ia pun memberikan hormatnya.
Tiauw Im melirik kepada nona Cio, lalu ia tertawa berkakakan pula.
"Sungguh cantik!" katanya gembira. "Anak Lui, jangan kau sia-siakan padanya!"
"Apa susiok ada baik?" tanya Cui Hong. Ia agak malu.
Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula.
"Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?" dia tanya.
Melengak Nona Cio ditanya begitu.
"Teehu sangat cerdik!" San Bin menyelak, untuk mewakilkan si nona menjawab paman guru yang jenaka itu. 'Ia bukan Cuma pandai masak nasi, ia pun pandai masak sayur!"
"Bagus, bagus!" seru pendeta itu. "Selama dua hari aku telah melakukan perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang perutku lapar sekali, maka itu, lekas matangkan aku nasi dan sayurnya!"
Cui Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata, "Walaupun kau lapar, tidak selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku sendiri belum pernah menitahkan aku begini rupa....."
Tiauw Im sudah lantas tambatkan kudanya, habis mana itu ia jatuhkan diri untuk duduk.
"San Bin Hiantit," kata dia pada pemuda she Ciu itu, yang ia panggil Hiangit atau keponakan, "kau juga pergi bantui iparmu masak nasi! Kau masak kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak, cukup enam atau tujuh rupa!"
Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia membuat Cui Hong tak dapat menangis dan tertawa. Di dalam hatinya ia mengeluh, "Kenapa paman guru In Lui begini keterlaluan?" Akan ttapi ia mesti pandang In Lui, walaupun sambil jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang.
San Bin sudah lantas susul nona itu.
"Tak mau aku dibantui kau!" kata Cui Hong dengan bengis. Ia tengah mendongkol, tak dapat ia sabarkan diri lagi.
"St, perlahan sedikit...." San Bin berbisik. "Kau tidak tahu, paman guru In Lui ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik dan ia mendengarnya, nanti di depan In Lui dia ceritakan tentang dirimu."
Benar-benar Cui Hong membungkam.
San Bin tidak perdulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah sambil tertawa ia berkata pada nona itu, "Kau dengar apa kata pendeta itu, bukan? Dia berperut besar sekali, dia mengatakannya tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau pikir, seorang diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?"
Cui Hong mendongkol, tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia menoleh kearah si pendeta. "Cis!" ia meludah.
"St!" San Bin mencegah pula. "Paman guru dan keponakan muridnya itu asyik pasang omong, jangan kau ganggu mereka. Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali, terhadap dia kau mesti berhati-hati......."
Cui Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis.
"Bagus ya, kamu paman dan keponakan!" katanya sengit. "Kau perhina aku sebagai orang luar! Nanti aku tegur In Lui!"
Justeru itu dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk.
Mendengar suara orang, Cui Hong berdiam, dengan masih mendongkol, ia lantas bekerja bersama-sama San Bin.
San Bin geli di dalam hati, ia layani si nona, supaya dengan begitu in Lui dapat kesempatan untuk pasang omong dengan paman gurunya itu. Ia berbuat demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga tengah dipermainkan In Lui. Karena Nona In bermaksud supaya mereka berada berdua agak lamaan.
Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Lui tuturkan Tiauw Im bagaimana caranya ia "menikah" di Hek-sek-chung, hingga mendengar kejadian lucu itu, paman guru itu tertawa tak hentinya. Tapi, setelah ia berhenti tertawa, mendadak ia perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Kau berjenaka disini!" katanya nyaring. "Kau tak tahu, untukmu, aku telah berusaha di Mongolia setengah mati setengah hidup!"
In Lui terkejut, mendelong ia mengawasi paman guru itu.
"Anak Lui," kata si pendeta kemudian, dengan samar, "masih ingatkah kau ketika itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke Tionggoan?"
"Aku masih ingat," sahut keponakan murid itu. "Ketika itu ada tahun Ceng-tong ketiga."
"Dan sekarang?" Tiauw Im Tanya sambil mengawasi.
"Sekarang tahun Ceng-tong ketiga belas."
Pendeta itu menghela napas.
"Pesat sekali jalannya sang waktu!" dia mengucap. "Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh tahun yang lampau, aku ada bersama Samsupeh Cia Thian Hoamu, kita berada di luar kota Gan-bun-kwan dimana kita bersumpah sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut balas. Akulah yang bertugas membawa kau ke gunung Siauw Han San untuk diserahkan kepada su-sumoay untuk dirawat dan dididik, dan sam-supehmu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk membunuh Thio Cong Ciu si pengkhianat! Tentang sakit hatimu ini dan tindakan untuk membuat pembalasan, mestinya gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?"
In Lui segera mencucurkan air mata.
"Ya, suhu menuturkannya, " sahutnya, dengan perlahan. "Aku berterima kasih sangat yang supeh telah bekerja banyak sekali untukku..."
Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula.
"Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini," ia berkata. Ia berhenti sebentar, lalu ia teruskan. "Dengan sutee Thian Hoa itu aku telah membikin perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus membuat pertemuan di suatu tempat di luar kota Gan-bun-kwan. Di luar dugaanku, dia tidak dating untuk memenuhi janji kita itu. Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena ditawan Thio Cong Ciu. Untuk memperoleh kepastian, dengan menunggang kuda, aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw, masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku telah mengambil keputusan, jikalau benar sutee Thian Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna membalaskan juga sakit hatinya."
"Suhu katakana, Cia supeh lihai ilmu silatnya, dia gagah dan cerdik," berkata In Lui, "maka itu, aku sangsikan jikalau dia terbinasa di tangan musuh! Mungkinkah itu?"
Tiauw Im tertawa dingin.
"Memang benar ilmu silatnya Cia Thian Hoa ada lihai sekali, jikalau tidak demikian, sudah pasti aku telah membalaskan dendammu!" katanya dengan sengit.
In Lui heran hingga ia mendelong mengawasi supeh itu.
"Ji-supeh, aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang supeh maksudkan?'
Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur.
"Aku juga sangat tidak mengerti!" dia berseru.
Maka heranlah In Lui.
Paman guru itu menghela napas panjang-panjang.
"Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan penyelidikan," ia melanjutkan. "Sekian lama aku telah bekerja, tidak aku peroleh hasil, tidak aku ketahui dimana adanya sutee Thian Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku lantas piker untuk membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang. Thio Cong Ciu terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang gedungnya ada tangguh dan rapat penjagaannya. Tidak bias aku sembarang turun tangan. Aku menjadi tidak sabaran, hingga aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu tahun."
"Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat mengendus bahwa Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya Thio Cong Ciu. Mungkin dia dititahkan si pengkhianat pergi ke suatu tempat jauh untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki kebenaran itu, sesudah mana aku ambil kepastian untuk memasuki gedung si pengkhianat itu. Aku lakukan ini pada suatu malam yang gelap dan angin tengah menderu keras. Aku datang sendirian, tentu saja, aku juga bekerja seorang diri. Besar sekali gedung si pengkhianat itu, yang menjadi Yu-sinsiang, perdana menteri muda. Luas sekali pekarangan gedung itu. Melihat gedung itu nyatalah dia hidup mewah dan mulia. Negara asing di utara gobi itu adalah tempat yang dingin dan sulit, tetapi disana telah dibangun suatu gedung mirip gedung-gedung di Kanglam, ada lotengnya, ada ranggonnya, yang mengambil contoh dari Hangciu dan Souwciu. Boleh dikatakan setengah malaman aku berkeliaran di luar gedung itu, aku baru berhasil memergoki dan mencekik satu kacung dari siapa aku ketahui, tempat kediamannya si pengkhianat, yaitu di loteng di pojok timur kanan.
Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima, akan tetapi sangatlah aneh, sampai pada saat itu si pengkhianat masih belum tidur. Aku dapatkan dia berada seorang diri, tengah duduk menulis di dalam kamarnya itu. Ia terus tunduk dan menulis, tidak ia menyangka bahwa di luar jendela kamarnya ada orang yang sedang menghadang jiwanya.
Aku menggenggam tiga batang kim-chie-piauw. Aku pun tidak hendak menyia-nyiakan ketika yang baik ini. Begitulah, melalui jendela aku lakukan penyeranganku, penyerang yang saling susul terhadap tiga jalan darah ciang-tay-hiat, soan-kee-hiat, dan kim-coan-hiat. Biasanya, dalam jarak tiga tombak, tidak pernah aku gagal dengan piauwku itu. Dan biasanya, jangan kata orang yang tengah duduk menulis dan lengah, walaupun orang yang pandai silat dan siap sedia, sukar dapat meloloskan diri dari serangan ketiga piauwku itu. Akan tetapi kali ini, kesudahannya membuat aku melengak. Begitu piauwku menyambar, begitu juga aku dengar suara trang-trang tiga kali, lalu ketiga piauw itu jatuh di atas lantai. Di dalam kamar itu ada kamar rahasianya, aku lihat si pengkhianat lari minggir ke tembok, ketika aku menyambar, tubuhnya nyeplos lenyap ke dalam tembok rahasia itu, aku melainkan dapat menjambret ujung bajunya, yang menjadi robek. Selagi aku menyambar, tiba-tiba ada orang yang lompat kepadaku dan menolak tubuhku hingga aku jatuh ke atas meja. Anak Lui, dapatkah kau menerka, siapa orang itu?"
"Mungkin Tantai Mie Ming tidak pergi kemana-mana dan ia hanya menggunakan tipu daya untuk mendustai orang?" In Lui balik menanya. Tapi baru selesai ia menjawab demikian, tiba-tiba ia sadar sendirinya. Bukankah pada permulaan bulan yang lampau ia bersama Kim-too Ciu Kian di luar kota Gan-bun-kwan, telah mengerubuti Tantai Mie Ming itu? Karenanya, ia lants menambahkan, "Mungkinkah Tantai Mie Ming mempunyai ilmu memecah tubuhnya? Tapi jikalau bukan Tantai Mie Ming, siapakah yang ilmu silatnya demikian lihai?"
Tiauw Im Hweeshio tertawa dingin.
"Jikalau dia ada Tantai Mie Ming, itulah tidak aneh!" katanya dengan keras. "Dia adalah orang yang perhubungannya dengan aku bagaikan kaki dengan tangan! Dia adalah saudara seperguruanku, Cia Thian Hoa!"
In Lui heran bukan kepalang, hingga ia menjerit.
"Samsupeh?" dia tegaskan.
"Tidak salah! Dialah Cia Thian Hoa!" Tiauw Im pastikan. "Dia membuat aku tegur padanya 'Apakah kau telah melupakan janji kita sepuluh tahun yang lalu? Kau hendak menuntut balas atau bekerja sama dengan musuh?' Dia mendelik terhadapku, terus ia menyerang, beruntun tiga kali. Dia telah gunakan pedangnya. Dia mendesak aku mundur hingga keluar. Aku lari, dia mengejar. Diantara saudara-saudara seperguruanku, dialah yang paling lihai, aku tahu aku bukan tandingannya, akan tetapi aku ada demikian gusar, akhirnya aku berhenti berlari, aku putar tubuhku, hendak aku tempur dia.
Aneh sekali sikapnya waktu itu. Di dalam kamar, dia sangat bengis terhadapku, setelah berada diluar, dia sebaliknya tidak gunakan kepandaiannya. Dia Cuma berkelit dari serangan-seranganku. Malah dengan perlahan, dia berkata padaku 'kau tahu Thio Cong Ciu itu orang macam apa?'
Aku sedang murka, aku damprat dia. 'Bagaimana kau dapat bicara begini?' aku tegur dia. Tidak nanti pengkhianat she Thio itu seorang baik-baik. Kembali aku bacok dia.
Aku melakukannya pada malam hari, karenaya tidak dapat aku bawa tongkat sian-thungku, maka itu aku bawa golok pendek. Senjata itu kurang tepat untukku. Dengan senjata itu, mana dapat aku bacok jitu kepadanya? Baru aku ulangi bacokanku dua kali, dari yang mana ia selalu egoskan diri, ia berkata dengan perlahan, "Hai, suheng yang tolol! Dengan mendadak dan sebat sekali, ia desak aku, sebelah tangannya menyambar hingga aku tertotok, lalu dia panggul tubuhku untuk dibawa pergi.
Waktu itu, aku dengar suara mulai gempar. Terang sudah bahwa pengawal-pengawal telah sadar dan mengendus adanya bahaya. Tapi dia telah membawa lari aku berlompatan, berputaran, hingga tak lama kemudian kita sudah berada di dalam taman bunga, di suatu pojok yang semak, gelap dan sunyi. Disitu pun ada sebuah kandang kuda yang bagus, dari dalam kandang itu dia tuntun keluar seekor kuda putih, yang ia serahkan padaku.
Aku tidak mau naiki kuda itu. Aku katakana padanya: Jikalau kau tidak berikan aku keterangan yang jelas, tidak mau aku pergi dari sini! Wajahnya menjadi berubah pucat, lalu merah. Dia bentak aku: Jikalau kau tidak pergi, jangan sesalkan aku berlaku kejam! Bukan Cuma aku inginkan kau berlalu dari gedung ini, aku juga berikan kau tempo tiga hari untuk meninggalkan Mongolia! Atau aku nanti ambil jiwamu!
Aku menjadi sangat gusar, aku sambar dia dengan golokku. Tapi dia rampas golokku itu, di depanku, dia membuatnya patah dua. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, dia sudah angkat tubuhku, untuk digabrukkan ke atas kuda. Dia pun membentak pula: Apakah benar kau tidak menghendaki lagi jiwamu?"
Benar-benar aku tidak sangka dia menjadi demikian rupa. Maka aku pun pikir: Dia ada begini tidak berbudi, apabila aku korbankan jiwaku, siapa nanti ketahui dia adalah satu murid yang murtad? Baiklah aku menyingkir dulu, biar di belakang hari aku cari pula dia untuk membuat perhitungan. Karena ini, aku lantas angkat kaki.
Kuda putih itu benar-benar satu kuda jempolan, tanpa dikendalikan dia telah bawa aku kabur. Syukur aku pandai juga menunggang kuda. Sia-sia saja aku mencoba kendalikan dia. Dia telah membawa aku menyingkir dari kalangna gedung perdana menteri itu. Di belakangku ada ratusan penunggang kuda yang mengejar aku, mereka pun berteriak-teriak, diantaranya aku dengar ada yang mengatakan: "Besar nyalinya penjahat itu, dia berani curi kuda Yang Mulia Perdana Menteri!"
Hai, kiranya kuda itu ada kuda pilihan kepunyaan si pengkhianat she Thio. Besar hatiku. Aku lari terus sampai dapat aku mengendalikannya. Kuda itu kabur bagaikan terbang, hingga dalam sekejap saja semua pengejar tertinggal jauh di belakang, tidak dapat mereka mengejar terus kepadaku. Malam itu aku mendongkol bukan main, tetapi di luar dugaanku, aku mendapatkan kuda yang jempolan.
Kuda putih itu ditambat di ruang itu, dia seperti mengerti perkataan si pendeta, dia berbenger.
In Lui pandang kuda itu, ia dapatkan itulah kuda yang mirip betul dengan kuda Ciauw-ya Say-cu-ma kepunyaan Thio Tan Hong. Cuma pada leher kuda ini ada tumbuh segumpal bulu kuning. Teranglah, kedua kua itu ada sebangsa.
"Anak Lui, kau diam memikirkan apa?" Tiauw Im tegur si nona.
"Aku pikirkan sikap aneh dari sam-supeh," sahut keponakan murid ini. "Jikalau benar samsupeh kesudian menjadi hamba musuh kita, kenapa dia serahkan kuda Thio Cong Ciu ini?"
"Maka itu, aku pun sangat tidak mengerti!" sahut si pendeta. "Tanpa kuda ini, tidak nanti aku lolos dari Mongolia."
In Lui menggelengkan kepala.
"Benar-benar ruwet..."katanya. "Sebenarnya Thio Cong Ciu itu orang macam apa? Mustahil dia...."
"Plok!" demikian suara yang diterbitkan Tiauw Im, yang kembali mengeprak gempur ujung meja kemala. Dia gusar, dia berkata dengan nyaring, "Thio Cong Ciu itu ada dari keluarga pengkhianat, turun-menurun dia menghamba pada negeri Watzu, dia yang mengatur tentara Watzu itu. Watzu bercita-cita menelan Tionggoan! Pengkhianat besar yang diketahui umum oleh dunia, adakah dia satu manusia baik-baik?"
In Lui teringat pada kakeknya yang tersiksa, yang mesti menggembala kuda dua puluh tahun lamanya di lading yang ber-es dan bersalju, hatinya menjadi sakit. Maka menggetarlah suaranya ketika ia memberikan jawabannya.
"Dia ada satu pengkhianat besar yang sangat jahat dan tak berampun! Dialah musuh besar keluargaku! Tapi, supeh, kau lihat, apakah dia mempunyai suatu maksud lain?'
Kedua biji mata Tiauw Im berputar. Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa. Maka lantas ia merogoh ke dalam sakunya, darimana ia keluarkan segumpal kertas. Ia buka itu sambil berkata, "Ketika malam itu aku serang pengkhianat she Thio dan aku dijoroki Thian Hoa hingga menubruk meja, tanganku kena pegang surat ini yang terus aku tak lepaskan lagi. Inilah surat yang sedang ditulis si pengkhianat itu. Dia menulis tengah malam, aku duga urusan sangat penting, maka itu, aku bawa surat itu. Sayang dia menulis dalam huruf Co-jie, yang aku tidak mengerti. Inilah suratnya, coba kau lihat. Setiap barisnya terdiri dari tujuh huruf, tidak kurang tidak lebih, maka itu, semua huruf ada dua puluh delapan. Apakah ini surat biasa atau syair?"
In Lui anggap paman guru itu lucu, tak tahan dia tidak tertawa. Tapi dia terima surat itu, untuk dibaca. Sekian lama dia diam saja.
"Apakah kura-kura itu tulis?" Tanya Tiauw Im.
"Syair," sahut In Lui. Terus dia bacakan:

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang