CEMBURU

14.1K 1.7K 228
                                    

Sejak kejadian malam itu, gue semakin gencar mengejar cinta Kaily. Meskipun dia meminta agar gue melupakan semua yang terjadi di antara kami malam itu, gue enggak mau munafik, gue selalu ingat dan justru itu yang mendorong gue untuk terus mengejarnya. Hari ini gue UTS, jadi pulangnya lebih awal. Rencananya siang ini gue mau ajak Kaily makan di warteg langganan. Maklumlah, menyesuaikan dana yang ada. Jadi, makan di tempat yang sesuai kantong. Jangan kalian pikir makan di warteg berdua habis 10.000, ya? Uang segitu di kota besar tak berasa, paling minim kalau makan sama Kaily itu habis sekitar 50 ribuan.

Uang jajan gue aja sebulan cuma dikasih satu juta, cukup enggak cukup tuh buat bensin sama jajan. Tapi gue enggak hilang akal, uang satu juta bisa gue puterin. Gue jual pulsa sambil kadang ngojek, gantar nyokap atau bokap dengan minta imbalan uang sebagai ganti tenaga. Soalnya kalau bokap males nyetir mobil sendiri, minta gue yang antar, kalau nyokap selalu deh minta antar, kan dia enggak bisa nyetir. Jadi, pemasukan lebih banyak dari nyokap. Hitung-hitung belajar kerja buat masa depan gue sama Kaily nanti.

Lama banget sih dia, apa jangan-jangan dia makan di kantin, ya? Ah, bodoh banget! Ini kan perusahaan bokap sendiri, ngapain juga gue nunggu di sini kayak sapi ompong. Eh, tapi kalau gue masuk, terus Kak Nina atau Papa tahu, gimana, ya? Alasan apa, ya? Ah, pikirkan nanti, yang penting gue bisa nemuin Kaily.

Saat gue masuk ke lobi dengan perasaan H2C (Harap-harap Cemas), beberapa orang yang kenal gue menganggukkan kepala dan gue jawab anggukan kepala dan senyum ramah. Perusahaan ini belum besar, kariyawannya masih sedikit, belum mencapai ribuan. Kantor juga enggak gede, cuma dua laintai. Gue bertekad, suatu hari gue bakalan bikin perusahaan ini besar. Saat ini masih CV, cita-cita gue pengin jadiin ini PT. Mata gue mencari-cari, takut Papa lihat gue. Saat gue mau masuk ke lift, ada suara famiiliar memanggil.

"Ali!"

Pura-pura enggak denger, tapi kok dia mendekat. Haduuuuh, alasan apa, ya?

"Eh, Kak Nina." Gue menyengir berlagak bloon.

"Ngapain lo ke sini? Bukannya pulang malah keluyuran."

"Mmm ... nganu, Kak, mmm ... apa, ya?" Bingung deh cari alasan, apa, ya?

Gue garuk kepala sambil mencari alasan. Saat gue sedang sibuk mencari alasan, pintu lift terbuka dan keluarlah Kaily, senyum mengembang di bibir gue, tapi seketika hancur karena dia keluar bersama pria.

"Nina? Katanya lo mau makan?" tegur Kaily mendekati kami.

"Iya, tapi ketemu nih anak jadi ketunda jalan gue," sahut Kak Nina menunjuk ke arah gue dengan dagunya.

Kaily melirik gue, gue balas melirik tajam lelaki yang bersamanya.

"Siapa dia?" tanya gue ketus kepada Kaily.

Bodoh amat sama tatapan Kak Nina yang mengerutkan dahi, tampak bingung, hati gue sudah telanjur panas kalau lihat Kaily sama cowok lain.

"Siapa yang lo maksud?" balas Kaily menatap gue seakan tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

Gue tarik tangannya dengan paksa dan mengajaknya keluar dari kantor. Kaily memberontak, tetap gue paksa.

"Ali, lepasin! Lo apa-apaan sih, sakit tahu!" pekiknya yang terus mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman gue, gue enggak peduliin teriakannya di sepanjang jalan.

Gue tetep menarik dia sampai di depan motor. Tanpa melepas tangannya, gue menatap dia seakan ingin membunuh.

"Siapa dia?" sergah gue marah.

"Apaan sih lo, Li? Siapa yang lo maksud?" tanya dia berlagak enggak tahu maksud gue.

"Cowok yang tadi itu siapa?" terang gue biar dia paham, kali ini gue menekan setiap kata, tetap halus bercampur geram.

I LOVE YOU, KAK (KOMPLIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang