IV

810 14 1
                                    

Anak muda itu menjawab, dia hanya tertawa. Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari kemurkaan.
Pui Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh.
"Nona ini benar lihai ilmu silatnya," ia berpikir," tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik, buktinya, tanda-tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali! Bendera ditancap berarti "jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya, baru harta itu kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!" Terang inilah satu tantangan, maka kali ini, bahaya sungguh mengancam!"
Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana, wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia bangkit.
"Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak menghitungnya?" dia berkata pada Pui Keng sambil melambaikan tangannya. "Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau ambil, kau biarkan saja!"
Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa dengan menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah maju menghalang di hadapannya.
"Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!"
Si nona menjadi gusar.
"Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?" dia kata. Dan dia bertindak terus maju.
Si anak muda tolak poci arak ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak.
"Apakah muka terang ini tak hendak diberikan padaku?" ia tanya.
Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona. Itulah semacam serangan yang lihai sekali.
Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan pecah hancur berserakan, araknya berhamburan. Si nona, dengan kegesitannya, telah membentur tangannya.
Si anak muda nyata lihai, setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona.
Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi ruangan.
Hal itu membuat semua orang heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal oleh si anak muda.
Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat.
Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ. Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap berada di muka nona.
"Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!" katanya tegas. Kali ini ia majukan pocinya dengan gerakan Liu-seng kan-goat (Bintang meteor menguber). "Kau harus memberi muka padaku!"
Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit. Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan itu, ia hunus pedang di pinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.
Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci araknya dipakai melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia menutup dirinya.
"Kau sangat tidak tahu aturan!" serunya. "Mari kita main-main!"
Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi terbuka lebar. Tapi berbareng dengan tu, mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk begitu lekas si anak muda keteter.
Hati Pui Keng menggetar, mukanya pucat. Ia jadi sangat berkuatir.
"Biar ia lihai, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan guha harimau ini?" pikirnya. Ia merasa, kalau nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicincang habis.
Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan. Si pemuda dan pemudi tetap berdiam, karena pemuda itu tetap bersiap diri saja.
Diluar, dari kejauhan, terdengar suara terompet.
Si anak muda segera lompat mundur.
Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka adalah seorang tua dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih, akan tetapi tubuhnya, romannya, masih gagah.
Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat.
"Apakah aku berhadapan dengan loo-ceecu?" dia tanya.
Si orang tua tersenyum.
"Telah kudengar nona datang, menyesal aku terlambat menyambut,"sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona, sikapnya agak luar biasa memperhatikannya.
Tak enak hati si nona di tatap secara demikian. Tapi tak alpa ia dengan pedangnya.
"Telah lama aku dengar nama masyhur dari ceecu," katanya, ceecu yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian memohon sesuatu dari ceecu."
"Kau memuji nona," kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menanya," Berapa usia nona tahun ini? Apakah kau shio Yo?"
Si nona tidak sangka ia balak ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak.
"Apakah loo-ceecu maksudkan usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas mendaki gunung ini?" dia tanya. "Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?"
Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahak-bahak.
"Harap kau tidak mengatakan demikian, nona," sahutnya.
Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang bertumpuk.
"Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota Gan-bun-kwan." katanya," dengan turun tangannya loo-ceecu, bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin barat daya!"
Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak.
"Mustahil aku tak ketahui itu nona." Sahutnya pula ringkas.
Masih si nona mendesak.
"Jikalau loo-ceecu telah ketahui bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu," kata dia.
Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya.
"Ah, nona, ada sesuatu yang kau belum ketahui," katanya.
"Kalau begitu, tolong ceecu beri penjelasan kepadaku."
Si orang tua tunjuk benderanya.
"Menurut aturan kaum Rimba Hijau," katanya menjelaskan,"jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang dirampas tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membela tuan punggawa ini, untuk itu silahkan kau berikan beberapa jurus dari kepandaianmu guna membuka mata saudara-saudara di sini. Kalau tidak, andaikata harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak puas."
Kembali si nona perlihatkan kemurkaannya.
"Aku melainkan tahu, mendengar nama kalah dengan bertemu muka," katanya kaku,"siapa tahu ternyata sekali, bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang loo-ceecu menyebutkannya!"
Lagi-lagi si orang tua tertawa.
"Oh, nona kecil," katanya. "Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Demikian juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang tidak lekas-lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?"
Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti membawa perangai satu bocah cilik.
Untuk kesekian kalinya orang tua itu, si kepala berandal tertawa.
"Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!" katanya kemudian. "Kau mendaki gunungku dengan membawa-bawa pedang, tentunya dalam ilmu pedang kau telah berlatih dengan seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kim-too ku ini, aku layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya ada siapa yang tekun dan sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, kaerna itu, aku minta janganlah karena kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku. Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga tidak kurang!"
Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak kering. Ia menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari, hinga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya dengan bengis,"Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan pisau di atasnya?" Hampir berbareng dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun turut jatuh.
Mau atau tidak, si nona terkejut juga. Si orang tua telah perlihatkan tenaga dalamnya. Tanpa latihan yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar jatuh. Karena ini, ia ubah maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-ragu lagi, ia hunus pedangnyaa, terus lompat ke tengah ruangan dimana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Silahkan ceecu beri ajaran padaku!" ia mengundang.
Orang tua itu awasi senjata si nona.
"Pedang yang bagus!" ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul dua serdadunya, yang datang membawa golok Kim-too yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan. Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua tangannya.
"Kim-too, kali ini kau bertemu tandinganmu!" ia kata. Terus ia tertawa. Setelah orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas berhadapan.
Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tiak mau ia turun tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia hendak lawan.
Orang tua itu mundur satu tindak.
Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan gerakan "Cay tiap coan hoa" atau Kupu-kupu belang tembusi bunga, melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya," Bagus!"
Lantas ia maju dengan gerakan Hong hong toat ho atau Burung hong merampas sarang, hingga ia rampas tempatnya si nona.
Si nona kaget dan heran. Ia tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah dengan orang muda. Secara begitu, ia dapat dipengaruhi.
Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan.
Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula. Karena tubuh si nona mencelat tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring dari bentroknya dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu seperti memekakkan telinga.
Segera orang nampak si nona mundur kira-kira satu tombak dan si orang tua berdiri sambil melintangkan goloknya di depan dada.
"Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!" memuji orang tua itu. "Tidak ada yang kalah di antara kita, maka itu, mari kita mencoba pula!"
Pui Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan tetapi, di antara berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah. Walaupun si nona nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan berat dari ketua mereka somplak sedikit.
Si nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia telah lukai golok si orang tua, tetapi ia sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir tak sanggup pertahankan tubuhnya. Ia insyaf, dalam hal tenaga dalam, iweekang, ia telah kalah dari jago tua itu.
Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada.
Si nona berkelahi dengan lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia bekelahi dengan andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kim-too ceecu berdiri tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh seperlunya, guna lindungi diri.
Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya. Maka itu, hebat dan luar biasa cara mereka bertarung.
Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan pelbagai serangannya itu, ia cuma membuat kawanan berandal menahan napas. Tadinya mereka menyangka pemimpin mereka dapat segera memperoleh kemenangan, tidak tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil.
Pui Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara kawanan penjahat itu.
"Pergi!" sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona mencelat mundur kira-kira satu tombak. Semua berandal pun berseru riuh.
Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua heran dan kagum, karena tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh.
Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula. Sekarang berubahlah cara ia bersilat. Ia masih berlompatan, akan tetapi serangannya bertambah gencar, ia bagaikan angin badai menggempur daun-daun atau topan hujan merusak bunga hingga di empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta bekeredepnya cahaya pedangnya. Kali ini si nona membuat mata penonton berkunang-kunang.
Manampak demikian, gentar juga hati Kim-too Ceecu. Ia kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu. Untuk mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan memasang mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan dengan ketenangan.
Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia mulai kena terdesak pengaruh pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka kali ini, dengan hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas budi si nona yang menyerang tak hentinya. Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu, hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke depan. Ia menjadi kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya.
Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia main mundur. Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar dan berat itu.
Lagi-lagi Pui Keng jadi kuatir. Terang ia tampak si nona terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana. Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri. Semua berandalpun bungkam. Maka itu, ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan berandal itu menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin.
Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang Bu-tong-pay, yang mirip ilmu pedang Tat-mo-kiam, yang mirip Thay-kek-kiam dan juga Sam-yang-kiam.
Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur.
"Ceecu, hati-hati!" teriak seorang berandal waktu ia lihat si nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng dengan itu, si nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam ke bawah.
Kim-too Ceecu lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa bekakakan sambil terus berseru,"Lepas tanganmu!" Karena sambil mendak, ia membalas membacok ke pinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi goloknya hendak meminta korban.
"Bagus!" teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka.
Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat.
Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak perduli ancaman bahaya sangat hebat, sebaliknya ia juga berteriak,"Lepas tangan!" Nyata ia sangat jeli matanya dan sangat sebat gerakan tangannya. Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak jadi gentar. Dengan kesebatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya dengan membabat jeriji tangan orang tua yang mencekal golok. Itu waktu, ia barengi perdengarkan teriakannya. Tentu saja Kim-too Ceecu menjadi kaget hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi dengar kata, dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau tidak jari tangannya bisa kutung.
Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari rumah. Kejadian ini di luar dugaan si nona demikian lihai, ancaman bahaya dapat diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi berdiri menjublak.
Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya, untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan," Terima kasih, ceecu, kau telah mengalah!" Akan tetapi, ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia membuka mulutnya.
Kim-too Ceecu perlihatkan tertawa meringis, air matanya berlinang.
"Heran," pikir si nona. "Ia ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia menangis?" Karena ini, ia jadi mengawasi saja.
Kim-too Ceecu juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia merogoh sakunya, dari mana dia keluarkan sebatang bamboo pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat, rupanya seperti sisa tongkat bekar terbabat kutung.
Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat, dengan tiba-tiba ia menjerit menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah.
Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi tercengang.
Dengan tangan kirinya mencekal bambu itu, Kim-too Ceecu gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
"In Ceng punya cucu perempuan semacam ini, di tempat baka niscaya ia meramkan mata!" katanya dengan puas.
Si nona menangis tersedu-sedu air matanya bercucuran deras. Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya. Ketika itu ia baru berumur tujuh tahun, bersama engkongnya, In Ceng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat su-ciat, tanda kehormatan dari engkongnya itu. Ia pun teringat cerita dari engkongnya bagaimana si engkong menderita sebagai pengangon kuda di negara asing. Kejadian itu membuat ia berduka dan sedih. Dan sekarang ia lihat sisanya su-ciat itu, ialah potongan tongkat di tangan si kepala kampak.
Kim-too Ceecu susut kering air matanya yang berlinang itu, habis itu ia tertawa berkakakan.
"Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!" ia kata dengan gembira. "Ini hari kau adalah satu wanita gagah yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih belum selesai."
Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana ia cabut golok si orang tua itu, lalu ia bawa ke hadapan si kepala kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok dengan bawa itu ke atasan kepalanya.
"Segala apa terserah kepada putusan susiok-couw," ia kata.
Mendengar perkataan si nona Pui Keng menjadi kaget, sampai semangatnya seolah-olah pergi terbang.
"Celaka, celaka!" ia mengeluh. "Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah orang-orang sendiri."
Si orang tua terima goloknya.
"Kau bangun," katanya. "Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bambu ini membuat orang berduka, tetapi ini adalah warisan yayamu."
Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya.
"Pui Keng, kemari kau!" si kepala berandal memanggil.
Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas.
Kim-too Ceecu tertawa.
"Coba bantu dia," ia titahkan dua serdadu gunung.
"Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa pergi!" kata pula si kepala berandal.
Inilah di luar dugaan, Pui Keng jadi girang bukan kepalang.
"Terima kasih, terima kasih," ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Baru setelah itu, ia menjadi bingung. Ia berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu?
Kim-too Ceecu bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya, atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di muka masing-masing pesanggrahan itu muncul sebarisan keledai bersama serdadu pengiringnya.
"Semua harta dan orang-orangmu aku kembalikan," berkata Kim-too Ceecu sambil tertawa pada punggawa itu. "Sekarang hitung dulu uangmu supaya tidak ada yang kurang."
Kembali Pui Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat bergirang. Sekarang ia jadi bernyali besar, hingga ia berani menanyakan kepala kampak itu.
"Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta keledai," kata dia. "Itulah barang-barangnya Teng Congpeng. Aku mohon sukalah ceecu mengembalikan sekalian barang-barang itu."
Sang ceecu tertawa bergelak-gelak.
"Barang pribadi dari Teng Congpeng?" kata dia, menegaskan. "Itulah barang-barang yang cocok sekali untuk keperluan pesanggarahanku ini, hendak aku menahannya!"
Pui Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya dari Teng Congpeng lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.
"Aku mohon belas kasihan ceecu, sukalah ceecu tolong jiwaku," ia mohon.
Kim-too Ceecu tertawa pula.
"Teng Congpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?" katanya. Ia terus rogoh sakunya, akan keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna merah.
Pui Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya," Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti ini, aku mohon sudilah Ciu Tayjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko."
Pasti sekali Pui Keng menjadi kaget, heran dan bingung. Mustahil satu congpeng dari Gan-bun-kwan, satu panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala berandal? Inilah benar-benar tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kim-too Ceecu, ada bekas congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan, congpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Congpeng Teng Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hu-ciang sebawahannya.
Melihat orang mendelong, Ciu Kian tertawa.
"Rupa-rupanya kau masih kurang percaya," ia kata. "Baik aku nanti suruh satu orang keluar." Dan ia beri titahnya.
Tidak lama di antaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng Congpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa she Pui itu.
Ciu Kian tertawa pula dan berkata," Ini uang empat puluh laksa tail sudah diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau tetapkan hatimu."
Baru sekarang lega hatinya Pui Keng. Ia kenal baik opsir itu. Dengan demikian ia tidak usah khawatir lagi.
Sampai disitu, Ciu Kian silahkan kedua punggawa itu berangkat dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi mengantarkan.
Pui Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih.
Selagi orang hendak berangkat, Ciu Kian pesan si opsir," Tolong kau sampaikan kepada Teng Congpeng, karena musuh luar ada di hadapan kita, kita seharusnya tetap bekarja sama untuk menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak melupakannya."
Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti.
"Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung," kata Ciu Kian pada si orang she Beng. "Bendera Jit Goat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai di kota Gan-bun-kwan."
Pui Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja seperti Kim-too Ceecu yang mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya.
Ciu Kian tertawa.
Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Pui Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir.
"Pui Tayjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!" kata Beng Kie sambil jalan.
Pui Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini.
Ciu Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona baju putih.
"Bagus kau datang, In Lui!" katanya.
Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang betul. Ketika sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas congpeng ini di muka kota Gan-bun-kwan, ia masih kecil dan itu waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan roman orang itu. Ia heran Ciu Kian masih kenali dirinya.
Rupanya orang she Ciu itu bisa terka hati orang, ia tertawa.
"Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran Han Kie It-su, aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!" katanya.
In Lui bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran.
"Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan jenaka, susiok-couw ini agak keterlaluan," pikirnya. "Terang sudah bahwa ia bertabiat aneh."
Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, di hati ia merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang baru muncul dalam dunia kangouw, lihai ilmu silatnya, tapi masih hijau pengalamannya.
Ciu Kian tertawa nyaring.
"Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara itu?" tanya ia kemudian.
"Bukankah, seperti kata susiok-couw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?" si nona baliki. "Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku datang kemari."
"Kenapa begitu?" Ciu Kian tegaskan.
"Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau," sahut si nona. "Pada waktu itu Tiauw Im Taysu telah menolongi aku menyingkir dari Gan-bun-kwan dia sudah bawa aku ke gunung Siauw Cee San di Sucoan Utara dimana aku diserahkan pada guruku untuk dirawat dan dididik."
"Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hui-thian Liong-li?" Ciu Kian memotong.
"Benar," In Lui manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya," Sepuluh tahun aku telah belajar silat lantas suhu titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah dari yaya. Suhu kata, orang yang paling yaya benci adalah Thio Cong Ciu yang membikin yaya menderita dua puluh tahun mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong Cin, itu hamba pemerintah, hanya duduknya perkara yang benar, suhu tidak ketahui jelas. Suhu kata, susiok-couw adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, susiok-couw jadi meninggalkan pangkatnya di kota Gan-bun-kwan. Belakangan suhu kata lebih jauh, suhu dengar susiok-couw telah tuntut penghidupan sebagai berandal, cuma ia tidak tahu pasti kebenarannya itu, maka suhu titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi cari kau."
Mendengar itu, Ciu Kian menggeleng-gelengkan kepala , ia menyeringai.
In Lui heran.
"Sudah sepuluh tahun sejak yayamu menutup mata, perkaranya itu masih perkara gantung," kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan," Thio Cong Ciu dengan Ong Cin itu memang mempunyai hubungan satu sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduk perkaranya waktu itu, soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum diketahui, di antar mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat asli."
"Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-musuhku!" kata In Lui. "Dan di antara mereka, aku anggap Thio Cong Ciu sebagai musuh nomor satu!"
Ciu Kian manggut.
"Memang, sakit hati itu tidak dapat tidak dibalas!" katanya.
"Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!" berkata pula In Lui. "Sampai mati baru aku mau berhenti."
Si orang tua menghela napas.
'Ketika pertama aku sampai di Gan-bun-kwan," In Lui meneruskan pula," segera aku dengar nama besar dari Kim-too Ceecu beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku menduga pada susiok-couw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas gunung, tetapi karena aku belum peroleh kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouw Tiap Kok. Adalah maksudku untuk perlahan-lahan membuat penyelidikan."
Ciu Kian tertawa.
"Itulah hal yang aku ketahui," katanya. "Masih ingatkah kau, begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh julukan San-hoa Lie-hiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga.
"Julukan itu enak juga didengarnya," kata In Lui, "hanya aku tidak dapat mengetahuinya."
"Ketika kau bertempat tinggal di Ouw Tiap Kok, orang-orangku sudah dari siang-siang memasang mata. Cuma, berikut aku di dalamnya, kita maish belum ketahui jelas tentang dirimu. Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini, maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan, siapakah engkau."
"Justeru karena pancingan susiok-couw ini, dugaan semula menjadi meleset," berkata si nona. "Aku pikir, kalau kau benar ada susiok-couw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota Gan-bun-kwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani susiok-couw bertanding."
Ciu Kian tertawa terbahak-bahak.
"Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentara kota Gan-bun-kwan," ia berikan keterangan, "kalau kali ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau, sebenarnya itu tidak betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar."
In Lui tidak mengerti.
"Apakah itu, susiok-couw?" dia tanya.
"Soalnya adalah," sahut si orang tua, "kecilnya mengenai hidup-matinya kota Gan-bun-kwan dan pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatan kerajaan Beng serta tanah daerahnya yang besar dan luas."
Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong.
"Apakah itu, susiok-couw?" dia tegaskan.
Ciu Kian tidak lantas menjawab, dia hanya dongak akan melihat langit.
"Sekarang sudah malam," katanya perlahan, romannya berduka," pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu urusan besar."
Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan itu terdengarlah sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana si anak muda yang semula tempur In Lui serta satu tauwbak, maju menghadap, untuk berkata," silahkan ceecu berikan titahmu."
Ciu Kian manggut.
"Dia Ciu San Bin," katanya menunjuk si anak muda. "Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan kau."
In Lui beri hormat pada anak muda itu.
"Maaf," ia menghaturkan.
Ciu San Bin tertawa.
"Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda," katanya, "oh, keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu."
In Lui tersenyum.
"Sekarang silahkan kau beristirahat," kata San Bin yang terus titahkan saru liauwlo (serdadu gunung) antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
In Lui menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas. Ia terganggu berisiknya gerakan tentara gunung.
Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari tentaranya, yang ada hanya beberapa orang saja yang menjadi penjaga.
"Apakah kita akan berperang dengan tentara negeri?" tanya In Lui.
"Bukan," Ciu Kian menjawab.
"Apakah dengan bangsa Tartar?" si nona tanya pula.
"Masih belum pasti," jawab si orang tua.
Heran anak dara ini.
"Habis untuk apa susiok-couw berikan titah pada tentaramu?" ia masih menanya.
"Baik kau jangan tanya-tanya dulu," jawab Ciu Kian sambil tertawa. "Lebih baik mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!"
In Lui bersedia, segera ia salin pakaian dengan ya-heng-ie, pakaian untuk jalan malam.
Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh bintang, jam pada waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga.
Kim-too Ceecu ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Lui mengikuti terus dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia terka maksud bekas congpeng ini. Ia pun heran," Susiok-couw adalah kepala sebuah gunung, dia telah atur tentaranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak menjaganya? Kenapa ia keluar malam-malam seorang diri?"
Nona ini terbenam dalam keanehan.
Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas suaranya. Lalu terdengar juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia. Mendengar itu, si orang tua tarik tangan si nona, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Dalam keheranannya itu, In Lui menurut saja, ia memasang mata.
Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Lui lihat wajahnya si orang tua. Itulah roman tenang tetapi tegang. Jago tua ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang kupingnya.
"Ah!" tiba-tiba ia bersuara seorang diri, "Mustahil aku menduga keliru?"
In Lui pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa.
"Kau dengar apa susiok-couw?" tanyanya heran.
Ciu Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk.
"Lihat!" katanya kemudian. Ia menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak sawah lading yang luas dan gemuk yang dibuka oleh tentara gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, adas gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia. Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua buah loteng. Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar, mungkin beberapa ratus bahu. Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan.
"Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu," kata si raja gunung kemudian. "Telaga itu menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa kami."
Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas.Tapi, ia lantas menghela napas.
"Akant tetapi bangsa Tartar dan tentara negeri kita tidak mengijinkan kita tinggal di sini," ia tambahkan. "Baru kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim orang-orangnya yang lihai mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini."
"Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia," kata In Lui. "Baru beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat apa-apa."
"Kau tidak tahu," Ciu Kian terangkan. "Sekarang adalah musim semi dan biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara hebat."
Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah kita yang berada di dalam lembah, terutama sawah ladang kita musnah tergenang air."
"Sungguh hebat, menjemukan!"kata In Lui, yang menjadi sengit. "Jikalau mereka itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan pedangku!"
"Tetapi kejahatan mereka tak sampai disini saja," kata pula Ciu Kian. Tiba-tiba, ia dengar suara yang mengherankan padanya.
"Aneh!" katanya.
"Apakah yang aneh, susiok-couw?"
Ciu Kian pasang pula kupingnya.
"Turut pendengaranku seperti ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan," dia menerangkan," tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih perlahan. Kau dengar tidak?"
In Lui menggelengkan kepala.
Orang tua itu tertawa.
"Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kang-ouw, kepandaian mendengar suara ini harus kau yakinkan," ia kata. Ia terus tambahkan," Aku taksir pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit perubahan?"
Baru In Lui mau menanya kenapa jago tua itu ketahui demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak Ciu Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan niatnya. Ciu Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari tangannya.
Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tombak terpisah dari mereka muncul dua orang yang merupakan bayangan hitam. Pasti mereka itu ada orang-orang lihai, sebab demikian terang kuping Ciu Kian, sesudah orang dekat baru dia mengetahuinya.
Dua orang itu berdiri berendeng.
"Besok tengah hari," kata yang seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah lembah," maka pesanggrahan itu yang luasnya seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah datar! Haha! Tuhan memberkati negara kita, apa mau congpeng dari Gan-bun-kwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas si bangsat tua Kim-too, untuk merampas kota Gan-bun-kwan mudah saja, seperti orang membalikkan telapak tangan. Satu kali Gan-bun-kwan sudah rubuh, jalan ke kota raja sudah tidak ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Ciangkun, jasamu kali ini bukan main besar!"
Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah.
Mendengar itu, In Lui terkejut.
"Tepat sekali taksiran Paduka," berkata orang yang satunya. "Paduka tak ada bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentara kota Gan-bun-kwan tidak dapat datang menyambut, apakah tentara kita yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman bahaya? Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil menjadi dua barisan."
Orang yang pertama tertawa pula.
"Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kim-too itu," dia kata, "untuk itu tenaga tentara di Gan-bun-kwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir jika dia nanti melanggar janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentara, apakah perlu dia memandang ke kepala atau ke ekor?"
Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar.
In Lui ingat suatu apa, ia jadi berpikir," Bukankah Tantai Ciangkun ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh ji-supeh?" dia menduga-duga. "Jikalau benar dia adanya, dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan lolos!"
Orang yang dipanggil Tantai Ciangkun itu berbicara pula.
"Lebih baik Paduka berlaku hati-hati," demikian katanya. "Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kim-too itu."
Si paduka itu yang terang ada bangsa Ouw atau Tartar, kembali tertawa besar.
"Aku justeru khawatirkan mereka tidak muncul!" ujarnya. "Kita sedang bersiap menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian, mana bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita korbankan jiwa belasan serdadu yang menggempur gili-gili."
"Sungguh busuk!" In Lui mendamprat dalam hatinya, mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengerti telah ia akan sepak terjangnya Ciu Kian malam ini.
"Kiranya susiok-couw mengatur tentaranya untuk menghadapi empat pasukan musuh di luar itu," pikirnya. "Susiok-couw ajak aku datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela susiok-couw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia keluar seorang diri untuk menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!"
Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya, ia segera bersiap sedia.
Ciu Kian juga tampaknya tegang, akan tetapi dia masih menggeleng-gelengkan kepala mengisyaratkan agar kawannya sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka In Lui berdiam, terus ia pasang kupingnya.
"Eh," terdengar Tantai Ciangkun," kenapa mereka masih belum datang?"
Si paduka atau ongya, juga berjalan mundar mandir, dia pun nampaknya sibuk tidak keruan.
"Eh!" seru Tantai Ciangkun itu kemudian. "Lihat mereka itu tengah mengepung siapa hah?"
Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi, lantas nampak satu penunggang kuda kabur di dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang.
"Segala bantong!" si ongya mencaci, terus ia siapkan busurnya.
"Jangan binasakan dia, paduka!" Tantai Ciangkun mencegah. Tapi baru dia buka mulutnya atau busurnya sudah menjeprat, anak panahnya melesat menyambar.
Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Ciu Kian tepuk pundak In Lui sambil berseru," Serang raja muda Tartar itu!"
In Lui memang sudah siap, maka itu dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan Tantai Ciangkun dan ongyanya.
Si nona entengkan tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil memburu, ia pun sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi mana Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu), menyerang ketiga arah, atas, tengah, dan bawah dari si ongya dan si ciangkun.
Ciangkun atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya. Dia adalah orang yang sangat dibenci In Lui, tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar biasa ganas. Dengan menggunakan piauwnya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua.
Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa bekakakan. Ia seperti dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental.
Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan,"Aduh!" dan busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia pertahankan diri.
Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya Hui-thian Liong Lie Yap Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang jalan darah. Si ongya benar lihai tetapi ketika dibokong, ia pun sedang membokong orang lain dengan panahnya, maka datangnya serangan gelap membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu piauw dan berkelit dari yang kedua, tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya. Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang lihai, ia tidak sampai terhuyung rubuh. Untung tidak enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat dihindarkan dari bahaya maut.
In Lui terkejut mendapatkan keenam piauwnya tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya, tahu-tahu Tantai Mie Ming yang berseru keras, telah lompat melesat ke hadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan ciangkun ini, ia ketahui, orang ada terlebih lihai daripadanya. Akan tetapi, ia kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tangguh. Maka jug "Sret!" pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu.  

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang