Bekas brigadir jenderal itu menggeleng-geleng kepala.
"Urusan pemerintah baiklah kita jangan pedulikan pula." Katanya. Tapi ia berhenti sebentar, lantas ia melanjutkan," Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan orang-orang kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan kepercayaannya Ong Cin, pasti sekali dia bedaya untuk pindahkan aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah membinasakan In Tayjin, inilah aku tidak mengerti, Cuma karena raja yang sekarang masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada di tangan Ong Cin, kebinasaan In Tayjin tentulah kehendak Ong Cin itu.
Thian Hoa tutup mulunya, ia bungkam. Tapi kemudian.
"Apa pernah congpeng bertempur sama Thio Cong Ciu dari negeri Watzu?" dia Tanya.
"Apakah kau maksudkan itu pengkhianat she Thio?" Ciu Kian tegaskan. "Pada sepuluh tahun yang lalu, pernah dia datang kemari bersama tentaranya, sampai dua kali kita bertempur, kemudian diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia datang pula."
"Satu hal membuat aku heran," kata Thian Hoa. "Dia tahu betul tentang tindak-tanduk pemerintah kita, seperti ia mengetahui jari-jari tangannya sendiri, apa tak mungkin dia mempunyai perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau panglima kita?"
Ciu Kian awasi Thian Hoa dengan mendelong.
"Bagaimana dapat kau menerka demikian?" katanya. "Coba kau tidak mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Cin dan Co-sinsiang To Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya, dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Cong Ciu."
Thian Hoa jadi tambah curiga. Lantas ia ingat pada obat pulung dari Thio Cong Ciu, yang dibawa Tantai Mie Ming. Ia keluarkan obatnya, ialah secarik kertas yang dipulung-pulung. Bersama Ciu Kian, ia baca kertas itu yang bertuliskan huruf-huruf yang menjadi buah kalamnya Ong Cin sendiri.
Nyata surat itu berasal dari Ong Cin untuk To Huan berdua Cong Ciu, bunyinya adalah mendamaikan urusan menukar barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar dengan kuda Mongolia.
Thian Hoa menghela napas.
"Mongolia kekurangan besi, tanpa besi dari Tionggoan, sampai pun busur mereka tidak sanggup bikin," katanya. "Bukankah ini terang-terang ada satu jalan untuk membantu musuh?"
"Benar," sahut Ciu Kian. "Aku pun lupa satu hal. Kedua kimcee tadi, mereka tiba beberapa hari yang lalu, selama itu ada utusan Mongolia yang telah mengadakan perhubungan dengan mereka, entah apa yang mereka bicarakan, tetapi aku curigai sekongkolan untuk membikin celaka pada In Tayjin. Mungkin itu adalah dayanya To Huan atau Cong Ciu."
"Kalau begitu." Tanya Thian Hoa heran," habis apa artinya Cong Ciu utus Tantai Mie Ming menyampaikan suratnya dalam obat pulung ini?"
Dan ia tuturkan halnya kimlong yang dibawa Mie Ming yang tadinya mengejar-ngejar mereka yang lagi buron.
Ciu Kian dan Tiauw Im turut menerka-nerka, tetapi mereka tak peroleh pemecahannya.
"Jahanam Cong Ciu itu mana punya maksud baik?" kata Ciu Kian kemudian. "Dari perbuatannya saja menyiksa In Tayjin selama dua puluh tahun, aku penasaran sudah tidak dapat membinasakan dia!"
Justeru itu, In Lui angkat kepalanya.
"Yaya? Mana yaya?" tanyanya. "Yaya suruh aku binasakan orang, kamu juga hendak binasakan orang, aku takut, takut!"
Thian Hoa usap-usap rambut orang.
"Membunuh orang jahat tak usah dibuat takut." katanya perlahan.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba saja orang she Cia ini lompat turun dari kudanya, untuk segera menghampiri Tiauw Im.
"Pergi kau bawa nona cilik ini kepada sumoay!" katanya. "Aku sendiri hendak kembali ke Mongolia."
"Untuk apa kau kembali ke sana?" dia Tanya.
"Untuk bunuh Thio Cong Ciu!" sahut sang sutee.
Tiauw Im angkat tongkatnya.
"Itu benar!" ucapnya. "Dengan binasakan Cong Ciu, di belakang hari tak usah lagi nona cilik ini membinasakan dia! Baiklah, kita masing-masing yang satu merawat anak yatim piatu, yang lain membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh tahun, kita boleh saling bertemu pula di kota Gan-bun-kwan!"
Maka itu berpisahlah mereka berdua, juga Ciu Kian.I
Bagaikan melesatnya anak panah, demikian sang waktu. Sepuluh tahun telah berlalu atau orang berada dalam tahun Ceng Tong ke-XIII dari ahala Beng. Maka itu berubahlah pelbagai peristiwa dari sepuluh tahun yang telah silam itu, pasti orang telah lupa akan perbuatannya congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan, tentu orang tak ingat lagi riwayat sedih dari Tayjin In Ceng di daerah perbatasan itu. Meskipun demikian, di luar kota Gan-bun-kwan, di daerah seratus lie yang kosong, yang dinamakan no mans's land itu, suasana bukannya tak tetap ramai. Keramaian-keramaian itu terjadi sejak beberapa tahun yang lampau.
Apa yang dinamakan keramaian itu adalah aksinya kawanan Lioklim atau Rimba Hijau, karena sikap mereka ini yang istimewa. Jumlah mereka tidak besar, akan tetapi mereka tidak takut terhadap tentara Beng, mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa Mongolia, tentara Watzu. Mereka jarang keluar membegal atau merampok orang pelancongan, mereka cari mangsa di antara rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau ganggu tentara kota Gan-bun-kwan. Rombongan ini terkenal dari benderanya Jit Goat Siang Kie atau sepasang Matahari dan Rembulan. Dan yang luar biasa, umum tidak ketahui siapa nama pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada seorang tua dengan potongan kepala macan tutul dan mata harimau. Sebab selagi menyerbu, di dalam pertempuran, dia selalu memakai topeng. Mak dia dikenal hanya dari goloknya, golok Kim-too hingga dia peroleh gelar Kim Too Loo-cat atau bangsat tua bergolok emas. Anehnya, apabila bentrok dengan pasukan tentara, bila dia peroleh kemenangan, tidak pernah ia kejar tentara pencundang itu.
Begitu terkenal rombongan berandal ini tetapi satu punggawa bernama Pui Keng belum pernah mendengarnya, hingga ia tak tahu keamanan yang terganggu di daerah tanah kosong itu.
Itulah terjadi pada musim semi ketika serombongan tentara yang mengiring angkutan mahal menuju kota Gan-bun-kwan. Yang jadi pemimpin tentara itu adalah Pui Keng tersebut, satu punggawa asal Bu-ki-jin, yang menyebut dirinya Sin-cian Pui Keng atau Pui Keng si Malaikat Panah sebab lihainya ia mainkan busur melepaskan anak panah, hingga ia berjumawa karenanya.
Pada musim itu Pui Keng mendapat tugas mengiring uang negara sebanyak empat puluh laksa tail, uang terdiri dari uang goanpo, setiap petinya berjumlah lima ratus tail. Seratus keledai dipakai guna menggendol harta besar itu. Tapi si Malaikat Panah tidak hanya membawa uang negara saja. Berbareng dengan seratus keledai itu, ada lagi empat belas ekor, yang bebokongnya dimuatkan dengan barang-barang kepunyaan pribadi dari Teng Toa Ko, congpeng dari Gan-bun-kwan.
Sama sekali Pui Keng cuma pimpin seratus serdadu, inilah sebabnya sampai sebegitu jauh belum pernah ia mengalami kegagalan.
Di bulan ketiga, daerah Kanglam mempunyai banyak rumput panjang, tapi di luar kota Kie-yong-kwan, salju masih belum cair, maka hawa udara jadi dingin sekali. Tapi melalui perjalanan yang jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah karena hawa yang panas, sedang mereka pun sudah letih, apapula ketika itu adalah tengah hari, matahari sedang memancarkan sinarnya.
Di atas kudanya, sambil menunjuk dengan cambuknya, Pui Keng berkata," Besok tengah hari, kita akan sampai di kota Gan-bun-kwan! Kita berangkat cuma dengan seratus orang, angkutan kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung melalui bukit-bukit, kita mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka syukur sekali, kita tak nampak sesuatu! Sesungguhnya, kita harus memuji diri!"
Pui Keng didampingi dua hu-khoa, pembantunya, mereka ini lantas berkata," Tayjin kesohor dengan panahnya, di kolong langit ini siapakah yang tidak mengetahuinya? Umpama kata di tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan mendengar nama tayjin saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!"
Pui Keng tertawa bergelak-gelak.
"Kamu memuji! Kamu memuji!" katanya riang gembira.
Tapi, mendengar itu, serdadu-serdadu tertawa di dalam hati, sebab mereka tahu hu-khoa hanya mengangkat-angkat saja.
Segera mereka berada di jalan di tepi mana ada sebuah warung arak, tempat untuk orang-orang pelancong singgah untuk membasahkan tenggorokan, melihat itu, Pui Keng girang.
"Kali ini kita melakukan perjalanan selamat tidak kurang suatu apa, ini bukan melulu karena tenagaku satu orang," berkata dia, yang ingat kepada pahalanya semua serdadu," ini adalah jasa kita beramai! Gan-bun-kwan sudah ada di depan mata, tidak usah kita terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku undang hu-khoa berdua minum arak!"
Lantas dia lompat turun dari kudanya, untuk masuk ke dalam warung arak itu, diikuti kedua pembantunya yang pandai sekali mengangkat-angkat.
Setelah menenggak beberapa cawan, penyakit jumawa dari Pui Keng kumat, terus ia bicara banyak, akan kepulkan kekosenannya. Ia bercerita ketika dulu ia masih menjadi polisi di kota Tongpeng, dengan panahnya, ia telah takluki serombongan orang jahat.
"Sayang sekarang tayjin sedang menjabat pangkat," kata satu hu-khoa," kalau tidak, tahun ini tayjin boleh turut ujian militer, niscaya sekali tayjin tidak akan lulus sebagai Bu-conggoan!"
Bu-conggoan atau conggoan militer adalah gelar tertinggi di dalam ujian yang dibikin di kota raja. Gelar kedua adalah ponggan dan gelar ketiga tam-hoa.
Hu-khoa yang kedua pun berkata," Hari ini udara terang, dengan memberanikan diri aku mohon tayjin mencoba memperlihatkan kepandaian memanah supaya kami dapat lihat!"
Pui Keng tenggak kering satu cawan besar, ia tertawa, habis mana ia turunkan busurnya.
"Mari semua kamu turut aku!" katanya, mengajak orang kelataran. Ia segera siapkan dua batang anak panah.
"Kamu semua lihat biar tegas!" katanya pula, lalu dengan cepat dan lincah, ia memanah.
Dengan menerbitkan suara mengaung, sebatang anak panah melesat ke udara, kemudian, selagi anak panah itu mulai turun, dia disambar oleh yang kedua, yang dilepas hampir menyusul, dan tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi sasaran yang kedua, lantas keduanya jatuh bersama.
Kedua hu-khoa berseru dengan pujiannya, dituruti oleh pujian sekalian serdadu. Di dalam hatinya, kedua hu-khoa tukang mengumpak itu berkata," Benar-benar dia lihai, dia bukan cuma ngoceh saja."
Selagi serdadu-serdadu itu memuji, di antara suara derapnya kaki kuda, tampak satu penunggang asyik mendatangi, dari mulutnya itu juga terdengar pujian, "Panah yang bagus! Panah yang bagus!"
Pui Keng menoleh dengan segera. Ia lihat seorang dengan dandanan sebagai siucay, ikat kepalanya hijau, romannya lemah lembut, akan tetapi di bebokongnya tergemblok sebuah busur hitam. Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur yang umum, apabila itu disbanding dengan busurnya punggawa ini, besar bedanya.
"Mestinya anak sekolah ini kuatirkan jalanan yang tidak aman!" Pui Keng tertawa di dalam hati. "Dia menggendol biang panah untuk membesar-besarkan nyalinya! ...Sebenarnya percuma saja dia bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal, pasti begal itu siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan tak berguna..."
Orang macam siucay itu sudah lantas tambat kudanya di sebuah pohon di tepi jalan, ia terus bertindak masuk ke dalam warung arak.
Pui Keng menduga orang ini ternama juga, ia memberi hormat sambil mengangkat tangannya.
"Kau she apa, hengtay,"tanyanya. "Kenapa kau jalan sendiri? Apa kau tidak takut kepada orang jahat?"
"Siauwtee she Beng nama Kie," sahut siucay itu, yang bahasakan dirinya siauwtee (adik kecil). "Congpeng dari Gan-bun-kwan ada sanak jauh dari siauwtee. Dalam ujian tahun ini, siauwtee gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di rumah saja, maka itu siauwtee pergi jauh ke tapal batas ini dengan mengharap pertolongan dari sanakku itu, supaya ia beri sesuatu jabatan kecil di dalam kantornya."
Mendengar begitu, Pui Keng mengawasi.
"Oh, kiranya kau siucay melarat yang mengharap pertolongan orang..."pikirnya. Lantas ia berkata," Inilah bagus! Congpeng yang menjadi sanak jauhmu itu adalah besan dari Pengpou Siangsie kami dan dalam perjalananku ini mengangkut uang tentara, aku sekalian membawa sesuatu untuk sanakmu itu."
Siucay Beng Kie itu pun lantas berkata," Sungguh kebetulan! Nyata aku telah bertemu dengan satu tuan penolong! Aku dengar di bilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut. Aku....aku..."
Pui Keng tahu hati orang, dia justeru sudah mulai terpengaruh susu macan, maka lantas ia tepuk dadanya.
:Kau telah bertemu dengan aku, hengtay, tak usah kau takut lagi!" katanya dengan jumawa. "Dengan andalkan busur ini, selama perjalanan yang jauh, kawanan penjahat bagikan menghadap angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke Gan-bun-kwan kepada sanakmu, mari kita jalan bersama!"
Mahasiswa itu perlihatkan air muka terang.
"Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang-ulang. Dengan matanya, tak henti-hentinya ia awasi busur besi itu.
Kembali Pui Keng tertawa.
"Busur ini istimewa buatannya!" katanya tetap terkebur.
"Siapa tidak punya tenaga dari lima ratus kati, jangan harap dia sanggup pentang busur ini!"
"Hebat! Hebat!" Beng Kie memuji.
"Mari minum!" Pui Keng mengajak dalam kegembiraannya, dan ia tenggak pula araknya hingga kering beberapa cawan besar. Dan kemudian, sambil berbangkit ia berseru," Mari kita lanjutkan perjalanan kita!"
Mereka lantas berlerot pergi.
Angin dingin membuatnya Pui Keng merasa kepalanya rada berat, tanda dari terlalu banyaknya ia menenggak air kata-kata.
Tidak lama, kemudian mereka telah berada di lamping gunung arah barat, jalanan di situ sukar, dari atas gunung terdengar pekiknya sang kera dan burung-burung belibis, dan binatang-binatang itu, yang berada di pohon-pohon dekat, lari menyingkir dan terbang pergi.
"Tempat ini agak berbahaya, aku kuatir ada penjahat di sini," kata Beng Kie.
Pui Keng sebaliknya tertawa besar.
"Kalau penjahat muncul, itu artinya mereka cari mampus sendiri!" katanya.
Dengan cepat Beng Kie turunkan busurnya, wajahnya pucat.
Lagi-lagi Pui Keng tertawa.
"Kau takut, hengtay?" tanyanya.
"Sebenarnya aku agak jeri," Beng Kie akui. "Di luar keinginanku, aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri. Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin tayjin tertawa saja!"
Pui Keng tertawa terbahak-bahak.
"Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!" katanya. "Ha ha ha! Kalau benar penjahat muncul, apa gunanya busurmu itu?" Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, ia ulur sebelah tangannya. "Coba kau perlihatkan permainanmu itu!" ia menambahkan.
Beng Kie tersenyum.
"Aku bikin tayjin ketawa saja!" katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan busurnya untuk dihaturkan.
Pui Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat.
"Dari apa terbuatnya ini?" tanyanya separuh mengoceh. Lantas ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima ratus kati. Dengan sendirinya, wajahnya berubah merah, ia kaget berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat pengaruh arak.
"Kau....kau.."katanya suaranya terputus-putus.
Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa.
"Rupanya tayjin telah minum arak terlau banyak hingga kau tak dapat gunakan tenagamu," kata dia. "Siauwtee membesarkan nyali, siawtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur tayjin."
Dalam keragu-raguan, Pui Keng serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati.
Si siucay kurus itu mencekal dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan bagaikan "menahan gunung Taysan", tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan "mengempo bayi", maka sekejap saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan bulan penuh "bulan purnama".
"Sungguh bagus busur ini!" katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia menarik terus, atau tahu-tahu. "Trak!" busur itu patah menjadi dua potong!
Hilanglah pengaruh arak di otaknya Pui Keng.
"Siapa kau?" dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis.
Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke arah langit sambil tertawa bekakakan, sama sekali ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat naik ke bebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang, meninggalkan debu di belakangnya.
"Panah!" teriak Pui Keng dengan titahnya.
Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah menyambar tanpa mengenai sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti undangan belaka, sebab dari sana-sini dimana terdapat semak-semak, segera muncul sejumlah orang jahat, menyusul mana, Beng Kie juga kembali bersama kudanya.
"Busur lihai Cuma sebegitu saja!" kata si mahasiswa sambil tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya nyaring. "Kita justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?"
Pui Keng bungkam. Ia telah dijumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan tidak ada gunanya lagi. Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya untuk siap.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung.
"Biar kamu tahu bahaya!" katanya dengan jumawa.
Tiba-tiba satu satu hu-khoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya rubuh, karena sebatang panah menancap di tenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera.
Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas hu-khoa yang kedua rubuh menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah nancap di dadanya tembus ke bebokongnya.
Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari kabur.
"Kau juga, mari rasakan sebatang panah!" seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar itu.
Dan sret!
Beng Kie mencekal busurnya, ia menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya lelatu api.
Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua kali.
Bukan main kagetnya Pui Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari atas kudanya. Anak panah lewat sedikit di atasan kepalanya.
"Habislah aku!" dia mengeluh.
Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang menyerang, apa yang terdengar adalah gelak tertawanya si orang she Beng itu.
"Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen juga!" demikian katanya. "Sekarang aku suka memberi ampun padamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat jalanan itu. Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal.
Pui Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya untuk terus lari. Ia masih dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi sasaran. Dengan terpaksa ia nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik dan kalut, sampai sekian lama barulah ia dengar merata dari tindakannya lerotan kuda.
Akhirnya, ketika Pui Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia lihta sang rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada orang lainnya, cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam saling sahut. Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik, sampai di tempat tadi dimana ia tampak mayatnya kedua hu-khoa, tidak ada lain orang lagi.
Masih ia takut, hatinya masih goncang.
"Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh." pikirnya.
Tapi disitu, di sekelilingnya, tidak ada musuh juga.
Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, akan tetapi, setelah itu, kedukaan datang berganti. Empat puluh laksa tail telah lenyap, itulah tanggung jawab yang berat. Hukuman yang berat sekali akan menimpa padanya. Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung. Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada.
"Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati," pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi.
"Tak dapat aku lolos dari kematian," katanya pula di dalam hati sesudah ia piker dalam-dalam. Maka ia ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas. Ia lantas cari selembar tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada tambang itu.
Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Pui Keng rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah jalannya. Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak terjun ke air saja, akan lelapkan diri.
Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Pui Keng, malah untuk menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan. Di lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi. Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di lain saat, napasnya berjalan pula.
Akhirnya dapatlah Pui Keng membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum. Ia menjadi heran. Ia menghela napas, ia merasa lega.
"Kenapa, kau tolongi aku!" ia tanya ketika ia sadar dari pingsannya.
"Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?" tanya si anak muda sambil tertawa.
Masih Pui Keng mengawasi. Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada tanggung jawabnya. Ia menjadi bingung pula. Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati. Bukankah ia telah dibegal habis-habisan?
"Percuma kau tolongi aku!" katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri.
"Sabar," kata si anak mua. "Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah padaku."
Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Pui Keng, yang hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah.
"Lepaskan aku!" ia berteriak. Ia pun berjingkrak. "Jangan kau ganggu aku! Percuma diceritakan juga."
Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya.
"Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri," katanya. "Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri! Benarkah?"
Pui Keng heran, ia melengak.
"Kenapa kau ketahui itu?" tanyanya sambil berjingkrak.
"Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum," sahut si anak muda. "Dan setiap kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, maka siapakah yang tidak tahu?"
Pui Keng meringis.
"Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku," kata dia.
Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata," Meskipun kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpat tentara tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu pikirku, masih lebih baik kau jangan cari mampusmu sendiri."
Heran Pui Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia menyambar sasaran kosong.
"Kau bikin apa?" tanya si anak muda.
"Kau siapa?" bentak punggawa itu. "Darimana kau ketahui barangku dirampas begal?"
Anak muda itu tersenyum.
"Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini," dia menyahut. "Tadi malam aku saksikan lewatnya serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat menerka?"
Pui Keng anggap benar juga.
"Apakah kau tahu dimana sarangnya kawanan berandal itu?" dia tanya.
"Aku bukan koncohnya berandal, mana aku tahu?"
Pui Keng melengak.
"Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?" pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya.
"Biarlah aku cari kematianku!" ia berseru.
Si anak muda mengawasi.
"Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah begitu?" tanya dia. "Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari barangmu itu! Bukankah itu uang?"
Dengan tiba-tiba saja, Pui Keng ingat suatu apa. Ia sadar.
"Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di atas tenaga sembarang orang," demikian ia berpikir,"akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak mampu berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia bukan sembarang orang."
Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia isnyaf. Tanpa merasa, dia beri hormat sambil menjura pada anak muda itu.
"Aku Pui Keng, insyaf bahwa kepandaianku tidak berarti," dia akui. "Memang aku tidak sanggup melawan kawanan berandal itu. Hiapsu, sukakah kau menolong jiwaku?"
Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil hiapsu (orang gagah) terhadap pemuda itu.
Si anak muda tertawa terbahak-bahak.
"Siapa kata aku satu hiapsu?" katanya. "Aku adalah orang sesama kampungku, mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya."
Pui Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap.
"Melihat kau, yang harus dikasihani," kata si anak muda kemudian, sebelum orang sempat bicara, "aku suka memberi petunjuk pada jalan terang padamu."
Mendengar ini, terbangunlah harapan si punggawa.
"Silahkan, tunjukkan aku jalan, hengtay," katanya. Sekarang ia ubah bahasa panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia)
"Sabar," kata si anak muda. "Aku sendiri tidak dapat menolong kau, aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali."
"Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?" tanya Pui Keng. "Dimanakah tinggalnya? Maukah hengtay memberitahukan kepadaku?"
"Tentu sekali," sahut si anak muda. "Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar biasa juga perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she dan namanya, pasti kau bakal kehilangan nyawamu."
Kaget Pui Keng hingga dia melongo.
"Sulit kalau begitu," katanya. "Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia. Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku dengannya."
"Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?" si pemuda tegaskan.
Kembali Pui Keng melengak.
"Habis bagaimana?" dia tanya.
Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang tadi Pui Keng pakai untuk gantung diri.
Pui Keng tidak mengerti, dia mengawasi.
"Kau mesti sekali lagi mencari mati!" kata si anak muda.
"Besok pagi-pagi kau berangkat dari sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan lie, sampai kau lihat sebuah rimbah pohon toh yang bercampur dengan pohon bunga lainnya. Itulah Ouw Tiap Kok, lembah kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak ke muka hutan pohon toh itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal. Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang luar biasa itu tinggal di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas menemui dia untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar di celah-celah tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpura-pura menggantung diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggung-tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang itu bertanya, jangan sekali-kali kau menyebut aku yang memberi petunjuk kepadamu!"
Pui Keng bersangsi.
Si anak muda mengawasi, dia tertawa.
"Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini," katanya. "Sekarang kau tidurlah, aku hendak pergi"
"Eh, hengtay, tunggu sebentar," kata Pui Keng setelah bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang, untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir dengan sangat cepat.
Segera punggawa itu berpikir.
"Kata-katanya si anak muda ini aneh," demikian pikirnya. "Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut nasihatnya itu, aku coba."
Dengan lantas ia ambil putusan. Untuk menaati nasihat itu, supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani tidur. Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan. Begtu putri malam mulai condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa lie ia telah jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap-kelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul. Lagi dua lie, cuaca sudah mulai agak terang.
Sekarang Pui Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka. Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga, merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimbah toh itu, ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira-kira tiga orang berdiri. Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia. Tanpa sangsi lagi, Pui Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar, dipakai mengintip. Hatinya bekerja berdebar-debar. Sambil menanti ia pikirkan kata-kata si anak muda, benar atau tidak, berbukti atau tidak.
Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di situ. Pui Keng sabarkan diri, ia menanti terus. Cuaca telah menjadi semakin terang. Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari muncul dari remang-remang merah menjadi merah, memberi pemandangan dari keindahan alam. Tanpa merasa, banyak kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara bunga-bunga.
Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Pui Keng tertarik pada keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan tersengsam.
Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu.
Matanya Pui Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan baju dan kunnya berwarna putih, hingga si nona mirip satu dewi. Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu.
Selagi mengawasi, Pui Keng heran atas kelakuan si nona. Nona itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu pinggangnya, habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari, makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa tubuhnya turut lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing, nona itu berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna berlompatan pula, dari pohon yang satu ke pohon yang lain, gerakannya cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.
Karena kagumnya, Pui Keng mengawasi dengan mulut ternganga.
"Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si pemuda?" akhirnya dia menduga-duga.
Selagi mengawasi terus, Pui Keng lihat si nona lompat turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona itu bagaikan dewi tengah menari.
Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga-bunga to itu pada rontok, melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam tangan bajunya itu!
Pui Keng menjadi menjublak.
"Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?" dia tanya dirinya sendiri.
Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh.
Pui Keng heran dan kagum. Ia tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai senjata rahasia. Ia pun berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya, selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu mengerakkan tubuhnya dan terbang pula.
"Oh, kupu!" kata si nona. "Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah mengganggu padamu." Dan dia tertawa merdu. Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah kecil.
Berbareng dengan itu, Pui Keng terperanjat. Kalau tadinya ia berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang. Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun menyerang ke celah-celah batu tempat ia mengintai.
"Tepat benar dugaan si anak muda," pikir ia. "Baru si nona masuk atau matahari menyerbu ke celah-celah ini."
Sekalipun ia masih ragu-ragu Pui Keng toh keluar dari tempat sembunyinya. Ia tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup. Ia berlaku sebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke atasnya, guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung diri.
Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing, ia mulai susah bernapas. Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul, untuk menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak punyakan kemampuan.
"Mati aku sekarang!" keluhnya, matanya berkunang-kunang. Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa percuma. Dalam keadaaan seperti itu, masih sempat ia menduga apa bukannya si anak mudah telah permainkan padanya.
Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok.
Karena ia bergerak, lehernya terjerat semakin keras, hingga matanya gelap, pikirannya lenyap. Di saat itu, ia masih merasa seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega, sampai ia sanggup bernapas pula. Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum dapat ia berbicara.
Berbareng dengan pulihnya napasnya, Pui Keng buka kedua matanya maka di depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.
"Terima kasih," ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.
"Terima kasih," ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.
Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi.
"Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?" tanyanya sambil menatap terus.
Pui Keng memberi hormat sambil paykui.
"Aku sedang dalam kesulitan besar," sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta antaran yang besar sekali itu. "Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum picis."
Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.
"Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!" katanya.
Pui Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar kun si nona.
"Tolong aku, nona," katanya terus ia menangis," aku masih mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan melayang bersama."
Nona itu berpaling.
"Benarkah itu?" dia tanya.
"Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula," sahut Pui Keng.
Air muka si nona berubah menjadi keren.
"Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu ini!" katanya kemudian.
Pui Keng girang tak kepalang.
"Terima kasih, nona, terima kasih!" katanya sambil manggut-manggut.
"Eh, kau bikin apa?" nona itu menegur. "Aku bukannya orang mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya? Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang menganjurkan kau datang minta bantuanku?"
"Tidak, tidak ada yang menganjurkan," Pui Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan orang.
"Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?" si nona tanya
"Baru kali ini," punggawa itu menyangkal pula.
"Memangnya sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!" katanya pula.
Mendengar ini, tercekat hatinya Pui Keng. Baiknya si nona segera tambahkan kata-katanya itu.
"Telah aku katakan, aku hendak menolongi kau," katanya," tidak perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan, aku toh an menolong kamu. Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba pula."
Lantas ia tertawa dengan manis sampai dua kondenya memain.
Menurut Pui Keng, nona ini baru berumur enam atau tujuh belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih kekanak-kanakan, tanpa merasa ia jadi berkuatir. Ia sangsi. "Dapatkah nona muda belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar jumlahnya?"
Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak.
"Nah, mari kau turut aku!" dia mengajak.
Pui Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil.
"Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau," kata si nona itu.
Belum Pui Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Di pojok ia tampak seekor harimau besar sedang rebah.
Si nona lihat orang kaget.
"Itulah bangkai harimau!" katanya sambil tertawa. "Mengapa kau takut? Apa kau dapat keset kulit harimau?"
"Pernah aku lihat pemburu melakukannya," jawab Pui Keng.
"Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan," kata si nona. "Tadi aku lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya tiga ratus kati."
Pui Keng hera. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidak mengerti si nona dapat menerka kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja.
"Benar, dia satu ahli silat," pikirnya.
Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Pui Keng lihat sang waktu sudah tengah hari.
Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang.
"Mari turut aku, kita pergi cari si orang jahat," dia kata. "Kita minta kembali uangmu itu."
Pui Keng menurut.
Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada sebuah guha, yang menghadap tanah datar lebar.
"Mungkin ini ada tempat dimana penjahat menyimpan harta itu,' kata si nona. "Mari!"
Dan ia maju terus.
Pui Keng pun ikut nona itu.
Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba.
"Tahan!"
Dan menyusul itu, dari antara semak-semak lompat keluar dua orang dengan masing-masing memegang sebatang toya di tangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah lantas mengemplang. Hebat serangan itu.
Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong. Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong ngrusuk, pertama karena serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik. Keduanya rubuh terbanting dan terus terjengkang, keempat kaki mereka menjulang ke atas.
"Hm!" si nona mengejek, ia tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari.
Di depan guha terdapat banyak batu-batu besar yang malang melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan singa atau harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang dan rata.
Tanpa ragu-ragu nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip dengan barisan batu rahasia.
"Tahan!" mendadak terdengar pula bentakan nyaring.
Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan tombak mereka kepada dada dan lutut.
Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan.
"Tak dapat kamu mencegat aku!" katanya dengan tawar. Ia tertawa.
Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam menatap.
"Mari!" si nona menggape, kepada Pui Keng. "Kau adalah pemilik harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang itu?"
Pui Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju.
Justeru waktu itu, si nona sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak. Si nona tidak hunus pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali, hingga ia mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung bermain di air.
Pui Keng mengerti silat, tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani mengawasi terus-menerus. Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur. Ia mesti mengaso sebentar, baru berani mengawasi pula.
Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan tombak. Lawan itu berada di sebelah depan kawannya.
Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang. Yang maju terdepan adalah kawannya yang kanan, yang mencekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang toya.
Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya bergulingan. Si nona tidak dapat menyusul, sebab tiga senjata datang saling-susul, maka dia menyambut dengan mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa lompat mundur.
Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam bahaya. Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di antara batu sedang menarik busur mengarah padanya.
Pui Keng pun lihat orang itu ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia berteriak,"Awas panah gelap!" Tapi belum sampai ia menutupm mulutnya, atau busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat.
Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani musuh-musuhnya, akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan tangannya.
Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula.
Gentar hatinya Pui Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai melepaskan tanah beruntun. Itulah berbahaya.
Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat sanggapi panah yang kedua ini, tapi ia bukan sanggapi dengan tangan, hanya dengan panah di tangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah.
"Bagus!" teriak Pui Keng, yang lupa pada kagetnya.
Panah yang ketiga yang sudah meleset pula, sasarannya adalah tenggorokan si nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula.
Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil membuka mulutnya, guna menggigit panah itu. Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling lihai dalam hal menyanggapi panah.
Baru sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka.
"Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!" katanya nyaring, lalu tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga bwee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)
General FictionMerupakan cerita kedua dari serial Thian-san karangan Liang Ie Shen. Salah satu karya Liang Ie Shen yang terbaik. Yang paling mengesankan dari cersil ini adalah romantismenya. Pendekar dara remaja In Lui, bertemu dan bersahabat dengan pendekar gagah...