XXVII

552 8 0
                                    

Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung dengan tembok merah. Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ, pemuda dan pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras.

"Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?" tanya Tan Hong. Ia seperti bicara seorang diri.

Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat naik.

"Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..." Tan Hong nasehati.

Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok.

Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan:
"Lepaskan pedangmu!"

Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita.

In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih, pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia berpaling, ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun berubah seperti ia sendiri.

Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!" dan merasakan sampokan, akan tetapi ia lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya ia dibarengi dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil menangkis.

Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang!

Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya. Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun, menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan inilah baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan Hong lihat pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang tajam dari pedang si nona itu seperti dilapok daun bambu. Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...

Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi itu.

Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya.

"Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei," demikian ia berkata. "Kebetulan saja kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk kelancangan kami..."

Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari suara yang membentak tadi: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat turun!"

"Maaf!" kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok.

Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka. Mereka tampak dua orang wanita sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang rambutnya beruban!

Tapi In Loei menjadi sangat girang. "Soehoe" dia berseru. "Apakah soehoe baik! Inilah teetjoe."

Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara "Ai..." lalu ia berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan pikirannya.

Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu. Sudah lama ia dengar namanya bibi guru itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya, baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia lantas menaruh perhatian.

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang