Jilid 35 : Darah, tangis

1.8K 33 0
                                    

Saat itu jenderal Co sedang menyapu pedang Go Hiong atau tiba2 Mo Thian Ing gentakkan ruyungnya. Ruyung itu terdiri dari sembilan ruas, dapat bergerak dan bergeliatan seperti ular, dapat pula menjulur surut.
Jenderal Co terkejut ketika tak sempat menangkis. Ia meramkan mata dan mengeluh, "Ah, mengapa aku harus mati di tangan seorang penghianat ..... "
Tring .....
Terdengar dering togam beradu dan karena jenderal Ca merasa kepalanya tak menderita apa2, diapun membuka mata.
"Perighianat, jangan main bunuh!" tiba2 terdengar suara orang berseru dan pada lain saat sesosok tubuh melayang tiba.
Mo Thian Ing terkejut sekali ketika ruyung terbentur sebuah batu kecil dan tersiak ke samping sehingga tak menemui sasarannya.
Ia makin terkejut ketika mendengar suara orang memaki dan sebelum sempat berpaling, dihadapannya telah muncul seorang pemuda yang dandanannya nyentrik. Seperti pendekar kesiangan, pakai dua buah tanduk rambut.
"Siapa engkau!" bentaknya.
"Utusan Giam-lo (raja akhirat) untuk mencabut nyawamu!" sahut orang yang tak lain adalah Huru Hara. Rupanya dia tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ketika jenderal Co terancam bahaya, dengan sebat Huru Hara menjemput batu dan dilontarkan menghantam ruyung Mo Thian Ing.
Sementara Go Hiong juga berhenti karena kaget. Dia belum merasakan betapa kuat batu yang dilontarkan Huru Hara tadi. Melihat Huru Hara hendak mencabut nyawa Mo Thian Ing, tanpa berkata ba atau bu, Go Hiong terus menyerang Huru Hara.
Huru Hara loncat menghindar ke sisi jenderal Co dan merebut pedang jenderal itu, "Silakan jenderal beristirahat. Biarlah aku yang membereskan mereka."
Entah bagaimana jenderal Co percaya saja dan membiarkan pedangnya diambil Huru Hara, kemudian dia menyingkir ke samping.
"Uhhhhh ...... " tiba2 terdengar suara orang menjerit tertahan dan rubuh ke Iantai. Ternyata dia adalah Mo Thian Ing.
Mo Thian Ing tak mau melepaskan jenderal Co. Melihat jenderal itu sudah tak memakal senjata dan menyingkir ke samping, Mo Thian Ing terus loncat memburu dan menghantamkan ruyungnya. Tetapi saat itu punggung tertusuk ujung pedang. Dia menjerit dan rubuh.
Memang Huru Hara tak pernah lengah. Walaupun sedang menghadapi serangan Go Hiong namun ia tahu kalau Mo Thian Ing hendak mencelakai jenderal Co. Sebelum ruyung sempat mengayun kebawah, Huru Hara sudah menusukkan ujung pedangnya ke punggung orang itu. Tusukan yang cepatnya bukan alang kepalang itu tak memberi kesempatan pada Mo Thian Ing untuk menghindar lagi.
Melihat rekannya rubuh, Go Hiong marah. Dia loncat menerjang Huru Hara, tring ..... . kembali Huru Hara membabatkan pedang panjangnya. Ketika saling berbentur, Go Hiong mencelat dua langkah ke belakang, pedangnyapun rompal.
Bukan main kejut Go Hiong menyaksikan kesaktian pendekar nyentrik itu. Dia segera mengeluarkan ilmupedang perguruan Tiam-jong-pay tetapi dia tak mampu maju mendekat karena terpalang oleh batang pedang Huru Hara yang panjang. Malah beberapa saat kemudian ia menjerit karena tangannya terpapas sehingga pedangnya jatuh.
Dukkkk sekali memutar balik pedang Huru Hara menggempur kepala Go Hiong yang terus terjungkal ka tanah. Kedua kausu itu pingsan.
"Ciangkun, inilah pedang ciangkun," kata Huru Hara mengembalikan pedang jenderal Co.
Rupanya jenderal itu terkesan sekali atas kelihayan Huru Hara. Dia mempersilakan Huru Hara duduk.
"Siapakah namamu, anakmuda ?"tanyanya. Huru Hara memperkenalkan diri dan tugas yang dilakukan.
"O, engkau diutus Su tayjin ?"
"Su tayjin tak memberi titah apa2 kecuali suruh hamba menyelidiki ciangkun."
"O, apa saja yang akan diselidiki ?"
"Tentang tindakan ciangkun hendak membawa pasukan ke kotaraja itu. Apakah sebesarnya maksud ciangkun ?" langsung Huru Hara menerangkan tugasnya.
"Ya," jawab jenderal Co, "aku memang mempunyai rencana hendak membawa pasukan kekota raja guna melakukan pembersihan kepada mentri2 dorna terutama tay-haksu Ma Su Ing,"
"Aku telah mendengar semua pembicaraan ciangkun dengan kedua orang itu tadi."
"Lalu bagaimana kesanmu ?"
"Apakah ciangkun tetap hendak melanjutkan keputusan ciangkun itu ?"
"Ya."
"Mengapa ? Tidakkah hal itu akan melemahkan kekuatan kita sendiri ?"
"Kalau engkau sakit," kata jenderal Co, "apakah engkau tidak minum obat ?"
"Ya, minum."
"Nah, kalau minum obat, tentu pahit rasanya. Bahkan kadang ada obat yang membuat kita merasa sakit sekali, Karena terjadi pertempuran antara obat dengan penyakit dalam tubuh kita. Tetapi setelah penyakit itu dibasmi oleh obat, barulah tubuh kita sehat."
"Begitulah seperti yang kita hadapi sekarang ini. Kerajaan Beng kalah dan selalu mengalami kekalahan dalam setiap pertempuran dengan pasukan Ceng. Lalu apa sebabnya ? Apa kita kalah kuat ?"
"Kerajaan Beng sudah berdiri beratus tahun, tentulah pasukannya sudah cukup teratur dan kuat. Rasanya tentu takkan kalah melawan pasukan Ceng."
"Benar," sahut jenderal Co, "pada hal suku Boan itu merupakan suku kecil dan terbelakang, dari suku Han. Tetapi nyatanya mereka dapat mengalahkan dan mengusir raja Bang kita dari kotaraja, Tidakkah hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak sehat dalam tubuh pemerintahan kita ? Nah, aku mau mengobati penyakit itu. Aku tahu sumber penyakitnya adalah terletak pada mentri2 durna, terutama tay-haksu Ma Su Ing yang menguasai kerajaan. Baginda hanya dijadikan seperti boneka saja. Mentri2 yang setya dan jujur seperti Su tayjm, sengaja dilempar dari kotaraja."
Huru Hara mengangguk-angguk.
"Tetapi ciangkun," katanya pula, "dalam menghadapi musuh yang sudah mengancam diambang pintu kita. apakah ciangkun merasa bahwa tindakan ciangkun itu tidak akan melemahkan ke kuatan kita ?"
"Daerah kita masih luas. Lebih baik sekarang daripada berlarut-larut sampai besok. Andaikata dengan tindakanku itu kita harus mengalami kekalahan lagi, apa boleh buat, kotaraja dapat pindah ke selatan, Tetapi disana kita sudah
bersih dari segala durna dan penghianat. Kita susun lagi pertahanan yang kuat dengan menghimpun segenap mentri dan jenderal2 yang cakap dan setya."
Huru Hara mengangguk.
"Baik, ciangkun," katanya, "tetapi dapatkah janji ciangkun itu kupercaya ?"
"Janji apa ?''
"Janji bahwa tujuan ciangkun menggerakkan pasukan ke kotaraja itu hanya bertujuan untuk membersihkan kaum durna dan penghianat?"
"Ya."
"Ciangkun berjanji tetap akan setya kepada kerajaan Beng?"
"Ya."
"Ciangkun tidak mempunyai keinginan peribadi yang lain kecuali demi kepentingan negara kita?"
"Ya
"Terima kasih, ciangkun," kata Huru Hara, "akan kusampaikan pernyataan ciangkun ini kepada Su tayjin. Karena Su tayjin memang merasa agak bimbang. Su tayjin menerima perintah dari tay-haksu Ma Su Ing untuk menumpas gerakan ciangkun tetapi Su tayjin pun mendengar bahwa tujuan ciangkun itu tak lain hanya melakukan pembersihan kepada mentri2 yang hianat. Maka sebelum menentukan keputusan, Su tayjin mengutus aku untuk meminta penegasan ciangkun."
"Sampaikan kepada Su tayjin bahwa aku, Co Liang Gok, adalah jenderal yang sudah banyak menerima kebaikan dari kerajaan Beng. Dan bahwa aku juga seorang rakyat Beng.
Maka aku tetap akan setya sampai akhir hayatku kepada negara dan bangsa.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Huru Hara mengemukakan kekuatirannya bahwa apabila jenderal Co membawa anak pasukannya ke kotaraja tentulah pertahanan di wilayah Hankow akan kosong.
"Apakah ciangkun menganggap hal itu tak-kan membahayakan keselamatan wilayah ini. Karena apabila Hankow dapat diduduki musuh, maka kotaraja Lamkia tentu lebih terancam," kata Huru Hara pula.
Co Liang Giok menjawab, "Hal itu memang sudah kupertimbangkan. Menurut orang yang kusuruh melakukan penyelidikan, rasanya musuh memusatkan gerakannya di daerah Kangpak. Dari sebelah utara mereka akan menyerempaki gerakan pasukan dari sebelah timur untuk kemudian bersama menjepit kedudukan Lam-kia. Saat ini musuh belum berhasil menerobos Kangpak, kalau aku segera berangkat ke kotaraja tentu masa belum terlambat untuk segera kembali ke wilayah ini lagi.
"Tetapi rencana ciangkun kan sudah bocor, fihak tay-haksu Ma Su Ing tentu sudah berjaga-jaga. Belum tentu ciangkun dengan mudah akan dapat tiba di kotaraja. Nah, kalau dalam keadaan begitu, bukankah Hankow akan kosong dari penjagaan?"
"Baiklah," kata jenderal Co, "akan kupertimbangkan lagi rencana itu. Aku akan bertiudak menurut keadaan nanti. Tetapi andaikata aku membawa pasukan ke kotaraja, pun di Han-kow sini tetap akan kutinggalkan pasukan untuk menjaganya."
Huru Hara menyetujui.
"Loan Thian Te," tiba2 Co Liang Giok berkata, "apakah sudah lama engkau bekerja pada Su tayjin."
"Sebenarnya aku tidak bekerja kepada Su tayjin melainkan membantu beliau. Memang Su tayjin pernah meminta aku supaya bekerja kepada beliau tetapi belum dapat kulaksanakan."
"Ah, apabila Su tayjin memperkenankan dan engkau setuju, akan kuminta engkau supaya membantu aku disini."
"Terima kasih ciangkun," kata Huru Hara, "tetapi saat ini diseluruh negara sedang terancam bahaya serangan musuh. Selain dengan serangan pasukan yang besar, pun musuh mengirim sejumlah besar mata2 untuk menyusup ke daerah kita, mengadakan pengacauan dan aksi2 memecah belah. Misalnya tentang pembunuhan jenderal Ko Kiat oleh jenderal Kho Ting Kok, kemungkinan besar didalangi oleh kaki tangan musuh."
"Maksudmu jenderal Kho Ting Kok telah dipeluk oleh kaki tangan musuh?"
"Ya," sahut Huru Hara tandas, "walaupun belum dapat kuselesaikan tetapi rasanya ada baberapa bukti yang menjurus ke arah itu."
"O," desuh jenderal Co.
"Oleh karena itu ciangkun, walaupun tidak terikat dalam tugas kepada Su tayjin ataupun kepada pemerintah kerajaan, namun aku mewajibka diri untuk menunaikan tugas sebagai seorang rakyat. Banyak nian tugas2 yang dapat kulakukan untuk negara dan rakyat"
Jenderal Co tertegun. Sejenak ia dapat membayangkan apa yang dikatakan Huru Hara, kemudian berkata, "Jika demikian, apakah engkau yang akan melakukan
pembasmian kepada mata2 dan kaki tangan musuh yang hendak mengacau kedalam daerah kita itu?"
"Demikianlah, ciangkun. Jika Su tayjin dan para ciangkun sekalian yang menghadapi pasukan musuh. Adalah hamba dan kawan yang akan memberantas kawanan kutu busuk itu."
"Baik, Loan Thian Te," akhirnya jenderal Co memberi salam, "ternyata tugasmu juga tak kalah berat dan mulia dari aku. Silakan engkau berjuang. Dan marilah kita selesaikan tugas pengabdian kita menurut cara dan kedudukan kita sendiri-sendiri."
Setelah mengucapkan terima kasih, Huru Hara lalu minta diri. Sebagai tanda peringatan akan pertemuan yang mengesankan itu, jenderal Co telah menghadiahi sebatang po-kiam (pedang pusaka) kepada Huru Hara.
"Pedang ini adalah pedang pusaka keluargaku. Mendiang ayahku pesan agar pedang ini diserahkan kepada seorang hohan (ksatrya) yang luhur budi dan penuh pengabdian kepada negara dan rakyat. Kuanggap engkaulah Loan Thian Te, yang sesuai memiliki pedang itu," kata jenderal Co.
Huru Hara terkejut, "Ah, jangan ciangkun. Bukankah ciangkun membutuhkan senjata pusaka untuk melindungi diri?"
Jenderal Co gelengkan kepala, "Tidak, Loan Thian Te. Aku seorang jenderal perang, bukan seorang tokoh persilatan. Aku biasa bertempur di medan perang. Senjataku adalah pedang panjang. Aku tak dapat bermain pedang biasa."
Karena didesak akhirnya Huru Hara terpaksa menerima juga. Dia segera kembali menuju ke Yang-ciu untuk memberi laporan kepada mentri pertahanan Su Go Hwat.
Banyak nian pengalaman dan pengetahuan selama dia menjalankan tugas dari Su Go Hwat itu. Ia makin tahu tentang seluk beluk keadaan di. pemerintahan pusat yang jelas telah dikuasai dan dikemudikan oleh tay-haksu Ma Su Ing.
Dia tak dapat menyalahkan tindakan jenderal Co Liang Giok yang hendak mengadakan pembersihan ke kotaraja.
Di sepanjang jalan ia mendengar berita yang mengejutkan. Bahwa daerah Kangpak telah diduduki pasukan Ceng.
Lebih celaka lagi, ia mendengar beberapa pembesar di daerah2 sudah mulai berpaling haluan, beifihak kepada musuh. Jelas mereka tentu kena disogok oleh kaki tangan musuh, pikir Huru Hara.
Lepas senja dia tiba di kota Tong-kwan, sebuah kota kecil di wilayah Kangpak. Terpaksa menginap disebuah rumah penginapan. Ketika malam itu ia sedang makan di ruang tamu, ia mendengar pembicaraan diantara tamu2.
"Aneh," kata salah seorang tetamu, "mengapa tikoan (pembesar kota kecil) mengeluarkan peraturan yang aneh. Masakan kita, orang lelaki tak boleh memangkas rambut."
"Ya, memang peraturan itu ganjil sekali, Perlu apa tikoan mengurusi soal rambut segala," gumam kawannya.
Salah seorang yang bertubuh gemuk, berkata, "Mana kalian tahu ? Bukankah pada waktu akhir2 ini tikoan selalu sibuk menerima tetamu ?"
"Kan biasa kalau tikoan menerima tetamu itu ?" selutuk yang lain.
"Ya, memang," sahut orang gemuk itu, "tetapi tetamu itu bukan sembarang tetamu lho."
"Hai, Lo Kong, jangan sok-tahu sendiri, seru kawannya," coba katakan tetamu apa saja yang datang kepada tikoan itu ?"
"Huh, Lo Seng," seru si gemuk yang dipangil Lo Kong. Dia memang bernama Kong Lik, 'kalau tak tahu bilang saja tak tahu, perlu apa harus mengejek orang ?"
"Ho, si gendut keluar tanduknya nih," Lo Seng malah tertawa menggoda. "ya dah, coba engkau katakan tetamu siapa yang datang kepada tikoan itu."
"Jomblang."
"Ha, ha, ha," pecahlah gelak tawa beberapa orang yang sedang berkumpul dalam ruang makan itu, "kukira siapa, kalau hanya jomblang itu sih biasa. Bukankah tikoan mempunyai seorang puteri yang cantik ?"
"Ya, benar," kata Kong Lik, "Siau siocia puteri Siau tikoan itu memang cantik sekali. Pandai menyulam dan merangkai syair, memetik harpa. Wah, pendeknya, Siau siocia itu benar2 sebuah mustika wanita."
"Lalu siapa yang melamarnya ?
"Wah, itu rahasia sekali. Maaf, aku tak dapat mengatakan," kata Kong Lik.
"Rahasia apa ?"
"Udahlah, kalau kukatakan rahasia ya rahasia, tak perlu tanya lagi. Pokok, tak lama lagi Su tikoan akan punya kerja mantu."
"Apa dengan calon yang dilamarkan jomblang itu ?"
"Bukan," kata Kong Lik.
"Lalu dengan siapa ?"
"Itu rahasia, bung."
"Kurang ajar," dengus Lo Seng, "engkau berani main rahasia kepadaku ?"
"Goblok, masakan engkau tak kenal apa kegemaranku ?" sahut Lo Kong.
"O, kunyuk engkau. Pelayan bawakan dua kati arak yang paling baik," seru orang yang dipanggil Lo Seng itu.
Tak berapa lama pelayan datang dengan membawa dua kati arak.
"Ini baru benar," seru Kong Lik sambil berkomat-kamit mulut. Dia terus menuang arak wangi itu dan meneguknya.
Beberapa saat kemudian baru berkata, "Sia siocia mungkin akan menikah dengan engkau."
"Kunyuk ! Jangan berolok-olok !" bentak Lo Seng.
"Tidak, bung, aku tidak berolok-olok. Memang sungguh."
"Babi, jangan main2, lekas terangkan apa maksudmu ?"
"Begini," kata Kong Lik. Ternyata dia seorang pengangguran. Kerjanya tak lain hanya cari dan jual berita kepada orang yang membutuhkan. Harganya sih tak seberapa, asal ditraktir minum arak ,"Siau siocia hanya mau menikah kepada orang yang dapat mengalahkannya."
"Hai, gila engkau kunyuk!" bentak Lo Seng, "Bukankah tadi engkau mengatakan kalau Siau siocia itu pandai menyulam, membuat syair dan memetik harpa. Mengapa
sekarang engkau mengatakan dia mempunyai syarat begitu? Bukankah itu berarti dia 'pandai ilmusilat?"
"Engkau memang tolol," seru Lo Kong, "siapa bilang kalau dia pandai ilmusilat? Yang kumaksudkan mengalahkan dia adalah dalam soal merangkai syair. Siapa yang dapat mengalahkan dia, baru mau menjadi isterinya."
"O, engkau maksudkan dia hendak mengadakan bun-pit atau adu ilmu bun (sastera)? "
"Apalagi kalau tidak begitu?" dengus Lo Kong, "maka kukatakan, mungkin kalau engkau mampu, engkaulah yang akan beruntung mempersunting Siau siocia. Karena bun-pit itu tidak diperuntukkan khusus golongan tertentu tetapi semua orang boleh ikut."
"Apakah jomblang itu menerimanya?"
"Tikoan terpaksa menuruti permintaan purerinya. Maka mulai besok pagi di rumah kediaman tikoan mulai dibuka pertandingan bun-pit itu."
"Slompret lu," maki Lo Song, "kiranya hanya rahasia macam begitu saja."
"Hm, engkau harus tahu bung, aku seorang pengangguran. Dari mana aku dapat makan minum arak kalau tidak punya ilmu berdagang rahasia dan berita ?"
Demikian setelah makan dan minum, bicara dan tertawa akhirnya beberapa tetamu itupun sama ngeloyor pergi, Tetapi Lo Kong masih tinggal seorang duri disitu. Rupanya dia hendak mencari mangsa, orang yang hendak mencari berita.
Memang banyak sekali ragam orang mencari penghidupan itu. Seperti Lo Kong, dia talc punya pekerjaan tetap dan coba2 melakukan pekerjaan semacam itu. Eh,
ternyata enak juga. Hanya jual beli keterangan dan rahasia, tiap hari dia bisa nongkrong di rumah makan, makan minum gratis dan kadang pulang masih membawa uang.
Lirik sana lirik sini, Lo Kong sempat melihat Huru Hara yang masih menikmati minuman. Lo Kong segera berbangkit dan menghampiri.
"Ah, tuan seorang diri saja ?" tegurnya dengan tertawa cerah.
Huru Hara sudah tahu siapa Lo Kong. Tetapi tiba2 dia juga punya pikiran untuk mencari keterangan.
"Ya," sahutnya.
"Apa aku boleh duduk ?"
Huru Hara mengangguk.
"Ah, tuan tentu, bukan orang Kang-pak," Lo Kong mulai membuka pembicaraan."mungkin tuan berasal dari lain daerah."
"Hm, ya."
"O, kalau begitu 'tuan harus hati2 berada dikota ini. Kalau tidak waspada, tuan tentu akan menderita kerugian. Benar, tuan," Lo Kong memberi tekanan nada kata2nya supaya orang percaya.
"Apakah disini banyak penjahat ?"
"Ya, berbagai cara orang melakukan kejahatan. Misalnya, tuan bisa saja dipanggilkan polisi atau tentara supaya ditangkap kalau orang menuduh tuan sebagai mata2 musuh."
"O," desuh Huru Hara, "lalu apakah tikoan percaya dan terus menjatuhkan hukuman saja ?"
"Stttt ," tiba2 Lo Kong mengatupkan dua jarinya ke mulut, memberi isyarat agar Huru Hara jangan bicara keras2 "ada sebuah rahasia tuan tetapi rahasia itu berat sekali tanggung jawabnya. Kalau sampai bacor, aku bisa kehilangan kepala nanti."
"Ah, mengapa harus begitu ? Apakah rahasia itu ?"
"Apakah tuan ingin tahu ?"
"Ya," Huru Hara mendengus.
"Tetapi orang yang tahu rahasia itu memang aneh. Yah, sebenarnya memang menjengkelkan orang itu tetapi apa boleh buat. Dia arang tak mampu, jadi terpaksa berbuat begitu untuk hidup."
"Apa maksudmu?" tegur Huru Hara yang pura2 tak tahu.
"Begini tuan," bisik Lo Kong, "waktu memberitahu rahasia itu kepadaku, dia bilang kalau ada orang yang ingin tahu supaya diminta memberi bantuan uang. Rahasia itu penting sekali, salah2 kalau ketahuan siapa yang membocorkan, pembesar kota ini tentu akan membunuhnya."
Huru Hara tertawa, "Tetapi mana dia tahu engkau menjualnya atau tidak?"
"Eh, tuan ini bagaimana sih," kata Lo Kong, "sebelum memberikan rahasia itu, dia telah menyumpah aku. Kalau aku berani berbohong memperjual-belikan rahasia itu dan uangnya masuk kantongku sendiri, aku tentu akan disambar geledek atau dicekik Giam-lo-ong."
"O, jadi engkau tak berani membohonginya?"
"Siapa sudi disambar geledek atau dicekik Giam-lo-ong!" gerutu Lo Kong.
"Berapa bantuan yang dimintanya?"
"Aku mempunyai dagangan berupa beberapa rahasia. Harganya menurut nilai rahasia itu. Kalau yang menyangkut rahasia pemerirttah, tentu saja tinggi. Juga rahasia dari pembesar2 pemerintah, berharga tinggi. Kalau rahasia yang menyangkut urusan atau orang biasa, harganya juga murah.
"Hm," dengus Huru Hara, "tapi mana aku tahu jenis rahasia apa yang paling penting ?"
"Tuan boleh mengatakan menghendaki rahasia negara, pembesar negeri atau rahasia tentang peristiwa2 dalam kota ini ?" kata Lo Kong.
Huru Hara kerutkan kening, "Bagaimana kalau rahasia pemerintahan ?"
"Wah, itu mahal sekali. Sepuluh tail perak, tuan."
"Uh, mengapa semahal itu ?"
"Begini tuan," kata Lo Kong, "berbicara soal rahasia pemerintah tentu akan melibatkan rahasia diri pembesar negeri, Dengan begitu rahasia itu mengandung dua macam."
"Hm. baiklah, aku beli rahasia yang itu, "kata Huru Hara.
"Tetapi maaf, tuan," kata Lo Kong, "sudah menjadi peraturanku, setiap pembeli harus memberi persekot dulu. Karena pernah terjadi, aku telah ditipu orang. Sehabis memberi tahu rahasia yang diminta, orang itu marah dan bukan saja tak mau membayar bahkan malah memukuli aku. Maka sekarang terpaksa setiap pembeli harus membayar uang muka sebanyak separoh untuk persekot."
Huru Hara mengeluarkan lima tail perak. "Apa tuan tidak mengundang aku ikut menikmati arak tuan ?" tanya Lo Kong.
"Boleh," sahut Huru Hara, "silakan minum. asal tahu sendiri."
"Tahu bagaimana ?"
"Potong dong nanti."
Lo Kong mendelik. Namun arak yang sudah dituang itu menyiar bau yang harum menyengat hidung, terpaksa dia menegukuya juga walaupun dengan muka cemberut.
"Nah, sekarang katakanlah rahasia itu. Kalau aku menganggap rahasia itu memang benar2 penting dan memenuhi selera. akan kutambak persenanmu
"Benar itu ?" teriak Lo Kong.
"Sudah, jangan banyak omong, lekas katakan bentak Huru Hara.
Dengan berbisik-bisik Lo Kong menerangkan sebuah rahasia, "Sebenarnya tikoan itu mempunyai hubungan dengan kaki tangan kerajaan Ceng...."
"Apa !" karena kagetnya Huru Hara sampai mencengkeram leher Kong Lik sehingga orang itu mendelik karena tak dapat bernapas.
Ak ... auk ... , Kong Lik keroncalan melepaskan diri tetapi tak dapat. Akhirnya Huru Hara tersadar dan lepaskan cengkeramannya.
"Ah, apa engkau hendak membunuh aku ?" tegur Kong Lik.
"Tidak. Aku cuma kaget."
"Enak saja bilang kaget. Engkau kaget, tapi leherku yang tercekik, uh ..... "
"Sudahlah, lekas lanjutkan ''saja. Bagaimana buktinya kalau tikoan itu mempunyai hubungan dengan orang Boan ?"
"Tikoan memerintahkau bahwa setiap penduduk lelaki tak boleh cukur rambut," kata Lo Kong.
"Disuruh piara kuncir, maksudnya ?"
"Tepat," sambut Lo Kong, "memang rasanya tikoan mempunyai persiapan begitu," barang siapa yang melanggar akan dihukum, diusir dari kota ini, Tetapi yang menurut diberi hadiah. Dan ada sebuah berita lagi yang menarik,"
"Apa ?"
"Hm, itu rahasia."
"Engkau mau minta tambah bayaran lagi ?"
"Tidak," Lo Kong gelengkan kepala, "asal arak yang kuminum tadi engkau gratiskan, jangan dipotong dengan kekurangan pembayaranmu nanti."
Huru Hara terpaksa mengalah.
"Tikoan telah membebaskan pajak bahkan setiap penduduk mendapat hadiah. Yang kaya diundang pesta. Yang miskin, diberi uang, Petani diberi seekor kerbau."
"Wah, wah, apakah tikoan itu kaya sekali?" tanya Huru Hara.
"Justeru itu yang mengherankan," kata Lo Kong. "dia tidak kaya tetapi entah bagaimana mendadak saja dia mempunyai uang yang banyak sekali."
"Hai Lo Kong, sialan, engkau disini ?" tiba2 seorang tetamu masuk dan berseru kepada Lo Kong.
"O, engkau burung kakaktua," Lo Kong terkejut dan berpaling," memangnya kenapa ?"
"Kemarilah."
Lo Kong berbangkit dan menghampiri. Keduanya duduk di sudut ruangan dan berbisik-bisik. Berulang kali Lo Kong mengangguk-angguk. Wajahnya berseri-seri, "Beres ?" katanya.
Orang itupun keluar dan Lo Kong menghampiri ke tempat Huru Hara lagi, "Ada sebuah berita yang hebat lagi !"
"Hm, akan dijual lagi ?"
Lo Kong mengangguk, "Ini baru berita ! Harganya juga tak sembarangan."
"Berapa ?"
"Duapuluh lima tail perak,"
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi awas, kalau berita itu tidak penting, kepalamu akan kucopot !"
"Boleh." sahut Lo Kong lalu mulai berbisik-bisik. "tikoan membatalkan sayembara bun-pit itu."
"Kenapa ?" Huru Hara terkejut.
"Karena Siau siocia dilamar oleh seorang pangeran Boan ..... auhhhhh ," kembali Lo Kong menjerit tertahan karena lehernya dicekik Huru Hara.
"Jangan seenakmu saja jual kebohongan !" bentak Huru Hara seraya lepaskan cekikannya.
"Ah uh kenapa engkau mencekik aku lagi ? Apakah engkau tukang cekik leher?" Lo Kong deliki mata sambil mengusap-ucap lehernya yang sakit, "kalau engkau tak mau
percaya, akupun tak dapat memaksa tetapi jangan main cekik."
"Bagaimana engkau dapat membuktikan kalau tikoan berbuat begitu ?"
"Sudah tentu ada buktinya," bantah Lo Kong tak kalah sengit, "yang datang tadi adalah bujang dari rumah tikoan."
"O," desuh Huru Hara terkejut, "kalau begitu dia tak bohong. Tetapi juga belum dapat kupercaca sepenuhnya. Coba katakan, pangeran Boan siapa yang akan memperisteri Siau siocia iiu ?"
"Tambah lima tail perak kalau mau tahu namanya !"
Huru Hara mengangguk.
"Barbak ..... ," dengan bisik2 Lo Kong mengatakan nama pangeran Boan itu.
"Gila!" tiba2 Huru Hara menggebrak meja. Karena dia marah. tenaga-sakti Ji-ih-sin- kangnyapun memancar sehingga meja itu hancur seketika.
Lo-Kong gemetar. Ia baru melek kalau yang dihadapinya itu seorang- pemuda yang sakti. Karena hanya sekali gebrak meja makan yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal telah hancur berantakan.
"Hohan, jangan marah kepadaku , meratap ketakutan.
"Apa keteranganmu itu dapat dipercaya ?"
"Sungguh mati, hohan, kalau aku sampai bohong, biarlah pohon2 tumbang disambar geledek!
"Hm," dengus Huru Hara, "eh, kurang ajar engkau, sumpah macam apa itu. Yang disambar geledek kan pohon dan engkau tak kena apa2 !
"Ya, karena pohon2 itu tumbuh di luar dan kalau hujan besar, aku tentu bersembunyi dalam rumah. Kan sukar bagi geledek untuk mencari aku. Biarin saja pohon yang disambar."
"Mana rumah tikoan itu ?" tiba2 Huru Hara membentaknya. Dia segera suruh Lo Kong menunjukkan.
Tikoan atau kepala kota Tong-kwan, mendiami sebuah gedung yang besar. Begitu masuk seorang penjaga segera menegurnya.
"Aku mau menghadap tikoan," kata Huru Hara.
"Tikoan loya sedang beristirahat. Malam begini beliau tidak terima tamu lagi,"
"Persetan !" Huru Hara menarik bahu perjaga itu disentakkan ke samping. Penjaga itu terpelanting pontang panting sampai beberapa meter.
Huru Hara terus masuk. Lo Kong hendak belot karena takut tetapi sebelum dia lolos, bahunya sudab disambar Huru Hara terus di seret di ajak masuk. Seperti anak ayam dicengkeram elang, Lo Kong tak dapat berkutik.
Tiba di ruangan dalam, Huru Hara berseru, "Hai, mana tikoan!"
Ternyata ruangan itu merupakan kantor tempat tikoan bekerja. Pada malam hari, sepi sekali.
Tiba2 Huru Hara melihat sebuah tambur yang berada di sudut ruang. Tambur itu dipergunakan apabila tikoan bersidang memutuskan suatu perkara,
Bung. bung, bung .....
Huru Hara memukul genderang itu dengan kedua tangannya. Seketika bergemalah suara yang mendengung-dengung seperti bunyi meriam, Tak berapa lama muncul
empat orang opas. Mereka terkejut ketika melihat seorang pemuda berpakaian nyentrik berada dalam kantor tikoan.
"Hai, siapa yang membunyikan tambur !" teriak mereka.
"Aku!"
"Setan alas ! Apa engkau tak tahu kalau saat ini sudah malam ?"
"Tahu," sahut Huru Hara, 'tetapi aku ada urusan hendak bertemu dengan tikoan,"
"Tidak bisa !" bentak opas, "kalau ada urusan, besok pagi saja datang menghadap. Hayo, enyah !"
Opas itu terus hendak mendorong Huru Hara tetapi dia terkejut karena dia sendiri yang tertolak ke belakang.
Melihat itu ketiga kawannya terus membantu. Mereka hendak menyeret keluar Huru Hara, uh, uh ... mulut mereka mendesuh-desuh karena tak dapat mendorong tubuh Huru Hara.
Plak, plak, plak tiga kali Huru Hara ayunkan tangan dan ketiga opas itu mengaduh kesakitan dan mendekap mulut masing2 karena giginya terlepas. Mereka menjerit-jerit.
"Pemberontak ! Pemberontak !" teriak mereka seraya lari keluar.
Duabelas prajurit muncul. Sebelum mereka bertindak, muncul pula seorang letaki setengah tua yang mengenakan dandanan seperti pembesar negeri. Kedua belas prajurit itu serempak memberi hormat, "Tikoan loya, hamba sekalian menghatur kan hormat ..."
"Kenapa ramai2 ini ?" tegur pembesar yang tak lain adalah Siau tikoan atau tikoan orang she Siau,
"Aku hendak menghadap tikoan tetapi beberapa opas hendak meringkus aku. Terpaksa aku membela diri," kata Huru Hara, "apakah engkau yang jadi tikoan?"
Sudah tentu Siau tikoan terkejut sekali mendengar nada kata2 Huru Hara yang kasar itu. Masa dirinya dianggap sebagai orang kecil saja.
"Hai, engkau manusia atau binatang?" seru tikoan marah.
"Kalau engkau tak dapat mengetahui aku ini manusia atau binatang, berarti engkau bukan manusia!" sahut Huru Hara.
"Tangkap bangsat itu!" tikoan memberi perintah.
Kedua betas prajurit itu segera berhamburan menerjang Huru Hara. Tetapi dengan suatu geriak yang luar biasa hebatnya, Huru Hara sudah loncat ke belakang meja tikoan dan terus membekuk tengkuk tikoan itu, "Hayo, kalau kalian berani maju, tikoan telur busuk ini akan kuputuskan lehernya!"
Kawanan prajurit itu tertegun melongo Mereka hampir tak percaya akan gerakan yang dilakukan Huru Hara tadi.
"Aduh . . . . , " tikoan mengerang kasakitan, "Hai, prajurit, jangan maju!"
"Suruh prajuritmu itu saling mengikat tangan masing2," perintah Huru Hara.
"Lakukan, lekas," teriak tikoan yang tak tahan tulang lehernya dicengkeram tangan Huru Hara.
"Suruh mereka menunggu diluar dan jangan coba2 lari," perintah Huru Hara pula.
Setelah kedua belas prajurit itu berkumpul di halaman luar, barulah Huru Hara lepaskan cengkeramannya. .
"Bukankah engkau ini tikoan kota ini?"
"Ya."
"Mengapa engkau bersekongkol dengan orang Boan?"
"Ti . . . . aduh . . . . ya, ya, aku memang bersekongkol," akhirnya karena tak kuat menahan cengkeraman Huru Hara lagi, terpaksa tikoan itu mengaku.
"Tetapi aku dipaksa mereka. Kalau aku menolak mereka akan membunuh aku dan keluargaku . . . "
"Jangan takut, akulah yang akan menghadapi mereka. Tetapi aku mau tanya kepadamu. Engkau memang suka bekerja kepada kerajaan Boan atau setya kepada kerajaan Beng?"
"Kepada kerajaan Beng."
"Kalau begitu mengapa ia mandah dirimu dikuasai mereka. Bukankah sebagai tikoan engkau dapat mengerahkan tenaga rakyat untuk menangkap kaki tangan musuh itu?"
"Tetapi aku . . . aku . . . " tikoan itu tak dapat melanjutkan keterangannya.
"Bilang yang jelas!"
Tikoan itu menceritakan bahwa dirinya telah masuk perangkap, terlibat dalam hutang yang besar.
''Siapa yang menjeratmu?" tanya Huru Hara.
"Menurut keterangannya dia bernama Kwik Ong, seorang saudagar besar yang mondar mandir dari selatan ke utara. Bermula dia sering singgah kemari. Pada suatu hari dia memberi aku obat hitam. Katanya kalau obat itu diramu dengan tembakau dan dihisap, dapat menambah tenaga."
"Memang benar," tikoan melanjutkan ceritanya, "aku senang sekali menghisap barang cairan warna kitam yang dicampur dengan tembakau itu. Waktu menghisap aku merasa seperti melayang-layang ke suatu dunia yang indah. Dan keesokan harinya tenaga dan semangatku bertambah segar. Tetapi lama kelamaan kalau tak isap, aku merasa lemas."
"Tiap kali datang saudara Kwik Ong selalu meninggalkan satu botoL Tetapi akhirnya dia mengatakan kalau persediaannya habis. Kalau aku menginginkan, dia bisa mencarikan tetapi harganya mahal. Karena sudah terlanjur menghisap obat itu, daripada badanku lemas dan semangatku loyo, terpaksa aku membelinya. Bermula masih kuat saja tetapi lama-lama hartaku habis. Uang pajak rakyat juga kuludaskan. Mulai aku meminjam kepadanya."
"Lalu.?" tanya Huru Hara,
"Dia mulai menunjukkan warna. Dia mengancam akan membongkar rahasia hutangku apabila aku tak mau tunduk pada perintahnya.
"Apa yang diperintahkannya ?"
"Aku disuruh memerintahkan semua pegawai kantor tikoan cairan mengisap hitam itu."
"Apakah cairan itu ?"
"Candu, sejenis tanaman yang dapat melemahkan semangat dan tubuh orang."
"Dan engkau jalankan perintahnya ?"
"Apa boleh buat. Kini semua pegawai kantor tikoan sama mengisap candu. Tiap hari mereka mendapat jatah, dipotong gajih tiap bulannya. Kumudian orang itu
memerintahkan supaya aku mengeluarkan larangan, tiap penduduk laki2 tak boleh cukur rambut."
"Apa lagi ?" tanya Hutu Hara, "bagaimana dengan pernikahan Siau siocia ?"
"Memang ada orang yang hendak melamar, tetapi Giok Lan mengajukan syarat. Dia hanya mau menikah kepada pemuda yang dapat mengalahkannya dalam ilmu sastera."
"O."
"Sebenarnya sayembara itu akan dilangsungkan besok pergi tetapi tiba2 saudagar Kwik Ing datang dan mengatakan supaya sayembara itu dihapus karena Giok Lan akan diperisteri oleh seorang pangeran Boan."
"Siapa nama pangeran itu ?"
"Pangeran Barbak, saudara dari panglima besar Torgun."
"Hm," dengus Huru Hara, "dan engkau berikan ?"
"Apa dayaku lagi ? Kalau aku menolak, bukan saja aku dan anakbuahku tak mendapat jatah candu, juga rahasia hutangku akan dilaporkan pada tihu (residen)."
Tiba2 seorang pelayan perempuan berlari-lari mendaiangi dan menjerit-jerit, "Haya, loya, eel . .celak ..... celaka .. . ."
Tikoan terkejut, "Kenapa ?"
"Siocia ..... ," dia menunjuk ke arah dalam "siocia .. , gantung . . . diri .. . ."
"Hai !" tikoan menjerit sekuat-kuatnya terus loncat dan lari masuk.
Huru Hara mengikuti. Masuk kedalam sebuah ruang yang indah mereka melihat sesosok tubuh seorang gadis menggelantung pada tiang.
Huru Hara loncat dan menabas tali yang dipergunakan nona itu untuk menjirat leheruya.
"Giok Lan .. . Lan . . . mengapa engkau .. .. ," tikoan menjerit dan menubruk puterinya. Pada saat itu isteri tikoan juga masuk dan terus menjerit memeluk puterinya.
Huru Hara memeriksa pergelangan tangan nona itu, "Jangan menangis, Anakmu masih hidup......"
Dia menyiak tikoan dan isterinya kesamping lalu mengambil sebutir pil Cian lian-hay-to-som' (buah som berumur seribu tahun yang tumbuh di dasar laut. — Baca : Pendekar Boon) dan dimasukkan kedalam mulut Giok Lan.
Tetapi tubuh nona itu sudah dingin dan kaku. Bibirnya mengatup keras. Terpaksa Huru Hara menekan mulut nona itu supaya terbuka. Setelah memasukkan pil, dia meniupnya.
Ah, memang lupa sudah Huru Hara aka segala malu dan sopan santun. Demi menolong jiwa seorang nona, dia terpaksa melekatkan mulut ke bibir nona untuk meniup pil itu supaya masuk kedalam kerongkongan. Dia minta segelas air dan agar pil dapat mengalir masuk, juga terpaksa ia semburkan dengan mulut.
Tikoan suami isteri dan bujang2 melihat dan mengikuti cara Huru Hara ini mengobati Siau siocia. Mereka berdebar-debar menunggu hasilnya.
Lebih kurang sepuluh menit kemudian, tiba2 muka Giok Lan yang sudah pucat lesi seperti mayat dan tubuhnya yang sudah kaku itu, perlahan-lahan tampak tergerak-gerak dan keluh terdengar mengerang pelahan.
"Lan, anakku . . . . ," isteri tikoan terus loncat seraya memeluk puterinya.
"Ma, apakah aku masih hidup ?" kata Siau Giok Lan dengan suara lemah,
"Engkau masih hidup, Lan. Ah, mengapa engkau sampai hati hendak meninggal mama ?"
Beberapa tetes air mata menitik keluar dari pelupuk mata gadis itu, "Ma. maafkan aku . . . ."
"Engkau tak salah Lan. Ayahmulah yang menjadi gara2. O, Thian, sukar engkau tertolong," kemudian nyonya itu menghaturkan terima kasih kepada Huru Hara.
"Hujin, silakan bangun." kata Huru Hara melihat nyonya tikoan itu berjongkok memberi hormat dihadapannya," aku hanya melakukan kewajibanku saja untuk menolong sesamanya. Tentulah belum takdirnya siocia harus meninggal. Tetapi mengapa siocia sampai mengambil keputusan sependek itu ?"
"Ayahnya memaksa dia hendak dikawinkan dengan seorang pangeran Boan dan Lan tidak mau. Dia mengatakan lebih baik mati daripada disentuh orang Boan," kata isteri tikoan.
"Jangan salah faham, hujin," kata tikoan, "aku terpaksa berbuat begitu demi menyelamatkan keluarga kita semua. Lan. maafkan ayahmu. Aku merasa bersalah telah mencelakai keluarga kita."
"Tidak, yah. ayah tidak bersalah. Akulah yang tersalah karena tidak berbakti kepada ayah dan mama , .. "
"Sudahlah, Siau tikoan dan nona," kata Huru Hata, "yang penting setelah tahu kesalahan, sekarang kita harus berdaya untuk menghadapi bahaya yang mengancam."
"Hohan." kata Sian tikoan, "aku sudah tak berdaya lagi. Kuminta bantuan hohan untuk menolong kami."
"Kapan pernikahan itu akan dilangsungkan ?" tanya Baru Hara.
"Mereka minta lebih cepat lebih baik. Dan aku minta tempo untuk mencari hari yang baik."
"O, kalau begitu mereka akan datang lagi kemari ?"
"Ya."
"Kapan ?"
"Besok pagi mereka akan datang kemari meminta tanggal yang kuputuskan."
"Baik," kata Hutu Hara, "tikoan boleh memberi alasan begini. Kesatu, mengingat suasana negeri yang senang menghadapi peperangan, Setiap waktu keadaan bisa berobah dan tak menentu. Kedua, agar jangan menimbulkan kecurigaan rakyat bahwa tikoan bermenantukan pangeran Boan, maka baiklah tikoan memutuskan saja. besok pagi akan menyerahkan mempelai perempuan supaya dibawa- serta oleh utusan mereka dan supaya upacara pernikahan dilangsungkan di tempat pangeran Boan itu."
"Ah, tetapi hohan," seru tikoan, "dengan begitu apakah tidak kasihan kepada Giok Lan? Bukankah dia akan seorang diri saja disana?"
"Siau tikoan," kata Huru Hara, "Siau siocia tetap berada disini tak perlu ikut mereka."
"Eh, tetapi bukankah engkau mengatakan kalau mempelai perempuan itu akan disertakan utusan mereka?"
"Benar," kata Huru Hara, "tetapi mempelai perempuan itu bukan Siau siocia tetapi lain orang saja."
"O," tikoan terkejut, "tetapi siapakah yang mau jadi pengganti Giok Lan?"
"Nanti malam akan kupikirkan," kata Huru Hara, "tetapi Sian tikoan kuatir. Segala apa aku yang bertanggung iawab."
"Tidakkah mereka akan marah dan melakukan pembalasan kepadaku?"
"Kapankah saudara yang menamakan diri sebagai Kwik Ong itu datang kemari?"
"Kalau tak salah, besok pagi juga."
"Bagus," seru Huru Hara, "serahkan orang itu kepadaku."
Tikoan minta malam itu supaya Huru Hara bermalam di rumahnya dan Huru Harapun menerimanya,
Dalam kesempatan omong2 pada malam itu Huru Hara menganjurkan agar tikoan menghentikan kebiasaannya menghisap candu.
"Wah, susah," keluh tikoan, "aku sudah terlanjur menghisap benda itu. Kalau sehari tidak menghisap, badan rasanya sakit semua, tulang belulang seperti mau copot, kepala pusing dan tenaga lemas."
Huru Hara mengusulkan supaya tikoan makan obat kuat saja, "Memang dalam sehari dua hari tentu akan merasa lemas. Tetapi beberapa hari kemudian tentu sudah akan pulih, seperti biasa lagi. Memang, tentu akan menderita kesakitan tetapi sakit sehari dua hari rasanya tak apa asal sembuh."
"Candu itu," Huru Hara melanjutkan pula, "jelas akan merusak tubuh dan melemahkan jiwa. Musuh menggunakan alat itu untuk menghancurkan semangat dan tubuh kita."
Demikian pada keesokan harinya, saudagar Kwik Ong itu datang juga. Tikoan mengajak Huru Hara untuk mnenyambut.
"Siau tikoan, bagaimana? Apakah permintaan bertambah?" tanya Kwik Ong.
"Ya, selain pegawai kantor tikoan sekarang beberapa penduduk sudah mulai mengikuti.
Mereka suka sekali," kata tikoar.
"Bagus, kasih saja," seru Kwik Ong, "untuk yang baru mulai, boleh awal dengan harga murah. Dan untuk yang belum ikut tetapi berminat, boleh kasih secara gratis. Biar seluruh penduduk kota ini sama ikut."
"Bagaimana kalau aku ikut menikmati?" tiba2 Huru Hara menyelutuk.
"O, anda juga ingin?"
Huru Hara mengiakan.
"Baik, akan kuberi anda dengan cuma2," Kwik Oag terus mengeluarkan sebuah botol kecil berisi benda lunak warna hitam, "kalau sudah merasakan benda ini, anda tentu akan merasa senang sekali."
Huru Hara hanya mendengus.
"Berapa tail benda itu yang anda bawa?" tanya Huru Hara."
"Cukup banyak."
"Apakah aku boleh melihatnya?"
Kwik Ong mengangguk. Dan mengeluarkan sebuah botol besar dari dalam tas, "Walaupun hanya sekian tetapi harganya bukan main. Cukupkah unug saudara untuk membelinya?"
"Bolehkah aku melihatnya?"
Kwik Ong mengiakan lalu menyerahkan botol itu kepada Huru Hara.,
"Apakah benda ini?"
"Candu,, berasal dari negeri Thian-tia ( India )," kata. Kwik Ong seraya mengulurkan tangan meminta kembali. Tetapi Huru Hara tak mau mengembalikan.
"Berapa harganya?"
"Dua ribu tail perak."
"Baik, akan kubeli semua." kata Huru Hara, "tetapi sayang aku tak bawa uang. Bagaimana kalau kupinjam dulu."
Kwik Ong gelengkan kepala, "Ah, maaf, aku tak biasa meminjamkan."
Karena Huru Hara tetap tak mau memberikan, Kwik Ong berseru, "Eh, apa maumu tak mau mengembalikan barang itu?"
"Akan kubeli semua, tapi aku tak punya uang. Orang she Kwik, sudah cukup banyak engkau meracuni penduduk dengan benda semacam ini. Mengapa engkau begitu pelit tak mau memberi pinjam kepadaku?"
",jangan niain2," bentak Kwik Ong, "berikan botol itu kepadaku atau . . . . "
"Tidak!" sahut Huru Hara.
Kwik Ong terus menyambar bahu Huru Hara dan terus dicengkeramnya tetapi tiba2 pemuda itu ayunkan kakinya yang tepat mengenai perut Kwik Ong.
Auhhhh . • Kwik Ong menjerit ketika tubuhnya mencelat sampai ke pintu, brak ...... kepalanya membentur daun pintu sehingga berdarah.
"Bangun," Huru Hara mencengkeram bahu Kwik Ong, diangkat bangun. Tetapi pada saat pula Kwik Ong melepaskan sebuah tonjokan ke dada Huru Hara, duk .....
Huru Hara meringis menahan sakit tetapi pada saat itu juga. Kwik Ongpun menjerit ngeri dan bergelimpangan di lantai, menjerit-jerit histeris. "Engkau kejam, bunuhlah aku, kayo, bunuhlah aku!"
Apa yang terjadi ?
Ternyata waktu Kwik Ong memukul dada Huru Hara, karena terkejut kesakitan, tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang memancar dari tubuh Huru Hara, mengalir ke lengan dan berhamburan menumpah pada kedua tangannya yang sedang mencengkeram balu Kwik Ong. Tak ampun lagi, tulang pi-pehkut bahu Kwik Ong soperti diremas hancur.
Tulang pi-peh-kut, merupakan sumber kekuatan manusia. Tulang itu remuk, lenyaplah tenaga kepandaian Kwik Ong. Kini dia bukan Kwik Ong seperti beberapa detik yang lalu, seorang jago silat yang menyamar sebagai saudagar candu. Melainkan seorang Kwik Ong yang sudah hilang tenaga kepandaiannya, baik tenaga-dalam maupun. tenaga-luarnya. Itulah sebabnya mengapa dia meraung-raung seperti singa kejeblus dalam perangkap
"Mengapa engkau seperti orang gila begitu," bentak Huru Hara.
"Bunuhlah aku! Bunuhlah aku ! teriak Kwik Ong.
"Mengapa harus begitu ?"
"Jangan berlagak pilon," teriak Kwik Ong "engkau telah menghancurkan seluruh tenaga kepandaianku, perlu apa aku hidup lagi ?"
"O, engkau kehilangan tenaga kepandaianmu ? Mengapa ?" tanya Huru Hara,
"Jangan sombong !" teriak Kwik Ong dengan ketus, "engkau telah menghancurkan tulang pipehutku, masih berlagak pilon. Bunuhlah aku, lekas!"
Kini Huru Hara baru menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata karena kaget dan kesakitan menderita pukulan Kwik Ong tadi, dia telah memancarkan tenaga sakti dan menccngkeram keras bahu Kwik Ong sehingga tulangnya remuk.
"Hm, itu masih ringan bagi hukuman seorang manusia yang telah merusak rakyat," kata Huru Hara, "apakah engkau masih belum bertobat !"
"Sudahlah jangan banyak mulut ! Hayo, bunuh aku. Kwik Ong juga seorang lelaki yang tak takut mati. Daripada hidup menjadi manusia tak berguna lebih baik aku mati saja !"
Huru Hara mendengus.
"Hm, memang berani mati itu suatu sikap yang hebat. Tetapi berani mati ada dua," kata Huru Hara, "seperti engkau, berani mati untuk menebus dosa dari suatu perbuatan terkutuk sama dengan berani mati untuk melakukan kejahatan. Berani yang begitu, bukanlah berani mati yang ksatrya tetapi berani mati yang pengccut!"
"Sedang berani mati untuk membela negara dan bangsa, membela keadilan dan kebenaran, adalah berani mati yang luhur. Berani mati yang tepat dan benar ! Maka janganlah mentang2 bisa buka bacot mengatakan berani mati. Karena
sikap mu berani mati itu bukanlah berani mati yang luhur tetapi berani mati yang pengecut !"
Kwik Ong tertegun tak dapat menjawab.
"Ah, biar. Aku sudah terlanjur jahat. Terserah orang mau mengatakan apa saja, toh akhirnya aku harus dibunuh lekas!, jangan banyak mulut !" teriaknya.
Huru Hara tertawa, "Orang bisa salah dan tak selalu benar. Tetapi yang penting, setelah tahu salah lalu menebus dosa untuk memperbaiki, itulah yang terpuji. Tetapi kalau dengan sikapmu, salah biar salah, itu bukan pandangan manusia tetapi pikiran bangsa binatang !"
Merah muka Kwik Ong mendengar dampratan yang tajam itu,'
"Sekarang engkau sudah cacat, Engkau merasa malu untuk hidup. Tetapi cobalah jawab, mengapa malu ? Adalah seorang cacat itu harus malu dan merasa tak layak hidup lagi ? Bukankah di dunia ini terdapat banyak sekali orang cacat bahkan yang jauh lebih menderita dari engkau dan toh mereka tetap bergairah untuk hidup ?"
Kwik Ong terpaku bisu.
"Yang dikata ma1u adalah apabila kita berbuat jahat. berhianat dan mencelakai rakyat, merugikan bangsa dan negara. Tetapi kalau hanya cacat, bukanlah suatu hal yang harus dan layak dibuat malu. Cacat tubuh asal jangan cacat batinnya. Lebih baik engkau sekarang cacat tetapi men jadi rakyat baik-baik daripada engkau sakti tetapi menjadi pengrusak bangsa !" kata Huru Hara pula.
Kwik Oag menghela napas, "Tetapi aku sudah terlanjur berlumuran dosa . .."
"Tidak ada kata terlanjur, bagi perjalanan hidup seorang manusia. Yang lampau, biarlah lain dan kuburkan saja. Sekarang engkau baru memulai lembaran kehidupanmu yang baru dengan baik. Eh, apakah kesalahan yang telah engkau lakukan ? Siapakah yang suruh engkau memperdagangkan candu kepaka rakyat itu ?"
Kwik Ong menunjuk dan beberapa saat kemudian dia baru membuka mulut dengan perlahan, "Aku memang disuruh orang untuk mengedarkan candu itu kepada rakyat di daerah2 kerajaan Beng . .. "
"Siapa yang suruh?"
"Seorang yang katanya bekerja pada kerajaan Ceng."
"Namanya?"
"Dia hanya menyebut she-nya yalah orang she Ko. Dia mengatakan cukup panggil dia dengan sebutan Ko siucay."
"Orang she Ko? Seorang sasterawan?" Huru Hara menegas terkejut.
"Ya."
"Ah, lagi2 bajingan itu," seru Huru Hara geram, kalau bertemu lagi, dia pasti takkan kuberi ampun."
"Siapakah dia?"
"Dia adalah Ko Cay Seng, tangan kanan dari panglima besar kerajaan Ceng yang bernama Torgun. Dialah yang ditugaskan untuk menyelundup kedalam wilayah kita dan mengacau, menyebarkan racun dan menghasut."
Kwik Oag mengangguk.
"Bagaimana engkau dapat mengenalnya?"
"Aku dulu seorang benggolan penjahat yang termasyhur di Su-jwan. Entah bagaImana dia tertarik kepadaku dan
menghubungi aku. Dia mengatakan kepadaku, kalau aku mau bekerja kepadanya, kelak aku akan mendapat pangkat tinggi. Dan tak lain aku hanya disuruh menyaru sebagai saudagar untuk mengedarkan candu ke segenap wilayah yang masih dikuasai kerajaan Beng.
"Apakah hal itu sudah berjalan lama dan sudah meluas kemana-mana ?"
"Untung masih belum masuk kedaerah barat dan selatan. Yang kuhubungi kebanyakan adalah para pembesar sipil maupun militer. Karena apabila pembesar itu sudah jatuh dalam jiratan candu mudahlah menguasai supaya menurut perintahku."
"Apakah sekarang engkau sudah sadar bahwa perbuatanmu itu tidak menguntungkan rakyat dan akhirnya menimpah pada dirimu Lendiri ?"
"Ya. aku memang merasa salah. Setelah kurenungkan, banyak sekali korban2 yang berjatuhan dalam cengkereman candu itu."
"Bagus, karena sudah menyadari kesalahan, engkau sudah kembali ke jalan yang benar. Aku percaya kepadamu. Jangan kuatir sahabat," kata Huru Hara, "walaupun engkau sudah tak memiliki kepandaian silat lagi tetapi engkau masih dapat berguna dan dapat menyumbangkan tenagamu untuk negara."
"Ah, engkau tak tahu perasaanku," Kwik Ong menghela napas, "bagi seorang persilatan, ilmu kepandaian itu adalah darah dagingnya. Kalau ilmusilatnya hilang, dia sudah seperti karung nasi, manusia yang hidup hanya untuk makn."
"Engkau salah," sahut Huru Hara. Seperti telah kukatakan, tiada barang yang tiada berguna dalam dunia.
Begitu juga manusia. Setiap manusia tentu berguna. Hanya soalnya, tergantung dari manusia itu sendiri. Apakah dia mau berguna atau tidak."
"Ah, tetapi jelas manusia seperti diriku sekarang ini sudah tak mungkin bisa berguna lagi."
"Baiklah," kata Huru Hara, "kalau engkau memang masih dirundung kecewa dan putus asa, silakan engkau hidup menurut kehendakmu. Akan kuberimu pil yang mudah-mudahan dapat mengembalikan daya kekuatanmu."
"Pil apakah itu ?" tanya Kwik Ong waktu Huru Hata memberi tiga butit pil warna merah.
"Inilah bauh som yang tumbuh di dasar laut dan berumur seribu tahun. Khasiatnya dapat mengembalikan tenaga yang hilang. Adakah engkau kelak dapat sembuh kembali, tergantung dari usahamu mengobati lukamu itu. Hanya pesanku, apabila engkau beruntung dapat sembuh, janganlah engkau ulangi lagi perbuatanmu yang lalu."
Demikian Kwik Ong setelah menerima tiga butir som Cian-lian-hay-to-som lalu pamit, tetapi Huru Hara mencegahnya, "Ada satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu. Apabila engkau tahu bahwa candu itu merupakan obat yang merusak tubuh dan jiwa orang, tentulah engkau tahu bagaimana cara menyembuhkannya."
"Sebenarnya tak ada obat yang dapat menyembuhkan ketagihan candu itu. Tetapi aku mempunyai resep ramuan obat yang dapat mengurangi rasa ketagihan itu. Yang penting harus timbul dari kemauan dan kekerasan hati orang tersangkut untuk menghentikan kebiasaan menghisap candu."
Huru Hara minta kertas dan alat tulis kepada-tikoan dan diberikan kepada Kwik Ong. Resep itu di berikan kepada
tikoan. Setelah Kwik Ong pergi, Huru Hara minta kepada tikoan untuk membuat pil ramuan menurut resep itu secara besar-besaran dan diberikan kepada mereka yang telah menderita sebagai korban penghisap candu.
Setelah itu tikoan menanyakan pendapat Huru Hara tentang cara menghadapi utusan dari pangeran Barbak yang hendak meminang puterinya,
"Biarlah aku yang menyaru sebagai Siau socia . . . . "
"Apa ?" tikoan terkejut, "engkau hendak menyaru sebagai mempelai perempuan ? Ah, tidak !"
"Mengapa ?" tanya Huru Hara.
"Itu berbahaya sekali," seru tikoan. "Pangeran Boan itu tentu tinggal di markas yang dijaga ribuan prajurit. Bagaimana engkau dapal meloloskan diri apabila pangeran Boan itu tahu kalau mempelai wanitanya palsu !"
"Sian tikoan," kata Huru Hara, "memang segala hal itu tentu mengandung bahaya. Tetapi pernah kudengar orang berkata: "kalau tak berani masuk ke sarang harimau bagaimana akan mendapat anak harimau? Sekarang kurasakan kata2 itu memang benar. Kalau aku tak berani menempuh bahaya masuk ke dalam markas mereka, bagaimana aku dapat menculik pangeran itu ?"
"Hah ? Menculik ?" tikoan makin tercengang.
"Aku mempunyai rencana yang bagus," menerangkan Huru Hara, "kalau aku dapat menculik pangeran Boan untuk kujadikan sandera, akan kubawa dia kepada Su Ga Hwat tayjin untuk memaksa pasukan Ceng mundur."
"O," seru tikoan, "rencana itu memang hebat tetapi ..... tetapi ah, tidak mungkin, "tikoan gelengkan kepala," engkau
hanya seorang diri bagaimana engkau mampu lolos dari markas mereka dengan membawa pangeran itu ?"
Huru Hara mengangguk, "Terima kasih atas perhatian tikoan. Tetapi aku dapat melihat gelagat. Kalau sekiranya gagal, aku segera akan meloloskan diri."
Siau tikoan termenung.
"Tetapi bagaimanapun juga, aku harus berhasil. Kalau tak dapat menculiknya, pangeran Boan itu lebih baik kubunuh saja," kata Huru Hara, "dalam hal ini harap tikoan segera bersiap2."
"Maksudmu ?"
"Kerahkan seluruh penduduk, bentuklah barisan pertahanan kota. Karena kemungkinan musuh tentu mendendam apabila Barbak bisa terculik atau terbunuh. Mereka tentu akan menumpahkan kemarahannya kepada tikoan."
Siau tikoan menghela napas, "Aku sudah tua, kalau harus mati dalam peperangan itu tak mengapa. Hanya Giok Lan...."
"Ayah, jangan pikirankan diriku. Saat ini negara sedang diserang musuh, Kita harus mementingkan keselamatan negara dan rakyat dulu. Soal diri Giok Lan, serahkan saja kepada Thian. Bukan hanya keluarga kita yang menderita nasib begitu tetapi ratusan bahkan ratusan ribu keluarga bangsa kita yang menderita nasab mengenaskan."
"Bagus, siocia, "kata Huru Hara, "memang dalam perjuangan membela negara itu kita dituntut untuk memberikan pengorbanan apa saja."
Huru Hara lalu mendesak kepada tikoan agar dirinya segera dipersiapkan sebagai mempelai wanita.
Tikoanpun terpaksa meluluskan. 'Tak berapa lama orang melaporkan kepada tikoan bahwa utusan dari pangeran Barbak telah natang.
Ternyata utusan itu terdiri dari lima orang yang menyaru sebagai pedagang. Memang kota Tong-kwan masih termasuk wilayah yang berada dalam kekuasaan kerajaan Beng. Mereka masih takut kalau ketahuan dan ditangkap.
Mereka membawa kuda yang mengangkut duabelas peti barang2 bingkisan untuk calon mempelai. Dan tikoan dengan sukacita menerima kedatangan mereka.
Seperti yang telah direncanakan dengan Huru Hara maka tikoan mengutarakan bahwa hari itu juga mempelai perempuan supaya dibawa ke-tempat pangeran Barbak.
"Apabila pernikahan dilangsungkan disini," kata tikoan memberi alasan," tentu akan menimbulkan kegemparan orang dan tentu aku akan di tangkap oleh pemerintah Beng."
"Benar," kata orang yang mengepalai utusan pangeran Barbak.
"Kedua kalinya," kata tikoan pula, "suasana dewasa ini mencemaskan sekali. Keadaan setiap waktu berubah dan nasib orang tak menentu. Maka agar pernikahan itu jangan sampai gagal, lebih baik segera saja dilangsungkan ditempat pangeran Barbak."
Alasan itu memang tepat dan utusan itupun menyetujui, "Kapan akan berangkat ?" tanyanya.
"Nanti malam saja, agar tidak manarik perhatian orang," jawab tikoan.
Begitulah singkatnya, pada malam itu rombongan utusan pangeran Barbak membawa mempelai wanita atau nona
Giok Lan, berangkat meninggalkan kota Tong-kwan menuju ke markas kediaman pangeran Barbak.
Kepala utusan heran mengapa hanya mempelai wanita saja tanpa pengantar dan pelayan. Tikoan mengatakan, "Anakku memang aneh. Kemauannya tak dapat dibantah. Dia tak mau membawa pelayan karena dia sudah bertekad hendak menjadi isteri seorang pangeran Boan sungguh2. Disana dia nanti akan mengambil pelayan bangsa Boan biar lekas mengerti adat kebiasaan orang Boan."
"Wah, siocia sungguh bijaksana sekali," puji utusan itu.
Waktu naik tandu, karena wajah mempelai itu ditutup dengan kain cadar maka orang2 tak dapat melihatnya. Tetapi rombongan utusan itu percaya, tak mungkin tikoan berani main gila. Mereka tak pernah membayangkan kalau mempelai itu seorang nona palsu.
Waktu mau berangkat, tikoan memberi pesan kepada kepala utusan, "Giok Lan pesan, selama dalam perjalanan. kalian tak boleh mengganggunya, mengajak bicara. Bahkan tak perlu mengantar bidangan dan minuman, karena sudah membawa sendiri. Perhatikanlah !"
Kepala utusan mengiakan, Mereka horrnat sekali kepada tikoan karena bukankah tikoan itu akan menjadi mertua pangcran Barbak yang berkuasa besar ?
Malam mengadakan perjalanan memang suatu taktik bagus untuk menyimpan rahasia. Apalagi kepala utusan pangeran Barbak itu memang pandai sekali untuk menyembunyikan diri. Mereka mengenakan pakaian sebagai rombongan pedagang,
Selama itu tak terjadi suatu apa. Mereka sudah meninggalkan kota Tong-kwan dan mulai melintasi sebuah gunung, Diperhitungkan menjelang pagi mereka sudah tiba
di jalan besar yang terus menuju ke daerah yang sudah dikuasai pasukan Ceng. Selamat ...... pikir kepala rombongan utusan itu.
Saat itu sudah tengah malam dan setelah menuruni gunung mereka akan menyusur sebuah jalanan yang penuh dengan pepohonan.
Sekonyong-konyong mereka melihat beberapa gunduk benda hitam menghadang di tengah jalan. Rombongan utusan itupun terkejut. Pemimpinnya memberi isyarat supaya berhenti. Tetapi anehnya menunggu sampai beberapa waktu bayang hitam itu tetap tak bergerak.
"Tunggu," kata pimpinan yang terus mengeprak kudanya menghampiri ke muka, Tetapi dia terkejut sekali karena gunduk bayang2 hitam itu lenyap.
"Ah, mungkin mataku salah lihat," gerutu pimpinan itu seraya kembali ke rombongannya. Dia memberi perintah supaya perjalanan dilanjutkan,
Lebih kurang baru sepuluh menit berjalan, kembali sosok2 hitam itu muncul pula. Pemimpin rombongan itupun terkejut lagi.
"Bukankah kalian lihat di depan itu telah berbaris beberapa sosok hitam ?" tanyanya kepada anakbuahnya. Mereka mengiakan.
"Coba kalian dua orang ke sana," perintah pemimpin itu.
Dua orang anakbuahnya segera maju kearah bayang2 hitam itu. Tetapi merekapun terkejut seperti pimpinannya. Sosok2 hitam itu lenyap.
"Bayang2 hitam itu hilang," mereka melapor kepada pimpinannya.
"Baik, kita lanjutkan lagi," kata pimpinan rombangan.
Setengah jam kemudian kembali bayang2 hitam itu muncul. Kali ini pimpinan rombongan tak menghiraukan lagi dan tetap memerintahkan supaya berjalan terus.
"Ah ..... ," bukan kepalang kejut pimpinan rombongan dan anakbuahnya ketika melihat bahwa bayang2 itu masih tetap tegak di tengah jalan.
"Wanita ..... ," desis pimpinan rombongan itu ketika makin dekat.#
"Hai ....... !" beberapa anakbuah rombongan menjerit ketika melihat bahwa sosok2 tubuh dari wanita2 itu ternyata bukan perempuan biasa melainkan berwajah menyeramkan.
Ada yang giginya menonjol keluar. Ada yang hidungnya hilang. Ada yang kedua matanya besar dan melotot keluar. Ada pula yang lidahnya menjulur keluar, merah dan panjang. Lebih seram lagi, mereka itu bergerak-gerak dan mulutnya bercuit-cuit seperti bangsa siluman atau setan atau kuntilanak.
Mau tak mau bergidiklah buluroma rombongan urusan pangeran Barbak itu.
Pimpinan rombongan itu bernama Hok Sin, seorang jago silat yang terpandang di daerah timur. Dan sebenarnya anggauta anakbuahnya itu juga jago2 silat dari golongan hitam yang telah bekerja pada kerajaan Ceng.
Mereka menyamar sebagai saudagar dan pura2 seperti orang biasa. Namun ketika menghadapi pemandangan yang begitu menyeramkan, mereka pun gemetar juga.
"Ah, jangan takut. di dunia ini tak ada bangsa setan kuntilanak," seru Hok Sin yang bernyali besar. Dia segera menghunus pedang dan maju menghampiri.
"Hai, setan2 kuntilanak !" teriaknya, "mau apa engkau menghadang jalan ?"
Tiba2 kawanan setan perempuan itu tertawa meringkik, keras dan panjang sehingga menimbulkan suasana yang seram.
"Hai, berhenti !" teriak Hok Sin dengan marah, "lekas pergi sebelum aku turun tangan membasmi kalian !"
Namun kawanan kuntilanak itu tetap tertawa dan bahkan mereka lalu membentuk sebuah lingkaran lalu menari-nari .....
Entah darimana tiba2 terdengar bunyi harpa mengalun lagu, mengiringi tarian para kuntilanak itu.
Harpa mengalun lagu rendah, melengking-lengking bagai ratapan isteri yang menunggu sang suami atau kekasih pulang dari medan perang. Kemudian mengalun rendah bagaikan helaan napas dari dara yang bergadang dibawah sinar rembulan, menanti sang kekasih yang tak kunjung datang.
Pun kawanan kuntilanak yang sedang menari itu mulai mempertunjukkan tarian yang gila. Bagaikan lapisan kabur yang lapis demi lapis berorak dari gumpalan, maka mulailah kawanan kuntilanak itu membuangi pakaiannya sehingga pada saat irama harpa mendendang lagu yang penuh sentuhan rasa dari seorang dara yang mendambakan, curahan sang kekasih. merekapun menanggalkan pakaiannya yang terakhir. Saat itu mereka hanya tnengenakan kain cawat yang amat tipis ...
Hok Sin yang begitu garang, saat itu tegak seperti patung. Begitu juga keempat anakbuahnya. Mereka terlongong-longong melongo seperti orang bengong.
Tungngng .....Tiba2 harpa dipetik keras sekali sehingga menimbulkan ledakan suara mirip gunung meletus. Dan seketika itu rubuhlah kelima orang tersebut.
Tiba2 pula harpa berbunyi riuh macam derap berihu ekor kuda yang mencongklang di medan perang, Riuh rendah macam pertempuran di medan perang.
Hok Sm dan keempat anakbuahnya segera bergelimpangan kian kemari seperti orang yang sedang angot penyakit ayannya atau seperti itik yang disembelih lehernya, menggelepar kesana, menggelepar kesini ... .
Jalanan itu terbuat dari batu sehingga muka, tubuh dan pakaian mereka compang camping dan babak belur tak keruan. Darah mengucur dan berobahlah wajah mereka seperti setan bermuka me-rah.
Tringngng .....
Terdengar dering melengking yang tajam sekali seperti memecah telinga dan seketika melentinglah tubuh kelima orang itu ke udara lalu jatuh terbanting di tanah lagi dan tak berkutik selama-lamanya ......
Kawanan kuntilanak itu segera menghampiri ke kereta tempat mempelai perempuan namum mereka tak berani membuka kain tenda kereta. Mereka hanya tegak di sekeliling kereta itu, seperti menunggu komando.
Memang benar. Tak berapa lama dari balik gerumbul semak, muncultah seorang wanita berpakaian hitam. Mukanya tertutup kain cadar hitam. Pada pinggangnya terselip sebatang seruling warna kuning, mirip emas.
"Bagaimana ?" tegurnya dengan nada yang kalm.
"Murid sekalian menunggu perintah suhu. Mempelainya masih berada dalam kereta," kata salah seorang kuntilanak.
"Baik, bukalah pintu kereta dan suruh mempelainya turun," kata wanita bercadar hitam.
Pintu dibuka dan kuntilanak itu mempersilakan mempelai turun. Mempelai itupun menurut perintah,
"Siapa engkau ?" tegur wanita bercadar. Dia tak meilhat bagaimana wajah mempelai itu karena tertutup dengan kain cadar juga sebagaimana adat kebiasaan bagi seorang mempelai perempuan.
"Aku Siau Giok Lan, puteri tikoan dari kata Tong-kwan," kata mempelai wanita dengan suara kecil yang, dibuat- buat.
"Hendak kemana engkau
"Dibawa mereka ke tempat mempelai lelaki" 'sahut Giok Lan palsu atau Huru Hara.
"Siapa mempelai lelaki ?
"Pengeran Boan yang bernama Barbak."
Wanita bercadar itu mendesis kejut, "Seorang pangeran Boan ?"
"Ya."
"Mengapa engkau mau menjadi isteri pangeran Boan ?"
"Hanya menuruti perintah ayah."
"Mengapa ayahmu menerima lamaran seorang Boan ?"
"Terpaksa," kata Huru Hata, karena diancam.
"Hm" dengus wanita bercadar itu pula, "tetapi apakah engkau sendiri suka menjadi isteri orang Boan ?"
"Siapa sudi !"
'"Mengapa engkau mau dibawa mereka ?"
"Akan kubunuh pangeran Boan itu."
"Apa? Engkau hendak membunuh pangeran Boan itu ?"
"Ya."
"Apakah engkau tak takut dibunuh mereka?"
"Aku sudah bersiap mengorbankan jiwa. Kalau perlu aku akan bunuh diri."
Wanita bercadar itu terkejut. Bagaimana kerut wajahnya memang tak kelihatan tetapi rupanya dia kagum. Hal itu terbukti dia mengangguk-angguk kepala.
"Baik, jika begitu, silakan engkau pulang sa ja. Aku takkan mengganggumu." katanya.
"Tidak," sahut Huru Hara, "jika aku pulang ayah tentu celaka. Pangeran Boan itu tentu akan mengetahui pembunuhan ini dan tentu akan mengirim orang untuk membunuh ayah."
"Lalu bagaimana maksudmu ?"
"Aku tetap akan ketempat pangeran Boan itu."
"Perlu apa ?"
"Membunuhnya. Dia adalah sumber dari bencana yang menimpa negara kita. Kalau dia masih hidup, rakyat kita tentu menderita."
Wanita bercadar itu geleng2 kepala, "Tidak, engkau salah. Memang dia termasuk sumber dari bancana yang kita rasakan ini. Tetapi bukan dia sendiri. Dia hanya salah seorang dari ribuan orang Boan yang hendak menjajah negara kita. Mati seorang Barbak, masih ada beribu-ribu Barbak yang tetap hendak menindas kita."
"Kita menang jumlah," bantah Huru Hara, "kalau setiap wanita tukar dengan jiwa seorang Boan, kita tentu dapat meludaskan mereka."
Wanita bercadar itu tertawa lirih, "Itu kemauaumu. Tetapi apakah mereda begitu bodoh akan menurut kemauanmu ? Sudahlah, jangan ngelantur. Engkau mau ke tempat pangeran Boan itu, tetapi mana pengantarmu ? Bukankah kelima orang itu sudah mampus semua ?"
Huru Hata kerutkan kening. Memang tempo pengawal tentu saja akan menimbulkan hal amat lucu. Apakah di dunia ini ada seorang mempelai wanita yang datang seorang diri ke rumah mempelai pria ?
"Lalu bagaimana baiknya aku harus bertindak ?" Huru Hara seperti seorang gadis yang kebingungan.
"Apakah engkau mau ikut aku ?" tanya wanita bercadar itu.
"Siapa engkau ? Sebelum aku tahu siapa dirimu, aku tak dapat memberi keputusan," kata Huru Hara.
"Aku adalah wanita ganas yang di juluki dengan nama Kim-tiok Lo-sat atau Dewi-laknat Seruling emas."
"O," Huru Hara terkejut walaupun ia belum pernah mendengar nama itu, "lalu siapakah perempuan2 yang berwajah seram ini ?"
"Mereka adalah barisan Kuntilanak, anakbuahku yang setya."
"Kuntilanak ? Apa itu kuntilanak ?"
"Kuntilanak adalah sejenis setan perempuan yang suka mengganggu kaum lelaki .."
"O. apakah kalian suka mengganggu lelaki?" Huru Hara terkejut pula.
"Memang begitulah tujuan dari gerombolan Kuntilanak yang kupimpin ini."
"Aneh," gumam Huru Hara," mengapa engkau membenci kaum lelaki ?"
"Karena lelaki itu manusia yang gemar menipu dan merusak wanita. Kita sebagai wanita harus jangan mau diperlakukan begitu. Oleh karena itu kudirikan suatu himpunan dari para wanita yang mempunyai dendam sakit hati kepada orang lelaki."
"Tetapi kan tidak semua lelaki itu tentu jahat, "bantah Huru Hara," ada juga lelaki yang baik malah perempuannya yang jahat"
"Sudah tentu dalam bertindak kami harus hati2. Sebelumnya kami tentu akan menyelidiki lebih dulu lelaki itu jahat atau baik. Kalau jahat, tentu kita ganyang tetapi kalau baik takkan kita ganggu. Pun terhadap wanita yang jahat yang suka mempermainkan lelaki, yang berhianat terhadap suaminya, juga akan kami lenyapkan.
Huru Hara kerutkan dahi. Diam2 ia terkejut. Aneh memang dunia ini. Penuh dengan segala macam manusia dan peristiwa.
"Aku mau ikut kedalam gerombolanmu tetapi ada satu syaratnya," kata Huru Hara.
"Soal memusuhi kaum lelaki, memang tidak apa. Tetapi ingat, saat ini negara sedang dalam peperangan. Kalau engkau mengganyang setiap lelaki, bukankah nanti negara kita akan kehabisan orang lelaki untuk mengangkat senjata melawan musuh. Syaratku adalah, hentikan dulu perbuatan balas dendam terhadap kaum lelaki bangsa kita. Tujukah tindakanmu itu terhadap setiap lelaki bangsa Boan. Tumpaslah setiap prajurit Boan dan kaki tangannya !"
Wanita bercadar itu mengangguk, katanya„ "Usulmu itu memang pantas. Baiklah, kuterima syaratmu itu. Lalu bagaimana dengan beberapa budak2 Boan yang mati itu."
"Ya, memang harus dipikirkan," kata Huru Hara, "aku ada permintaan lagi. Maukah engkau meluluskan ?"
"Apa ?"
"Aku hendak kembali ke ayah untuk melaporkan kejadian disini. Agar ayah dapat bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan orang2 Boan akan marah kepadanya. Yang paling baik, supaya ada akal untuk mengalihkan kemarahan pangeran Boan itu."
"Maksudtnu ?"
"Bagaimana caranya supaya apabila orang2 Boan datang kemari dan melihat mayat2 orang mereka, mereka tahu kalau aku telah dirampas orang. O, ya. bagaimana kalau kukatakan bahwa mempelai perempuan telah dirampas kawanan penyamun dan pengiring-pengiringnya dibunuh ?"
"Bagus," seru wanita bercadar itu," tetapi bagaimana cara mengatakan hal itu kepada mereka ?"#
"Ya, benar," seru wanita bercadar atau Dewi Seruling Emas pula, "akan kutinggalkan surat pada mayat mereka agar apabila kawan mereka datang akan tahu duduk perkaranya."
Huru Hara setuju,
"Lalu apakah engkau idinkan aku pulang dulu untuk memberi kabar kepada ayah ?" tanyanya.
"Sebaiknya memang engkau kembali lagi kepada ayahmu. Namun kalau engkau ingin bergabung kepada gerombolanku, akupun akan menerimamu," kata Dewi Seruling Emas.
"Bagaimana aku dapat mencari tempatmu," tanya Huru Hata.
"Seluas berpuluh Ii dari hutan ini adalah daerah kekuasaanku, Setiap saat engkau datang, anakbuahku tentu akan menyambutmu."
"Baik," kata Huru Hara lalu mengucapkan terima kasih dan pamitan.
"Tunggu!" tiba2' Dewi Seruling Emas berseru ketika Huru Hara hendak naik ke kereta.
"Kenapa ?"
"Ada sesuatu yang aneh pada dirimu ..".  

Blo'on Cari JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang