Seperti kematian yang merupakan rahasia alam yang tak mungkin dapat diketahui manusia, demikian pula dengan nasib orang.
Bun Lian Ing adalah puteri seorang wan-gwe ( hartawan ). Cantik dan mahir dalam ilmu sastera serta memetik harpa. Dia merupakan kebanggaan dari hartawan Bun dan merupakan * kembang ' dari karesidenan Kwan-ciu. Ayah-bundanya mencita-citakan agar puterinya itu kelak menjadi isteri dari pangeran kerajaan atau setidak-tidaknya orang yang berpangkat.
Memang tak ada orangtua yang tak menginginkan anaknya bahagia.
Tetapi nasib berkata lain. Gadis jelita itu telah menyerahkan hatinya kepada seorang pemuda miskin yang bernama Cu Ho San. Ho artinya sungai dan San artinya gunung. Ho San sungai dan gunung atau tanah air. Karena orang tani yang bodoh, ayahnya bingung memberi nama dan sekenanya saja dia menamakan puteranya itu Ho San.
Peristiwa perkenalan si jelita Lian Ing dengan Ho San hanya secara kebetulan saja. Yalah ketika bulan delapan tanggal limabelas, menurut adat naluri rakyat, maka pada
malam purnama itu, gadis pingitan diberi kebebasan untuk bersembahyang ke kelenteng.
Bahwa si kembang cantik Lian Ing pada malam itu akan mengunjungi kelenteng Hok-sin-bio, telah tersiar luas. Maka pada malam itu banyaklah pemuda2 hidung belang yang berbondong antri menunggu kedatangan Lian Ing.
Setelah selesai bersembahyang maka Lian Ing yang naik tandu dan dipikul oleh empat orang dan diantar oleh beberapa orang gajihan hartawan Bun segera meninggalkan kelenteng.
Dalam perjalanan pulang itu, mereka harus melalui sebuah jembatan. Tiba2 sekelompok pemuda yang dipimpin oleh seorang pemuda berpakaian indah, mencegat tandu.
"Berhenti," bentak salah seorang pemuda yang bertubuh kekar.
Sebagai seorang kaya, sudah tentu hartawan Bun juga memelihara beberapa jago untuk melindungi keluarganya. Pada malam itu salah seorang jago keluarga Bun yang bernama Ciu kausu, disuruh mengawal Lian Ing.
"Siapa kalian ini !" Ciu kausu serentak maju dan menggertak pemuda itu.
"O, engkau tukang pukul Bun wan-gwe, ya?" ejek pemuda itu. "dengarkan, nona yang didalam tandu ini akan kubawa."
"Boleh," sehut Ciu kausu, "asal enggau mampu melawan ini," ia acungkan tinjunya.
"Ha, ha, ha," pemuda itu tertawa, "aku justeru gemar makan benda seperti itu. Cobalah engkau layangkan kepadaku."
Ciu kausu terus menyerang orang itu. Selagi keduanya bertempur, rombongan pemuda yang lainnya segera menyerbu pengiring tandu. Terjadi baku hantam yang ramai. Tiba2 pemuda berpakaian indah tadi menghampiri tandu yang sudah diletakkan di tanah oleh para pemikulnya yang ikut terlibat dalam perkelahian.
"Nona. ikutlah aku," kata pemuda itu setelah membuka pintu tandu.
"Siapa engkau !" Lian Ing terkejut.
"Jangan takut, aku akan menolong nona," kata pemuda berpakaian indah itu.
Lian Ing bersangsi tetapi dengan cepat pemuda itu sudah menarik tangan Lian Ing terus dilarikan. Ciu Kausu terkejut dan hendak memburu tetapi dia tetap dilibat oleh lawannya.
Pemuda berpakaian indah itu menaikkan Lian Ing keatas kuda dan terus dilarikan. Lian Ing terkejut ketika mengetahui bahwa kuda itu tidak menuju kedalam kota melainkan lari ke luar kota.
"Hai, kemana kita ini?" seru Lian Ing.
"Nanti engkau tentu tahu sendiri."
Lian Ing hendak berontak tetapi begitu bahunya dipegang oleh pemuda itu, dia menjadi lemas tak dapat bergerak lagi.
Ternyata pemuda itu melarikan kudanya ke sebuah gunung. Dia seorang kepala rampok yang sering mengganas di kota2. Selain harta, pun wanita2 yang cantik juga diculiknya.
"Inilah tempat tinggal nona," katanya setelah membawa Lian Ing kedalam sebuh gedung.
"Ini bukan rumahku!" teriak Lian Ing.
"Tetapi sekarang akan menjadi rumah nona, karena nona akan menjadi isteriku!"
"Bangsat, siapa sudi menjadi iserimu!"
"Sudi atau tak sudi, itu bukan soal. Yang penting malam ini engkau beristirahat dulu dan besok malam akan menjadi nona pengantinku," kata pemuda itu seraya terus ngeloyor pergi.
Malam itu seorang bujang perempuan datang membawa hidangan. Dari bujang itu barulah Lian Ing mengetahui bahwa dirinya telah masuk kedalam sarang penyamun.
"Cici," kata Lian Ing kepada pelayan yang masih muda itu, "engkau seorang wanita dan aku pun juga. Tentunya engkau dapat merasakan betapa penderitaanku saat ini. Maukah engkau menolongku?"
Bujang itu kerutkan dahi, "Tetapi bagaimana caranya? Tak mungkin nona dapat keluar dari sarang ini."
Lian Ing melolos tusuk kundai dan diberikan kepada bujang itu, ''Cici, tusuk kundai ini sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya. Cukup untuk engkau makan seumur hidup. Kuberikan kepadamu sebagai tanda terima kasihku atas bantuanmu."
"Tetapi nona," pelayan itu gugup, "bagaimana aku dapat menolong nona?"
"Begini," Lian Ing membisiki beberapa patah kata dan bujang itupun mengangguk. Tak berapa lama mereka bertukar pakaian. Lian Ing memakai pakaian bujang itu dan bujang itu berganti memakai pakaiannya. Setelah tu si bujang disuruh minum arak dau tidur diatas ranjang.
"Jika besok kepala begal itu datang, katakan kalau semalam engkau telah kuloloh arak. sehingga mabuk.
Tahu2 waktu bangun, engkau tidur diatas ranjang. Dengan jawaban itu tanggung engkau takkan mendapat hukuman dari penjahat itu."
Setelah mendapat keterangan dari si bujang tentang sebuah jalan kecil di belakang gunung dapat menuju ke kaki gunung, Lian Ingpun segera lolos.
Menjelang pagi dia berhasil tiba dijalan yang menuju ke kota. Tetapi alangkah kejutnya ketika empat orang penunggang kuda mengejarnya. Ketika keempat penunggang kuda itu kendak menangkap Lian Ing, muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda itu hendak berburu ke hutan.
Pemuda itu menolong Lian Ing dan bertempur dengan keempat anakbuah penyamun. Pemuda itu babak belur dan kalah tetapi dia nekad melawan dan akhirnya dia berhasil memanah keempat, penunggang kuda itu sehingga mereka melarikan diri.
Dengan bantuan pemuda desa itu, akhirnya dapatlah Lian Ing pulang ke rumahnya. Hartawan Bun gembira sekali dan hendak memberi hadiah uang kepada pemuda itu. Tetapi pemuda itu menolak. Tertarik akan kejujurannya, hartawan Bun lalu memberinya pekerjaan sebagai kepala gudang.
Sejak itu terjalinlah hubungan asmara antara Lian Ing dan Ho San. Tetapi hal itu dilakukan secara sembunyi karena baik Lian Ing maupun Ho San sama2 menyadari bahwa hartawan Bun tentu takkan menyetujui pernikahan mereka.
Namun akhirnya terjadilah peristiwa yang menuntut keberanian mereka. Tihu melamar Lian Ing untuk dijadikan isteri puteranya dan sudah tentu hartawan Bun gembira
sekali menerimanya. Yang sedih dan bingung adalah Lian Ing dan Ho San.
Sebenarnya Ho San tahu diri tetapi Lian Ing mendesak agar pemuda itu berani bertanggung jawab untuk minggat dari rumahnya. Ho San tergugah semangatnya atas cinta Lian Ing Keduanya segera melarikan diri. Tihu dan hartawan Bun marah sekali. Tihu memerintahkan sepasukan prajurit untuk mengejar.
Dua bulan lamanya pengejaran itu dilakukan dan berhasillah mereka mengetahui tempat persembunyian kedua insan itu.
Ho San dapat ditangkap tetapi Lian Ing dapat melarikan diri bersembunyi disebuah gua. Dia tak mau kembali ke rumah orangtuanya karena merasa dirinya sudah menjadi isteri Ho San. Dan lagi diapun tak mau menikah dengan putera tihu yang kabarnya kurang sehat pikirannya.
Selama dua bulan bersama Ho San, keduanya telah sepakat untuk menjadi suami isteri sebagai pernyataan dari cinta mereka yang abadi. Selama dua bulan menjadi pengantin, itu mereka telah me nikmati hari2 yang bahagia dan sebagai hasilnya, Lian Ingpun mengandung benih dari Ho San. Itulah sebabnya maka ia bertekad tak mau pulang kerumah orang tuanya lagi.
Berbulan-bulan dia hidup sengsara dalam gua di tengah hutan belantara, sampai akhirnya dia ditemukan oleh seorang pemburu. Dia dibawa pulang ke rumah pemburu itu. Isteri si pemburupun amat sayang kepada Lian Ing dan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Tetapi baru beberapa bulan Lian Ing hidup tenang dan sempat melahirkan bayi seorang anak laki maka datanglah pula musibah baru.
Pada suatu hari bermunculan berpuluh prajurit kerajaan Beng di hutan itu. Ternyata mereka sedang mengiring seorang pangeran berburu. Melihat Lian Ing, mereka hendak mengganggu, untunglah sang pangeran itu datang dan marah. Ketika melihat seorang anak kecil berumur satu tahun, yalah anak dari Lian Ing, tertariklah hati pangeran itu. Sudah belasan tahun menikah, ia belum mendapat putera. Menurut seorang sinshe gwa-mia atau ahlinujum, pangeran itu harus memungut anak dulu baru kelak isterinya dapat melahirkan anak sendiri. Kalau memungut anak laki, kelak isterinya juga akan melahirkan anak laki. Kalau menginginkan anak perempuan, pangeran itu harus memungut bayi perempuan.
Teringat akan ramalan itu, ia terus mengambil anak laki dari Lian Ing. Sudah tentu Lian Ing meraung-raung menangis. Tetapi apa daya, kekuasaan pembesar daerah apalagi seorang pangeran. besar sekali. Lian Ing telah diberi uang seratus tail emas, Dan anaknyapun terus dibawa pangeran itu.
Lian Ing seperti orang gila. Dia serahkan uang itu kepada suami isteri pemburu dan dia sendiri terus minggat. Pikirannya seperti orang gila. Berbulan-bulan dia mengembara kemana-mana sampai akhirnya dia ditemu oleh seorang rahib dan dirawatnya. Ternyata rahib itu seorang yang sakti. Berkat rawatan dan nasehat2 yang tekun dari rahib itu, pelahan-lahan Lian Ing mendapat ketenangan lagi. Dia diangkat menjadi murid rahib itu. Selain ilmusilat, pun Lian Ing mendapat ajaran tentang kitab2 suci sehingga pikirannya makin tenang dan sadar akan perjalanan hidup manusia.
"Demikianlah saat itu Lian Ing mengakhiri ceritanya kepadaku," kata Hong-ho lojin kepada Sian Li.
"Dimanakah putera Bun siocia ? Apakah waktu puteranya dibawa pergi, Bun siocia tak menanyakan nama pangeran itu ?" tanya Stan Li.
"Sudah." sahut kakek berambut pulih itu, "tetapi pangeran itu pintar dan tak mau memberitahu namannya. Dia kuatir kelak Lian Ing mencari puterauya."
"Lalu bagaimana hubungan lo-jin dengan Bun siocia ?" tanya Sian Li pula.
"Setelah mendengarkan uraiannya yang panjang lebar tentang perjalanan hidup manusia, akhirnya aku memperoleh kesadaran juga. Aku rela melepaskan dia untuk melanjutkan pengabdiannya dalam biara. Namun aku merasa bahagia pada taat perpisahan yang berat itu."
"Mengapa ?" tanya Sian Li. "Dia telah memberiku sebuah mutiara yang amat berharga."
"Mutiara ? Dimanakah mutiara itu ?"
"Bukan mutiara benda melainkan sebuah mutiara sumpah hatinya. Lian Ing berkata ..." in-long, kita harus berani menerima kenyataan hidup seperti yang telah digariskan oleh karma hidup kita. Tetapi percayalah, inlong, walaupun sekarang aku tak dapat menjadi isterimu, kelak dalam penirisanku yang akan datang, aku akan selalu berada didampingmu, sekalipun andaikata aku ditakdirkan harus menjadi budakmu ..."
Kakek itu menengadah memandang cakrawala.
'"Cinta itu suatu pengorbanan. Orang yang menganggap Cinta itu suatu nafsu kemilikan, bukan Cinta yang murni tetapi Cinta egois. Cinta adalah perasaan jiwa, bukan nafsu raga. Memang suatu kebahagiaan tiada taranya apabila Cinta itu dapat terwujud dalam ikatan jiwa dan raga, jasmaniah dan rohaniah. Tetapi ada kalanya Cinta itu
mengalami rintangan, tak dapat terwujud dalam ikatan jasmaniah. Tetapi barang siapa menghayati akan hakekat dari Cinta murni yakni Cinta yang terpancar dari pancaran jiwa, segala rintangan dan segala kegagalan terwujudnya ikatan jasmaniah itu, tidakkah mengiringi kebahagiaan ikatan jiwa yang telah berpadu satu....."
"Benar," terdengar kakek itu melanjutkan celotehnya, "Lian Ing telah menyadarkan hatiku tentang arti Cinta yang murni. Dalam jiwanya akulah satu-satunya pria pujaannya. Dan dalam hatiku, dialah satu-satunya wanita yang kupuja. Barangsiapa yang menghayati akan keagungan Cinta, dia akan menemukan kebahagiaan jiwa ......."
Tercekat hati Sian Li mendengar kata2 kakek itu. Ada sesuatu yang menggelitik dalam hati sanubarinya.
"Benar, cinta itu memang suatu pengorbanan," tergetarlah desau bisik dalam hatinya.
Terdengar kakek itu menghela napas panjang.
Sian Li tersentak dari lamunannya, "Lalu bagaimana hubungan lo-jin dengan Bun siocia."
"Pada waktu itu dia menyerahkan sebuah kalung kepadaku," kata kakek tua, "dia mengatakan bahwa waktu lari dari rumah orangtuanya ia membawa sepasang kalung pusaka, pemberian ibunya. Kalung itu aneh sekali. Masing2 mempunyai bandul permata yang terbuat dari zamrud hijau dan merah. Zamrud hijau diukir dengan lukisan seekor burung Hong, demikian pula zamrud merah. Tetapi apabila sepasang kalung itu dilekatkan satu sama lain, maka berobahlah cahayanya. Bukan hijau, bukan merah tetapi putih cemerlang. Demikian pula kedua ukiran burung Hong itu ber-obah bentuknya menjadi burung Hong dan Liong ( naga ), lambang dari wanita cantik dan pria ksatrya .......... "
"O," desuh Sian Li terkejut.
"In-long," kata Lian Ing saat itu, "mungkin aku tiada sempat lagi untuk mencari putera kita itu. Maka kuserahkan kalung zamrud yang hijau ini kepadamu. Kalung zamrud merah kupakaikan pada puteramu. Kalung itu memancarkan lukisan Naga. Apabila engkau sempat mencarinya, kalung ini dapat engkau pergunakan untuk mengenal puteramu .......... "
"Apakah kalung itu masih lo-jin simpan?" tanya Sian Li.
Kakek itu mengangguk, "Nanti kalau kembali ke gua, akan kutunjukkan kepadamu."
Tiba2 terdengar suara orang merintih. Ternyata Bun Sui, putera jenderal Lau, sudah siuman dari pingsannya. Dia merasa tulang-tulangnya sakit semua.
"Engkau ....!" ia berteriak kaget demikian melihat Sian Li.
"Ya, jenderal Lau ayahmu, telah meminta bantuanku untuk mencari engkau," sahut Sian Li.
Bun Sui teringat akan peristiwa yang dialaminya beberapa waktu.
"Kami beramai-ramai telah mencarimu," kata Sian Li lebih lanjut, "termasuk Bok kongcu putera kemanakan dari mentri Su Go Hwat tayjin itu juga. Kemana saja engkau selama ini? Mengapa engkau bersama kaki tangan Ceng yang bersenjata sepasang pit-besi itu?"
Bun Sui menyadari bahwa yang dimaksud Sian Li tentulah Ko Cay Seng. Ia harus menyembunyikan hubungannya dengan Ko Cay Seng.
"Aku memang ditawan oleh pasukan Ceng, tetapi setelah menyadari aku ini putera jenderal Lau, dia orang yang
engkau katakan menggunakan senjata pit-besi itu, segera mengantarkan aku. Maksudnya dia memang hendak membebaskan aku," kata Bun Sui.
"Siapakah orang itu?"
"Dia bernama Ko Cay Seng, orang kepercayaan panglima besar Torgun dari kerajaan Ceng."
"Hm," desuh Sian Li yang teringat bahwa Ko Cay Seng itu pernah datang ke puncak Giok-li-nia untuk menangkap Blo'on.
"Jika demikian mari kita pulang," kata Sian Li.
"Siapakah lojin (orang tua) ini ?" tanya Bun Sui.
"Dia adalah.....," Sian Li berpaling memandang kakek itu,
"Hong-ho lo jin," sahut kakek itu," aneh, ternyata engkau anak seorang jenderal, Mengapa engkau berjalan bersama seorang kaki tangan ke-rajaan Ceng. Bukankah kerajaan Ceng itu musuh dari kerajaan Beng ?"
"Tadi sudah kukatakan bahwa aku telah di tangkap pasukan Ceng, kemudian setelah tahu siapa diriku, dia terus hendak mengantarkan aku pulang,..."
"Aneh, aneh" gumam Hong-ho lojin.
"Mengapa lo jin ?" seru Sian Li.
"Biasanya kait pancingku itu hanya mengait binatang, ikan maupun mahluk yang jahat dan salah. Kalau binatang yang baik dan mahluk yang jujur, kait itu tak mau memakannya."
"Ah," Sian Li terkejut mendengar keterangan itu. Diam2 ia heran dan hampir tak mempercayai kata2 orangtua itu.
"Memang jika belum tahu, orang tentu tukar mempercayai keteranganku itu," kata Hong-ho lojin, "tetapi semua rakyat dalam hutan ini tahu bahwa Ok-hong-tiau (pancing Angin-busuk ) hanya memancing mahluk yang jahat dan bersalah saja!"
"Ok-hong-tiau?" ulang Sian Li, "apakah itu nama pancing lo-jin?"
"Ya."
"Mengapa dinamakan begitu?"
"Setiap mahluk yang bergerak tentu akan menimbulkan getaran angin. Dan angin itupun akan bergelombang sampai jauh. Gelombang angin itulah yang akan menggetarkan kait Ok-hong-tiau. Jika angin itu berasal dari orang yang berhati busuk atau yang bersalah maka gelombangnya akan menimbulkan getaran keras pada kait. Dan kait itupun segera akan bergerak untuk mengait orang atau mahluk itu. Sebelum dapat menangkap mahluk itu, kait tetap akan memancarkan getar. Tetapi apabila angin itu berasal dari mahluk yang baik dan tidak berhati salah, kait pancing itupan tidak memancarkan getar apa2."
"Ah," kembali Sian Li mendesah. Nadanya seperti orang yang kurang percaya.
"Engkau tentu belum percaya, bukan?"
"Ah, tidak lo-jin, mana aku tak percaya?" buru2 Sian Li berkata,
"Jangan bohong," seru Hong-ho lojin, "aku bendak membuktikan tentang keteranganku mengenai pancing Ok-hong-thiau itu!"
"Aku akan memasang tali pancing kira2 dua ratus langkah dari tempat ini. Setelah itu kalian boleh berjalan ke
sana. Satu demi satu. Engkau dulu." ia menunjuk Sian Li," kira2 sepuluh menit baru dia menunjuk Bun Sui.
Kakek itu terus berjalan ke muka dan berhenti lebih kurang dua ratus langkah disebelah muka. Setelah meneliti dahan2 pohon diatas, dia terus enjot tubuhnya melayang keatas dan hinggap pada sebatang dahan pohon yang tingginya lima tombak. Kemudian ia memasang tali pancingnya yang diluncurkan kebawah.
Sebenarnya Sian Li tak mau. Ia sungkan kepada kakek yang pernah menolong jiwanya itu. Tetapi karena kakek itu memaksanya, terpaksa dia melakukan juga, sekalian hendak membuktikan keterangan kakek itu.
Tiba di bawah tali pancing itu, dia tak merasakan suatu apa dan terus ke muka, kemudian berhenti kira2 sepuluhan langkah. Memandang keatas ia melihat kakek itu duduk bersila diatas dahan, pejamkan mata bersemedhi, Sian Li tak mau mengganggunya.
Beberapa saat kemudian kakek itu berseru, "Sekarang silakan engkau ,...!"
Bun Suipun melangkah. Tiba di bawah kait tiba2 kait itu melayang dan menyambar tengkuk bajunya. Sebenarnya Bun Sui sudah siap2. Begitu akan disambar kait, dia hendak menghindar. Tetapi pada waktu terjadi, ternyata dia tak mampu menghindar lagi.
"Dia mengandung hati yang tak baik, mungkin berbohong," seru Hong-ho lojin.
Merah muka Bun Sui. Tetapi diam2 dia mengakui kelihayan kakek itu. Memang dia memberi keterangan bohong kepada Sian Li mengenai hubungannya dengan Ko Cay Seng.
"Ah," desuh Sian Li penuh heran dan kagum. Sekarang dia baru percaya.
"Bagaimana ?" tanya kakek itu kepadanya.
"Ya, aku percaya." kat Sian Li kemudian meminta agar kakek itu menurunkan tubuh Bun Sui.
Hong-ho lojin mengibaskan tali dan kait yang menancap pada tengkuk baju Bun Sui supaya lepas.
"Engkau yang bohong kakek jahanam!" Bun Sui marah. Ia menjemput batu, dilontarkan kepada Hong-ho lojin yang masih berada diatas pohon dan terus melarikan diri.
Sian Li terkejut dan hendak mengejar.
"Tak perlu, anak perempuan! Biarkan dia lari," seru Hong-ho lojin seraya melayang turun." "Tetapi....."
"Karena rahasia hatinya terbuka, dia malu dan marah. Tetapi biarkanlah saja," kata Hong-ho lojin.
"Tetapi aku harus membawanya kepada jenderal Lau," seru Sian Li.
"Tentu," sahut Hong-ho lojin, "nanti engkau tentu akan bertemu dengan dia lagi dan bersama-sama ke markas jenderal itu."
"Tetapi bukankah dia sudah lari?"
"Ya, tetapi dia tentu akan ditahan oleh beberapa anakbuahku."
"O, lojin punya anakbuah?"
"Sudah kukatakan bahwa seluruh margasatwa di hutan ini adalah anak bauahku. Tanpa kuberi tanda, orang tentu tak dapat keluar dari hutan ini."
"Siapakah yang menghadangnya?"
"Mana saja yang tahu," kata Hong-ho lojin, "kalau yang tahu kera, mereka akan mennnggil seluruh kawannya untuk menghadang. Kalau yang tahu ular, juga akan memanggil kawan-kawannya. Celakanya kalau yang tahu itu si harimau, wah dia tentu akan pingsan."
"Ah, bagaimana kalau dia sampai mati?"
"Jangan kuatir," kata Hong-ho lojin, "sebelum aku datang, kawanan binatang anakbuahku tak berani membunuh. Mereka hanya menahan supaya orang itu tak lari dan menunggu kedatanganku."
"Ah," diam2 Sian Li menghela napas. Dia benar2 kagum atas peribadi kakek yang serba aneh dan istimewa. Setelah melihat bukti dari pancing Ok-hong-tiau tadi, kini Sian Li tidak berani tidak percaya lagi.
Hong-ho lojin mengajak Sian Li kembali ke dalam gua. Ia mengambil kalung zamrud hijau dan diberikan kepada Sian Li, "Sian Li, maukah engkau menolong aku ?"
"Tentu, lojin. Aku tentu akan melakukan apa saja yang lojin perintahkan."
Hong-ho lojin menghela napas, "Inilah yang pertama kali aku meminta bantuan kepada orang..."
"Ah, harap lojin jangan mengatakan begitu. Lojin sudah menyelamatkan jiwaku, aku wajib menyerahkan jiwa ragaku untuk membantu lojin."
"Takdir hidup, kuasa Tuhan," kata Hong-ho lojin, "engkau terakir pancingku, bukanlah aku yang menolong melainkan memang takdir hidupmu belum selesai. Dan itulah kekuasaan Tuhan yang maha besar bahwa engkau yang tercebur dalam arus sungai Hong-ho yang begitu, deras, ternyata tak mati. Aku hanyalah sebagai sarana untuk melaksanakan kekuasaan Tuhan saja ..."
"Ah, bagaimanapun kenyataannya lojinlan yang menolong jiwaku. Budi lojin itu pasti takkan kulupakan selama-lamanya," kata Sian Li.
'Sudahlah, anak perempuan." seru Hjng-ho lojin, "janganlah kita berbicara soal budi lagi. Sekarang aku hendak minta bantuanmu, maukah engkau?"
"Tentu, lojin, tentu," seru Sian Li jrempak, "bahkan sekalipun lojin suruh aku terjun ke lautan api, aku tetap akan melakukan."
"Ah, tak perlu begitu ngeri, anak perempuan," Hong-ho lojin tertawa, "aku hanya minta bantuanmu untuk mencarikan orang yang mempunyai pasangan dari kalung Zamrud hijau ini."
''Oh, maksud lojin, putera lojin yang diambil pangeran itu?"
Hong-lo iojin menghela napas, "Kurasa mungkin dia sudah tiada. Inilah yang sukar. Kalau dia masih hidup, walaupun tipis kemungkinannya tetapi masih ada harapan juga. Tetapi kalau dia sudah meninggal, sekalipun dia mempunyai anak, tentu sukar untuk mengenalnya .......... "
"Lo-jin, lebih baik berusaha daripada tidak. Gagal atau berhasil. serahkan saja kepada takdir! yang sudah digariskan Tuhan," kata Sian Li, "aku akan tetap akan melaksanakan pesan lojin. Aku tak dapat memberi ketetapan kapan aku dapat menyelesaikan hal itu, dan gagal atau berhasilkah aku menemukannya. Tetapi aku tetap akan mengusahakan dengan sepenuh tenagaku, lojin."
"Baik, anak perempuan," kata Hong-ho lojin, "sekarang engkau boleh minta sebuah ilmu kepandaian apa saja dari aku, Ilmusilat tangan kosong atau ilmupedang atau ilmu bermain senjata apa sajal"
"Ah, tidak lojin," seru Sian Li, "mana aku berani meminta suatu apa? Bahwa lojin telah memberi pesan kepadaku itu, sudah merupakan suatu kebahagiaan dari aku karena aku dapat membantu lojin."
"Anak perempuan," kata kakek itu, "jika engkau anggap aku telah melepas budi kepadamu, engkau boleh membalas dengan budi juga. Aku menolong jiwamu, kelak engkau boleh membalas jiwaku. Tetapi sekarang aku minta bantuan kepadamu, engkau harus juga minta sesuatu kepadaku."
"Ah, mengapa lojin bersikap begitu?"
"Ini sudah menjadi garis hidupku, anak perempuan. Aku tak mau berhutang kepada orang juga tak mau memberi hutang. Apabila engkau tak mau, akupun tak jadi meminta bantuanmu."
Dulu suhunya, Kiam Thian Cong, pernah menceritakan kepadanya bahwa dalam dunia persilatan ini banyak sekali tokoh2 sakti yang menyembunyikan diri. Biasanya tokoh2 macam begitu tentu aneh perangainya. Jika berhadapan dengan tokoh semacam itu, engkau harus melakukan apa yang dikehendaki, tak perlu sungkan. Demikian pesan Kim Thian Cong kepada Sian Li.
Serta teringat hal itu, Sian Li baru mengakui apa yang diceritakan mendiang suhunya itu memang benar. Hong-ho lojin yang dihadapinya saat itu tentulah termasuk tokoh sakti berwatak aneh yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
"Hm, percumalah menolak kehendaknya. Baik aku menurut saja," pikirnya.
"Baik, lojin," akhirnya dia berkata, "karena lojin memerintahkan, aku minta ilmu pancing saja,"
"Ah," tiba2 kakek itu mendesuh, "mengapa yang itu ? Aku hanya punya sebatang pancing, kalau kuberikan kepadamu, lha aku pakai apa ? Tetapi tak apalah, karena aku sudah berjanji ...."
"O, maaf, lojin," buru2 Sian Li berseru "Aku tak jadi minta ilmu itu. Terserah saja bagai mana lojin hendak memberi kepandaian macam apa kepadaku."
Hong-hong lojin merenung sejenak lalu berkata, "Bagaimana kalau kuberimu ilmu bermain payung ?".
"Ilmu payung ?" ulang Sian Li.
"Ya," kata Hong-ho lojin," kurasa tepat sekali untukmu."
Sian Li menurut saja. Kakek itu masuk ke dalam kamar dan membawa keluar sebuah peti kayu berlapis perak, Kemudian dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam peti itu. Benda itu panjangnya hanya seperempat meter, seperti segulung kulit.
"Inilah payung Yeti yang hendak kuberikan kepadamu," kata Hong-ho lojin.
"Mengapa disebut payung Yeti, lojin ?"
"Ada ceritanya juga," kata si kakek, "setelah menerima zamrud hijau diri Lian Ing, aku-pun segera mengembara keseluruh peloksok tanah air untuk mencari anakku itu. Sampai aku pernah ditawan oleh orang Biau tetapi aku dapat meloloskan diri sehingga sampai ke pegunungan Cou-mo-long-ma (Himalaya).
"Waktu aku tiba di sebuah desa penduduk Himalaya ternyata desa itu sedang diserang oleh serombongan orang Thian-tiok (India) yang hendak mengadakan perburuan Yeti
"Apakah Yeti itu, lojin ?"
"Yeti adalah sebangsa manusia-kera yang hidup di pegunungan Himalaya. Badannya tinggi besar dan merupakan jenis mahluk yang hampir ludas dari dunia. Yeti itu masih liar, tak mau didekati manusia sehingga manusia tertarik sekali untuk menyelidiki rahasia asal usul mereka."
"O, lalu ?"
"Orang2 Thian-tiok itu hendak berburu Yeti tetapi penduduk di pegunungan Himalaya menenteng. Yeti dianggap sebagai mahluk suci yang menunggu keselamatan gunung Co-mo-long-ma. Terjadi pertentangan dan akhirnya mereka berkelahi, Ternyata orang2 Thian Tiok itu pandai ilmu silat sehingga penduduk pegunungan itu kalah. Saat itulah aku datang. Karena menganggap pendirian penduduk pegunungan itu benar, aku membantu mereka. Akhirnya aku dapat mengalahkan orang2 Thian Tiok."
"Penduduk berterima kasih kepadaku. Dan sebagai tanda pernyataan terima kasih mereka telah menghadiahkan sebuah payung pusaka.
"Payung ini terbuat dari kulit manusia Yeti yang kebetulan mati karena mendapat kecelakaan dan kami temukan. Walaupun daging mayat itu sudah hancur luluh dan menjadi cairan air, namun kulitnya masih tetap utuh. Dengan susah payah memakan waktu sampai setahun, barulah kami dapat membuka kulit manusia Yeti yang sudah menjadi mayat itu. Ternyata kulitnya luar biasa kerasnya. tak mempan dibacok dengan senyata tajam. Dan ada suatu keistimewaan lagi, ternyata kulit manusia Yeti itu dapat menahan hawa dingin. Kami jadikan kulit manusia Yeti itu menjadi sehelai baju dan sebuah payung. Silakan anda memilih yang mana," kata kepala suku kepadaku.
"Aku menyatakan memilih payung," kata Hong-ho tojin.
"Mengapa lojin tak memilih bajunya ?"
'"Ah, baju itu berguna untuk mereka apabila harus menjelajah naik ke puncak yang tertinggi. Sedang aku tidak memerlukan benda itu. Maka akupun memilih payung saja. Dan inilah payung itu."
Payung itu terdiri dari tiga ruas batang. Yang diatas lebih kecil dari yang dibawah sehingga dapat dimasukkan kedadam ruas yang paling bawah sendiri. Pada tangkai ruas itu dipasang alat. apabila ditekan maka kedua ruas yang masuk kedalam induk ruas, akan meluncur keluar sehingga tangkai payung itu mencapai satu meter panjangnya. Dan karena kulit payung itu tipis dan lemas maka dapat dilipat.
Hong-ho lojin meminta payung itu, "Beginilah cara untuk merentang payung itu," dia menekan alat pada induk ruas. Serentak merentanglah dua buah ruas dari dalam induk-ruas itu dan kulitpun bertebar menjadi sebuah payung, "Jika hendak menutup, cukup tekanlah ujung ruas yang paling atas agar masuk kedalam induk-ruas" kata Hong-ho lojin seraya memberi contoh.
"Sekarang akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu memainkan payung itu. Ilmu permainan itu disebut Ye-ti-hud-swat atau Yeti menyapu-salju. Kegunaan jurus permainan itu untuk melindungi diri dari taburan senjata rahasia, serangan dari beberapa lawan yang mengerubut kita," kata Hong-ho lojin.
Sian Li mengangguk-angguk. Hong-ho lojinj pun segera mengajarkan jurus permainan payung yang disebut Ye-ti-hud-swat itu. Diam2 Sian Li terkejut. Ternyata gerakan payung dari Hong-ho lojin itu tak ubah seperti badai prahara yang melindungi tubuhnya. Sesaat tubuh Hong-ho lojin seperti 'hilang' dilingkupi sinar payung.
"Hebat !" teriak Sian Li memuji, "dari mana lojin mempalajari ilmu kepandaian itu ?"
"Berbulan-bulan aku tinggal di daerah pegunungan Co-mo-long-ma. Aku melihat bagaimana ngerinya apabila badai salju tiba. Kuperhatikan cara2 badai salju itu menghambur dan cara penolakannya. Setelah tekun menumpahkan perhatian maka akupun mendapat ilham untuk menciptakan ilmu melindungi diri dengan payung."
Berkat otaknya yang cerdas dan bakat yang baik, dalam tempo kurang dari setengah hari saja dapatlah sudah Sian Li memahami ilmu permainan itu. Setelah disuruh memainkan dan diberi petunjuk lebih lanjut, Sian Lipun sudah menguasainya. Diam2 dara itu gembira sekali. Menurut penilaiannya, jurus permainan payung itu berbeda sekali dengan jurus? dalam ilmu silat atau ilmu senjata di dunia persilatan. Entah darimana Hong-ho lojin dapat menciptakan ilmu permainan yang aneh dan istimewa itu.
"Sian Li," kata Hong-ho lojin, "tiada pesta yang takkan usai. Demikian dengan kehidupan kita. Ada saat berkumpul dan ada saat berpisah. Engkau masih mempunyai tugas lain dan perjalanan hidupmu masih panjang. Aku takkan menahan engkau lebik lama disini. Aku tetap akan melanjutkan kehidupan yang tenang di tepi sungai Hong-ho ini sampai akhir hayatku. Sekarang jika engkau hendak berangkat, silakan, aku sudah tak ada pesan apa2 lagi."
"Terima kasih lojin," serta merta Sian Li berlutut dan memberi hormat dihadapan kakek itu, "pesan lojin untuk mencari putera atau cucu lojin pasti akan kulaksanakan dengan sepenuh hati. Apabila kelak berhasil menemukannya, tentu akan kubawa kemari untuk bertemu dengan lojin."
Hong-ho lojin menghela napas, "Ah, memang itulah tujuan hidupku satu-satunya. Tetapi ...... ah, adakah hal itu dapat terlaksana, kuserahkan saja kepada Tuhan yang
Maha Tahu. Terima kasih, Sian Li, dan semoga engkau berhasil dalam usahamu."
Setelah memberi hormat Sian Li terus hendak melangkah pergi tetapi Hong-ho lojin mencegahnya, "Tunggu dulu," katanya, "aku lupa untuk memberitahu kepadamu. Apabila engkau hendak membawa anak jenderal itu, engkau harus membawa pertandaan dari aku supaya binatang yang mengepungnya itu menyingkir dan mau melepaskan dia."
Ia memberi kepada Sian Li sebuah doos kecil, "Doos ini berisi bubuk kembang api. Apabila engkau banting doos ini ke tanah, maka isinya akan memancarkan bunga api yang berwarna warni. Nah, binatang'2 itu tentu tahu bahwa aku sudah memberi kekuasaan kepadamu."
Setelah menghaturkan terima kasih dan menyambuti doos itu barulah Sian Li melangkah pergi. Berat nian hatinya untuk berpisah dengan kakek yang sudah sebatang kara dan tinggal di tengah hutan belantara seorang diri itu.
"Tetapi ah, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Sudah berpuluh tahun dia dalam keadaan hidup seorang diri. Biarlah, yang penting aku harus dapat menemukan putera atau cucunya dan akan kubawa kepadanya," akhirnya ia bulatkan hati dan terus lari.
Tiba hampir pada ujung hutan, dia terkejut menyaksikan suatu pemandangan yang menakjubkan tetapipun mendebarkan. Ternyata Bun Sui masih tegak berdiri dengan wajah tegang. Sedang di sekelilingnya tampak beberapa jenis binatang.
Didepan tampak berpuluh ekor ular sedang tidur melingkar menutup jalan, Di belakang terdapat seekor harimau sedang mendekam. Dan di sebelah kanan tampak berpuluh ekor kera sedang di sebelah kiri berkerumun beberapa ekor anjing serigala. Bun Sui tertahan di tengah2
tak berani menerjang keluar. Tetapi binatang2 itupun tak mau menyerang, melainkan hanya mendekam di tempat masing2.
"Ah, benar2 suatu keajaiban yang apabila kuceritakan tentu orang takkan percaya. Tetapi nyatanya memang ada bahwa seorang manusia biasa dapat menguasai mahluk hutan yang buas," diam2 Sian Li menghela napas.
"Lau kongcu," serunya ketika ia tiba. Harimaupun serentak bangkit dan mengaum.
"Nona, awas, harimau itu buas sekali!" seru Lau Bun Sui memberi peringatan
"Jangan bergerak, tetaplah engkau disitu saja," Sian Li balas memberitahu. Kemudian ia membanting doos yang diberikan Hong-ho lojin tadi, darrrr .... serentak terdengarlah letupan keras diiringi dengan pancaran sinar api yang berwarna-warni.
Melihat itu seketika harimaupun lari, disusul dengan serigala, kera dan ular. Mereka masuk kedalam hutan lagi.
"Nona ....!"
"Ya, aku telah diberi benda oleh Hong-ho lojin untuk menghalau binatang itu," kata Sian Li.
"Ah," Bun Sui menghela napas, "siapakah sesungguhnya orangtua itu?"
"Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri mencari ketenangan. Memang di dunia persilatan banyak terdapat tokoh2 sakti yang tak mau unjuk diri," kata Sian Li.
Bun Sui tak menjawab. Teringat akan pancing Ok-hong-tiau yang telah memancing dirinya tadi. dia tersipu-sipu dalam hati.
"Lau kongcu, kita naik ke puncak dulu," kata Sian Li.
"Mengapa?"
"Kita jemput kakekku dan adikku lalu bersama2 pulang ke markas Lau ciangkun."
Tetapi betapalah kejut gadis itu ketika markas gunung Lo-san sudah menjadi tumpukan puing. Lo-san siangjin tak ada. Lo Kun dan Uk Uk pun tak kelihatan,
Kemanakah gerangan mereka ? Pikir Sian-Li. Dia heran mengapa markas di gunung itu telah terbakar habis. Pada hal bukankah pasukan Ceng yang berada di selat Hay-teng-ko itu sudah porak poranda ?
"Lau kongcu, maaf, silakan kongcu pulang lebih dulu karena kuatir Lau ciangkun akan gelisah memikirkan keselamatan kongcu," kata Sian Li.
"Dan engkau ?"
"Tolong sampaikan kepada Lau ciangkun bahwa aku masih sibuk hendak mencari jejak kakeku dan adikku,"
"Baiklah," kata Lau Bun Sui. Setelah pula anak jenderal itu pergi, Sian Li mulai mencari jejak Lo Kun dan Uk Uk.
Kita ikuti perjalanan Bun Sui. Setelah turun dari puncak, dia terus langsung hendak menuju jalan besar di kaki gunung. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat dari balik gundukan batu di tepi jalan.
"Ah, Ko tayjin," seru Bun Sui dengan nafas legah ketika mengetahui yang muncul itu Ko Cay Seng.
"Bagaimana kongcu dapat terlepas dari tangan kakek berambut putih itu ?" tanya Ko Cay Seng,
Lau Bun Sui lalu menceritakan semua pengalaman yang terjadi, "Wah, celaka, kakek itu tahu isi hatiku. Dikuatirkan dia akan memberitahu hal itu kepada gadis yang bernama Sian Li itu."
Ko Cay Seng merenung sejenak lalu tertawa "Ah, jangan percaya pada ocehan kakek itu. Dia seorang berilmu tinggi, dia dapat melepaskan tenaga-dalam keluar untuk menggerakkan kaitnya. Ingat pukulan tenaga dalam jarak jauh seperti Biat-gong-ciang dan sejenisnya."
Bun Sui mengangguk tetapi dia masih kerutkan dahi, bersangsi,
"Kenapa kongcu, apakah engkau masih cemas ?" tanya Ko Cay Seng.
"Baik itu ocehan kosong maupun sungguh dari si kakek, tetapi gadis itu sudah mendengarnya Apabila dia percaya, dia tentu akan melaporkan hal itu kepada ayah .........."
Ko Cay Seng mengangguk-angguk, katanya "Jika begitu baik kita lenyapkan saja gadis itu.
"Dia masih berada di puncak."
Kedua orang itu terus hendak menuju puncak lagi untuk mencari Sian Li.
"Itu dia," seru Bun Sui ketika melihat Sian Li sedang menuruni puncak.
"Jangan terburu-buru. kongcu," kata Ko Cay Seng, "gadis itu juga lihay. Kita harus pakai siasat supaya dia jangan sampai dapat meloloskan diri."
"O, bagaimana maksud Ko toyjin ?"
Ko Cay Seng membisiki beberapa patah kata dan tampak Bun Suipun mengangguk-angguk. Setelah itu Ko Cay Seng menggandeng lengan Bun Sui untuk diajak menghampiri Sian Li.
"Hai, kongcu, mengapa engkau kembali lagi?" tegur Sian Li terkejut.
Tetapi sebelum Bun kui menyahut, Ko Cay Seng sudah mendahului, "Dia hendak mengajak nona bersama-sama ke markas menghadap jenderal Lau."
"Tetapi aku kan masih perlu mencari kakek dan adikku dulu ?"
"O, apakah kakek dan adik nona hilang ?" diam-diam Ko Cay Seng yang sudah tahu hal itu, pura2 kaget,
"Ya," sahut Sian Li, ''eh, bukankah engkau yang memimpin pasukan Ceng itu ?"
"Ya."
"Mengapa engkau berada disini ?"
"Aku hendak mengantarkan Lau kongcu turun gunung. Kami telah keliru menangkap kongcu."
Sian Li kerutkan dahi. Dia curiga. Tadi Bun Sui mengatakan kalau sudah berpisah dengan Ko Cay Seng, mengapa sekarang bersama-sama dia lagi ?
"Lau kongcu, benarkah itu ?" serentak dia bertanya mercari penegasan.
Lau Bun Sui hanya mengangguk.
"Tetapi aku masih perlu mencari kakek dan adikku, silakan kongcu pulang lebih dulu."
"Ah, tidak," kembali Ko Cay Seng mendahului menyahut."
"Eh, mengapa tidak ?"
"Lau kongcu menghendaki agar bersama engkau menghadap ayahnya. Barulah engkau yang memberi laporan."
"Lau kongcu," Sian Li tak menggubris Ko Cay Seng melainkan berkata kepada Bun Sui, "jangan memaksa, aku harus mencari kakek dan adikku dulu, baru nanti kami menghadap Lau ciangkun."
Sebelum Bun Sui menyahut, kembali Ko Cay Seng sudah menyerobot, 'Tidak, nona harus ikut sekarang."
Setelah beberapa kali memperhatikan sikap Bun Sui yang tak mau bicara, timbullah kecurigaan Sian Li. "Lau kongcu, apakah engkau tak dapat menerima keteranganku ?"
"Ah, harap nona jangan menolak ....... ," baru Ko Cay Seng berkata begitu, Sian Li sudah membentaknya, "Aku bertanya kepada Lau kong cu. mengapa engkau yang menjawab. Lau kongcu, engkau jawablah sendiri!"
Bun Sui terkejut dan tertegun. Tiba2 Ko Cay Seng maju dan menyambar lengan Sian Li, "Nona, jangan membuang waktu!"
Tetapi karena sudah curiga, Sian Lipun sudah siap. Serentak ia menyurut mundur lalu menghantam.
"Ah." desah Ko Cay Seng dalam hati karena tak menyangka nona itu mampu lolos dari sambarannya. Ia menggeliatkan tangannya ke bawah dan dari samping terus menerkam tangan Sian Li lagi.
Tetapi Sian Li juga hebat. Ia membiarkan pukulan hendak diterkam, tetapi serempak dengan itu tangan kirinyapun menebas lambung lawan.
"Bagus," seru Ko Cay Seng seraya menyurutkan perut ke belakang, sedang tangannya masih tetap hendak menerkam tangan Sian Li.
"Jahanam ini lihay sekali," kata Sian Li dalam hati. Dia juga nekad. Siasat akan dilawan dengan siasat. Dia
membiarkan tangannya diterkam, tangan kiri yang luput menebas lambung tadi, diarahkan keatas untuk memotong tangan Ko Cay Seng yang akan menerkam tadi.
Masih Ko Cay Seng mempertahankan kedudukan. Dia menekuk tangannya, selekas tebasan Sian Li lewat, dia gunakan dua buah jari tangannya untuk menutuk lengan si nona.
"Setan," damprat Sian Li dalam hati. Diapun tak mau kalah. Pada saat Ko Cay Seng hendak menutuk, ia membarengi dengan sebuah gerak tendangan meloncat yang mengancam muka lawan.
"Hm," desuh Ko Cay Seng yang kali ini terpaksa harus loncat mundur. Dalam gebrak saling bertahan itu, jelas Ko Cay Seng telah kalah. Dia harus mundur.
Ko Cay Seng memutuskan tak mau terlalu lama terlibat dalam pertempuran dengan Sian-li. Serentak dia mengeluarkan sepasang pit besi dan terus maju menyerang.
Sian Li terkejut. Ketika di gunung Giok-li-nia tempo hari dan ketika dalam pertempuran di selat Hay-teng-kok, dia menyaksikan betapa lihai ilmu permainan pit-besi dari Ko Cay Seng ini Jika ia tetap menggunakan tangan kosong tentulah dia kalah.
"Ah, mengapa tak kucoba untuk menggunakan payung pemberian Hong-ho lojin itu?" pikirnya seraya terus mengeluarkan payung itu. Crit sekali menekan alat, payung itupun menebar.
Cret .... pit-besi tertangkis oleh payung Ko Cay Seng loncat mundur. Ia terkejut melihat payung Sian Li yang tak mempan ditusuk ujung pit- besinya.
Namun ia penasaran. Serentak ia menyerang dengan jurus Keng-sin-pot-pit atau Malaekat-sakti-menggurat-pit.
Cret, cret, cret .... beruntun beberapa kali pit menusuk tetapi selalu tertangkis oleh payung.
Ko Cay Seng makin penasaran. Diapun segera mainkan jurus permainan pit yang dahsyat. Selintas pandang tampak suatu pemandangan yang mengagumkan. Ratusan percik sinar berhamburan mencurah pada lingkaran sinar hitam yang menyelubungi tubuh Sian Li.
Ko Cay Seng terkejut ketika menyaksikan payung dan permainan payung Sian Li. Ketika di puncak Gok-li-nia dan selama bertempur di selat Hay-teng-kok, ia tak pernah melihat nona itu menggunakan payung. Mengapa sekarang nona itu mempunyai payung yang begitu istimewa?
"Ah, kalau tak lekas kurobohkan, aku tentu tertahan lama disini," pikirnya. Ia memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran itu.
Setelah mempertimbangkan bagaimana cara untuk menundukkan nona itu maka majulah ia daIam serangan yang berbeda dengan tadi. Kini dia hanya menyerang dengan pit di tangan kanan sedangkan pit di tangan kiri tetap diam.
Sian Li heran. Tetapi dia tak berani lengah. Dia tetap memainkan payung untuk menghalau serangan pit. Sekonyong-konyong Ko Cay Seng mengendap ke bawah. Dengan jurus Giok-li-cian-ciam atau Bidadari-menyusupkan-jarum, tiba2 pit di tangan kiri menutuk kaki Sian Li.
"Ih ....... , " Sian Li terkejut dan terpaksa menyurut mundur. Tetapi Ko Cay Seng sudah mendesaknya dengan pit di tangan kanan. Berulang kali serangan kaki itu dilancarkan Ko Cay Seng sehingga cukup merepotkan Sian Li. Kalau dia menangkis kebawah, Ko Cay Seng akan
menyerang dari atas. Kalau dia memperhatikan serangan di atas, Ko Cay Seng akan menyelinap menyerang kakinya.
Sian Li gemas juga. Setelah mengingat akan jurus hebat tetapi berbahaya dari permainan payung itu, sekonyong-konyong dia mengatupkan payung dan menusuk dada lawan. Ko Cay Seng ter kejut. Ia berkisar ke samping, cret .... tiba2 payung menebar, ujungnya menimpa muka orang.
"Nona ....!"
Sian Li terkejut mendengar teriakan itu. Dia tahu yang berteriak itu adalah Bun Sui. Kuatir kalau anak jenderal itu mendapat kecelakaan, Sian Li berpaling. Tetapi pada saat itu. ia rasakan pundaknya sakit tertutuk ujung besi. Seketika lengannyapun lemas, meletuk terkulai tak punya kekuatan.
"Celaka, aku terkena tutukan pit" kata Sian Li dalam hati. Cepat ia menyambar payung itu dengan tangan kiri dan balas menyerang. Tetapi dia agak kaku memainkannya dengan tangan kiri sehingga dia terdesak oleh serangan pit-besi lawan.
"Kena!" teriak Ko Cay Seng ketika ia menyelundup kebawah dan menutuk kaki Sian Li. Seketika itu Sian Li rasakan kakinya lemas dan liluk, jatuhlah ia terkulai ke tanah.
"Ha, ha, ha, akhirnya ia harus menyerah juga," Ko Cay Seng tertawa gelak2. Kemudian berpaling kearah Lau Bun Sui, "Kongcu, bagaimana ini?"
"Terserah ....," jawab Bun Sui.
Sudah tentu Sian Li terkejut bukan kepalang mendengar Bun Sui dapat bicara. Pada hal tadi berulang kali ia tanya, anak jenderal itu tetap membisu dan hanya anggukkan kepalanya.
"Dia cantik, apakah kongcu tak ingin mencicipi dulu sebelum kita bunuh?" Ko Cay Seng tertawa. Dia tahu akan kegemaran anak jenderal itu kepada dara cantik.
Bun Sui tersipu-sipu merah mukanya, "Ah, harap jangan menggoda .......... "
"Tidak, kongcu," kata Ro Cay Seng, *kon-cu boleh bawa ke tempat yang sunyi, biar kutunggu disini. Setelah selesai, bunuh saja."
"Jahanam engkau, kaki tangan Ceng !" teria Sian Li marah.
"Heh, heh," Ko Cay Seng tertawa, "silakan engkau memaki sampai kerongkonganmu pecah asal kongcu dapat menikmati tubuhmu yang aduhay itu !"
"Kongcu, engkau bangsat yang tak tahu malu !" teriak Sian Li, "ayahmu bingung mencarimu ternyata engkau malah mau menjadi budak bangsat itu !"
"Jangan banyak mulut !" tiba2 Ko Cay Seng maju dan menutuk jalandarah pembisu nona itu sehingga Sian Li tak dapat berkutik dan tak dapat bicara.
"Silakan kongku," seru Ko Cay Seng seraya melangkah pergi hendak duduk dibawah sebatang pohon.
Sian Li melotot marah ketika melihat Bun Sui maju menghampirinya. Ternyata Bun Sui memang tergerak hatinya. Adalah karena hendak mendapatkah gadis itu maka dia sampai digebuki ayahnya. Kini dia hendak melampiaskan nafsunya sampai puas. Tak mungkin gadis itu akan mengadu kepada ayahnya lagi karena nanti setelah selesai akan dibunuhnya.
Baru dia hendak ulurkan tangan mengangkat tubuh Sian Li, sekonyong-konyong dari balik pohon terdengar suara
orang berseru, "Eng ..... eng ... engkong ... itu apa buk .. bukan cici Sian .......!"
"Mana ? O, benar," teriak seorang kakek tua, "hai Sian Li, engkau disitu ?"
Dua sosok tubuh berhamburan keluar dari semak pohon. Kedua orang itu tak lain adalah kakek Lo Kun dan Uk Uk.
Sudah tentu kejut Bun Sui bukan kepalang. Untung dia terus menyurut mundur dan kedua kakek dan bocah pekok itu tak menghiraukan dia melainkan menghampiri Sian Li, "Sian Li, mengapa engkau disini ?"
Tetapi Sian Li diam saja. Hanya matanya memandang kakek itu, seraya mengicup-kicupkan matanya ke muka. Maksudnya dia minta supaya kakek dan Uk Uk menangkap Bun Sui dan Ko Cay Seng. Tetapi kakek linglung itu tak mengerti.
"Eh, mengapa engkau manggut2 kepala ? Apakah lebermu sakit ?" Lo Kun terus memeriksa leher Sian Li.
"Aduhhhhhh .....!" tiba2 kakek itu menjerit kesakitan. Tangannya yang kebetulan merabah ke mulut Sian Li telah digigit nona itu sekeras-kerasnya. Sian Li gemas karena kakek itu malah hendak memeriksa lehernya.
"Hai, mengapa engkau malah menggigit tanganku?" teriak La Kun "
"Iya, ci ....... ci ....... mengap ....... mengap .... pa engkau menggigit? Apa aku lapar?" seru Uk Uk yang tak dapat merobah pengertiannya tentang kata aku-engkau.
Sian Li menyeringai dan matanya melotot kepada Lo Kun serta Uk Uk.
"Sian Li, mengapa engkau diam saja?" kembali Lo Kun bertanya.
"Mungkin lapar, eng ....... engkong."
"O, jangan kuatir, nih aku masih membawa paha ayam hutan yang kupanggang semalam," kakek itu terus mengeluarkan sebuah paha ayam dan diangsurkan kepada Sian Li. Tetapi Sian Li diam saja.
"Dia mal ....... malu, eng .... engkong .... makanlah ..." seru Uk Uk.
Lo Kun segera menyodorkan paha ayam panggang itu ke mulut Sian Li. Tetapi nona itu malah mengancing rapat2 mulutnya.
"Eh, anak perempuan, mengapa engkau? Apa engkau lupa kepadaku? Bukankah aku ini engkongmu yang tercinta? Tak perlu malu, ini pemberian engkongmu sendiri," seru Lo Kun seraya menyusupkan paha ayam itu ke mulut Sian Li. Tetapi Sian Li tetap menutup rapat- mulutnya.
"Wah, anak perempuan ini memang bandel," kata Lo Kun kemudian menyuruh Uk Uk, "Uk, bukalah mulutnya, aku... eh. engkau yang memasukkan paha ayam."
"Baik," dalam berkata itu Uk Uk sudah menerkam mulut Sian Li. Sekali di tekan maka terngangalah mulut gadis itu.
Aduh, bukan main marah dan mendongkolnya Sian Li. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, Dia hendak memberi isyarat supaya Lo Kun dan Uk Uk menangkap Bun Sui dan Ko Cay Seng, siapa tahu kebalikannya mereka malah main paksa mencangar mulutnya untuk dilolohi paha ayam ....
"Eh, mengapa tak mau menggigit ?" seru Lo Kun pula, "benar2 engkau ini anak bandel,"
"Di... di.. , dicubit kecil2, erg .... engkong."
"O, benar," seru Lo Kun, "anak perempuan ini memang minta kumanjakan."
Dia terus mencabik-cabik daging ayam itu sedikit2 lalu dimasukkan kedalam mulut Sian Li. Aduh mak ..,, . Sian Li benar2 mau pingsan karena marah.
"Uuuffjff....." tiba2 gadis itu menghimpun napas lalu dengan sekuat-kuatnya dia menyemburkan cabikan daging ayam itu ke muka Lo Kun.
"Aduh .... aduh ......" terdengar dua buah suara. Yang satu dari mulut Lo Kun karena mukanya tertabur daging ayam. Dan yang satu dari mulut Uk Uk yang mendekap perutnya.
Apa yang terjadi ?
Ternyata karena mengerahkan napas dan tenaga sedemikian rupa, tanpa disadari jalandarah Sian Li yang tertutuk itu tiba2 memancar lancar lagi sehingga dia dapat bergerak. Begitu merasa tangannya bertenaga, yang pertama-tama dikerjakan adalah menghantam perut Uk Uk yang gendut sehingga anak gendut itu mengaduh kesakitan dan mendekap perutnya yang mulas.
Kemudian Sian Lipun melenting bangun dan menuding kakek Lo Kun, "Engkau benar2 seorang kakek limbung !"
"Dan engkau, anak gendeng !" iapun memaki Uk Uk.
Sudah tentu Lo Kun dan Uk Uk mendelik "Eh, mengapa engkau malah marah2 kepadaku ?" tanya Lo Kun sambil mengusap mukanya yang berlepotan daging ayam.
"Mengapa engkau lolohkan paha ayam ke mulutku ?"
"Lho, bukankah engkau lapar ?"
"Siapa bilang lapar ?"
"Ea, anak ini mengapa tenpa hujan tanpa angin marah2 kepadaku," gumam Lo Kun," Sian Li, tak baik seorang cucu berani kepada engkongnya. Coba katakan apa salahku?"
Tetapi Sian Li tak menghiraukan. Dia terus menerjang ke muka, "Hai, kemana jahanam tadi ?" teriaknya lalu berpaling ke kanan, "Hai, bangsat itu juga menghilang !"
Sian Li lari ke timur, Tetapi tak berapa lama dia kembali lagi.
"Celaka ! Celaka ! Adalah karena gara2 kalian maka kedua bangsat itu bisa lolos !" teriaknya teraya membanting-banting kaki.
Melihat tingkah laku Sian Li, Lo Kun dan Uk Uk hanya melongo. Waktu Sian Li lari ke selatan keduanya hendak mengikuti tetapi eh, tahu2 Sian Li sudah balik. Waktu Sian Li lari ke timur, keduanya hendak ikut tetapi eh, tahu2 nona itu sudah kembali lagi dan marah2.
"Sian Li, mengapa engkau ?" tanya Lo Kun.
Tiba2 Sian Li melihat payungnya masih menggeletak di tanah. Maka dipungutnya payung itu dan dilipatnya.
"Sian Li, apakah aku bersalah kepadamu ?" tanya Lo Kun pula.
Sian Li menghela napas. Ia menyadari kalau Lo Kun itu memang seorang kakek yang limbung, percuma saja dia marah2 kepadanya. Dan lagi dalam meloloh paha ayam tadi, sebenarnya Lo Kun bermaksud baik,
"Ya, apa boleh buat, mereka sudah kabur," kata Sian Li.
"Siapakah yang engkau maksudkan ?"
"Anak jenderal Lau dan bangsat kaki tangan Ceng itu," kata Sian Li.
"O, pemuda yang hendak mengangkat engkau tadi ? Apakah dia ....eh, benar, dia memang anak jenderal Lau yang dirangket bapaknya tempo hari. Tetapi mengapa dia berada disini ?"
"Dia hendak kurang ajar kepadaku," Sian Li seraya tersipu-sipu merah mukanya,
"Kurang ajar ? Mana dia sekarang ? Biar kuhajarnya !" seru Lo Kun lalu berpaling kepada Uk Uk, "Uk, seret anak jenderal itu kemari!"
"Per ....... perut engkau .... mulas eng..eng ....... kong," seru Uk Uk.
"Mulas? Kenapa?"
"Ditinju cici ....... Li," kata Uk Uk seraya mengusap-usap parutnya yang gendut.
Melihat tingkah laku bocah itu mau tak mau terpaksa San Li geli juga, "Siapa suruh engkau mengangakan mulutku ?"
"Tidak," sahut Uk Uk, "terbalik. ' Engkau yang mengangakan mulutku !"
Sian Li hendak membantah tetapi serentak dia teringat akan pengertian Uk Uk tentang istilah aku-engkau yang dibalik artinya itu.
"Ya, siapa suruh begitu ?" katanya.
"Yang suruh eng. eng ....... kong," jawab Uk Uk "seharusnya aku meninju perut eng ....... engkong, bukan meninju perut engkau."
Sian Li tertawa, "Yang kelihatan dimuka adalah perutku, jadi yang engkau sasar juga perut yang kelihatan itu. Masa begitu saja sakit?"
"Sian Li, jangan menggubris anak itu. Biar perutnya sakit, asal tidak pecah saja. Sekarang engkau harus menceritakan kemana saja engkau dan mengapa tak kembali ke markas di puncak gunung. Aku dan Uk Uk menunggumu setengah mati," seru Lo Kun.
Sian Li mengajak kedua orang itu duduk beristirahat di bawah pohon. Lalu dia menceritakan semua pengalaman yang telah terjadi pada dirinya.
"Eh, mana kakek Hong-ho lojin itu?" seru Lo Kun "coba saja apakah pancingnya akan mengait aku atau tidak!"
"Sudahlah," kata Sian Li, "sekarang kuminta kakek menceritakan pengalaman kakek waktu berada di markas."
Lo Kunpun bercerita, Lo-san siangjin datang dan mengajaknya keluar. Tahu2 dia dan Uk Uk dimasukkan kedalam sebuah gua dan ditutup dari luar.
"Ah, masakan Lo-san siangjin berbuat begitu?" Sian Li heran.
"Sungguh," seru Lo Kun dengan nada serius, "bukankah begitu Uk?"
Uk Uk geleng2 kepala, "Belum bi .... bisa."
"Lho, belum bisa apa?"
"Menjawab."
"Kenapa?"
"Perutmu masih sakit nih......"
Tiba2 Lo Kun tertawa, "Hm, anak ini memang banyak akal bulusnya. Pura2 sakit tetapi sebenarnya minta ....... , " ia terus mengambil buli2 arak dan disodorkan, "nih, minumlah."
"Eh, tahu ju ....... juga eng ....... engkong ini," Uk Uk menyambut buli2 terus diteguknya. Lalu diserahkan kembali, "sekarang engkau . ... bisa menjawab. Memang benar apa yang dika...dikatakan eng ....... eng ....... engkong tadi."
"Jika benar demikian, tentulah Lo-san siang- jin itu perlu dicurigai," kata Sian Li, "pertama Lo-san siangjin yang datang itu bukan Lo-san siangjin yang aseli tetapi palsu .......... "
"Palsu? Ah, tak mungkin," bantah Lo Kun.
"Dan kedua, kemungkinan Lo-san siangjin memang bersekutu dengan orang Ceng."
"Ya, itu memang jelas,"
"Tetapi kurasa menilik peribadinya yang kuketahui selama ini, tak mungkin dia mau bekerja sama dengan orang Ceng. Kurasa kemungkinan yang pertama tadi bahwa dia bukan Lo-san sian jin; yang aseli, lebih mendekati kebenaran. Tetapi bagaimana kakek dapat keluar dari gua itu?"
Lo Kun menceritakan bahwa hal itu memang tak terduga. Karena sudah putus asa tak dapat menjebol pintu gua yang ditutup dengan batu benar maka dia bersama Uk Uk lalu masuk menyusup ke bagian dalam. Ternyata lorong gua,itu amat panjang sekali.
"Aduh, kalau teringat penderitaanku selama merangkak dalam lorong gua itu, ingin rasanya aku mencincang Lo-san siangjin," katanya, "coba bayangkan. Dalam lorong terowongan itu kadang terdapat binatang serangga yang suka menggigit. Antara lain aku sampai menjerit-jerit seperti orang gila ketika aku diserang semut dan anai?. Uk Uk juga berkuik-kuik seperti babi hendak disembelih ....
"Coba bagaimana rasanya kalau orang merangkak dalam terowongan yang gelap lalu dirubung barisan semut. Apa tidak setengah mati. Barang yang setengah itu tentu celaka. Lebih baik mati daripada setengah mati. Lebih baik mentah dari-pada setengah matang. Bukankah begitu Uk?"
"Ben ....... benar ....... kong," kata Uk Uk, "lebih2 aku. Per ....... perutmu yang gendut ini hen dak dima .... dimakan rayap ....... aduhhh kong .. sakit tetapi geli ....... aku sampai terken ....... kencing ....... kencing ....... lho."
Sian Li tertawa ngikik mendengar kata2 itu.
====
Hal 52-53 enggak ada, kelewat kali!
====
Mereka benar2 penasaran. Tetapi sampai siang berganti malam dan malam berganti pagi, mereka tetap tak dapat menemukan pertapa itu.
"Aneh," kata Sian Li, "kemana saja pertapa itu ?"
"Kemana lagi kalau tidak ikut pada pasukan Ceng," gerutu Lo Kun.
"Pasukan Ceng yang berada di selat Hay teng-kok sudah hancur. Perahu2 merekapun sudah dilarikan oleh pasukan Beng yang dipimpin Bok kongcu. Tak mungkin pertapa itu akan menggabungkan diri dengan mereka."
"Dia tentu bersembunyi," kata Lo Kun,
"Ya, mungkin saja," kata Sian Li, "sekarang kurasa baik kita turun gunung menuju ke markas jenderal Lau untuk melaporkan hasil usaha kita."
"Sekalian laporkan saja tentang perbuatan puteranya yang kurang ajar itu," seru Lo Kun.
"Baiklah," kata Sian Li, sudah jelas bahwa putera jenderal itu bersekongkol dengan orang Ceng. Aku harus memberi peringatan kepada jenderal Lau supaya dia hati2 menjaga anaknya."
Merekapun segera turun gunung dan menuju ke markas jenderal Liu. Tetapi alangkah kejut mereka waktu mendapatkan jenderal Lau dan pasukannya sudah pindah ke lain tempat.
Menurut kabar, pasukan jenderal Lau Cek Jing sudah diperintahkan untuk menjaga propinsi Shoa-tang, dengan berkedudukan di kota Hui-pak.
"Bagaimana -Sian Li ? Apakah kita perlu mencari jenderal itu ?" tanya Lo Kun.
"Kurasa demikian," sahut Sian Li, "karena dikuatirkan anak jenderal itu akan. mengacau dari dalam."
"Apakah anak jenderal itu sudah kembali kepada bapanya ?"
"Kemungkinan sudah."
"Lho, apa dia tak takut ?"
"Kurasa anak jenderal itu sudah berada dalam kekuasaan kaki tangan Ceng yang bernama Ko Cay Seng, yaitu orang yang bersenjata pit besi. Buktinya dia mau saja disuruh pura2 tertutuk jalandarahnya dan tak dapat bicara waktu mendatangi aku. O. benar, ya tentu begitu !"
Lo Kun melongo. Dia tak mengerti apa maksud kata2 gadis itu. "Apa maksudmu ?" tanyanya.
"Waktu aku berada di tempat Hong-ho lo-jin, Bun Sui si anak jenderal itu berjalan bersama orang she Ko, waktu kutegur. Bun Sui mengatakan bahwa dia memang dibawa oleh orang she Ko itu karena hendak diantar pulang.
Mereka telah keliru menangkap dan tak tahu kalau dia anak jenderal Lau. Begitulah keterangan Bun Sui
"Lalu ?"
"Nah. Bun Sui dan orang she Ko tentu takut kalau hal itu kulaporkan kepada jenderal Lau. Oleh karena itu mereka tentu memutuskan untuk membunuh aku, melenyapkan saksi mulut."
"Bangsat Ko Cay Seng itu ! Kalau bertemu lagi tak perlu kita beri ampun," seru Lo Kun.
"Maka terpaksa kita harus mencari markas jenderal Lau," kata Sian Li.
"Tetapi bukankah tujuan kita hendak mencari engkohmu si Blo'on ?"
"Ya, memang kita harus mencarinya," jawab Sian Li." anak jenderal itu berbahaya. Dia dapat merupakan musuh dalam selimut dan hal itu akan membahayakan perjuangan pasukan Beng. Soal engkoh Blo'on, kan sekalian kita dapat mencari dan menyelidiki beritanya."
"O, cici maksudkan sekali minum dua teguk bu ....... bukan ?" sela Uk Uk.
"Minum apa ?"
"Mi ..... minum arak."
Sian Li geleng2 kepala, "Hm, kakek Lo Kun telah merusak jiwa anak itu. Masa anak kok begitu doyan arak,"
Mereka lalu berangkat ke Shoa tang.
II. Ramai2 potong .....
Untuk memperlengkapi perjalanan Sian Li waktu turun gunung hendak mencari Blo'on, baiklah kami tuturkan tentang diri Wan-ong Kui.
Sebagaimana telah diceritakan dalam jilid 10, waktu Sian menuruni gunung ia mendengar suara orang merintih dari bawah jurang. Ia segera menolong orang itu. Dan orang itu tak lain adalah Wan-ong Kui yang terjatuh kedalam jurang akibat melakukan pertempuran dengan imam dari perguruan Go-bi-pay yani Hian Hian tojin.
Waktu menyaru sebagai Blo'on, Sian Li tahu siapa Wan-ong Kui yang datang bersama In Hong dan Han Bi Ing. Tetapi karena Sian Li mengenakan pakaian sebagai seorang gadis lagi, sudah tentu Wan-ong Kui tak mengenalnya. Sian Li mengaku sebagai seorang murid Kun-lun-pay yang disuruh perguruannya untuk menyampaikan pesan kepada Blo'on. Karena Blo'on tak ada maka dia hendak menyusul ke Co-ciu tempat kedudukan markas jenderal Ko Kiat.
Wan-ong Kui menyatakan hendak ikut dan Sian Lipun tak keberatan. Tetapi ketika tiba di Co-ciu ternyata pasukan jenderal Ko Kiat sudah pindah ke Ki-ciu,
Keduanya berunding. Karena Sian Li hendak tetap mencari Blo'on yang belum dapat diketahui tempatnya maka Wan-ong Kuipun tak mau menyertainya. Pikir2 lebih baik dia menuju ke Tha goan karena bukankah Han Bi Ing, In Hong dan rombongannya akan menuju ke sana? Di sana dia dapat menggabung dengan rombongan Hanm Bi Ing untuk sekalian mencari jejak Blo'on.
Dan selama melakukan perjalanan bersarama Sian Li, ia merasa nona itu bersikap dingin kepadanya. Dia tak tahu bahwa Sian Li itu adalah adik seperguruan Blo'on. Dan dia tak menyadari pula bahwa Sian Li tahu kalau dia (Wan Ong Kui) hendak mecari Blo'on itu karena bertujuan
hendak membunuhnya. Sudah tentu Sian Li tak suka kepadanya.
Wan Ong Kui merasakan baik Han Bi Ing maupun In Hong, jauh lebih ramah dan bersahabat dari sikap Sian Li. Maka setelah di Co-cu ia tak menemukan Blo'on, dia memutuskan lebih baik berpisah deagan Sian Li dan menuju ke Thay-goan sendiri.
Demikian sebabnya mengapa Sian Li hanya seoranj diri ketika dihadang anakbuah Bun Sui.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan rombongan Han Bi Ing dengan In Hong dan Kim Yu Ci. Tujuan Han Bi Iug ke kota Thay-goan itu tak lain adalah karena menerima kabar dari Ko Cay Seng bahwa ayahnya, Han Bun Liong, sedang sakit parah di Thay-goan. Ternyata menurut keterangan Ko Cay Seng, Han Bun Liong belum gugur dalam pertempuran melawan pasukan Ceng yang menyerang kota itu. Dia hanya terluka berat dan kini bersembunyi di rumah seorang sahabatnya. Tempat itu dirahasiakan agar jangan sampai digeropyok prajurit Ceng.
Sudah tentu keterangan Ko Cay Seng itu bohong. Tujuan yang penting bagi orang she Ko itu jelas hendak merebut tiga buah peti harta karun yang dibawa Han Bi Ing. Tetapi karena pandainya Ko Cay Seng merangkai cerita dan kata2 yang menyentuh hati, Han Bi Ingpun tergerak hatinya.
"Cici Ih, kurasa keterangan antek Ceng itu tentu bohong. Mengapa cici mau pulang ke Thay-goan?" pernah In Hong memberi peringatan.
Tetapi dijawab Han Bi Irg, ''Memang keterangan kaki tangan Ceng itu meragukan. Tetapi aku mempunyai pikiran lain. Dengan mengatakan berita itu, walaupun bohong tetapi paling tidak dia tentu tahu keadaan ayah. Aku kuatir ayahku telah ditawan mereka dan di jadikan sandera untuk
menekan aku supaya menyerahkan harta karun itu kepada mereka."
"Jika demikian, mengapa cici hendak ke Thay-goan? Apakah cici bermaksud hendak menyerahkan harta karun itu kepada mereka?" tanya In Hong.
"Tidak adik Hong," kata Han Bi Ing, "ayah telah memberi pesan agar harta karun itu ditaruh di tempat kediaman Kim Thian Cong tayhiap. Apabila tak mungkin supaya aku berusaha untuk menyelamatkan dan sedapat mungkin menyerahkan harta karun itu kepada kaum pejuang. Aku hendak ke Thay-goan karena aku kuatir ayah benar2 sedang dalam keadaan menderita dalam cengkeraman mereka. Soal keterangan antek Ceng itu benar atau tidak, tetapi hatiku tidak selalu dihantui oleh kecemasan saja, apabila aku sudah datang dan membuktikannya sendiri."
In Hong dapat menerima penjelasan itu. Demikian pula Kim Ya Ci. Dia tahu bagaimana perasaan seorang anak perempuan terhadap orang tuanya. Anak laki sih memang tabah saja tetapi kalau anak perempuan. Apalagi seorang gadis seperti Han Bi Ing yang sejak kecil diasuh dalam kemanjaan oleh ayahnya, tentulah keadaan ayahnya itu sangat menjadi pemikirannya.
Demikian mereka bertiga menuju ke Thay-goan. Mereka menyadari bahwa Thay-goan saat itu sangat berbahaya bagi mereka. Thay-goan sebuah kota penting di sebelah barat kotaraja Pak-khia, merupakan sebuah kota yang ramai dan besar. Perdagangan berkembang pesat, penuh dengan tempat2 hiburan yang indah.
Saat itu Thay-goan sudah diduduki oleh pasukan Ceng. Kedatangan ketiga anakmuda ke kota itu tentu akan menimbulkan perhatian kepada prajurit2 Ceng. Apalagi
Han Bi Ing adalah puteri dari Han Bun Liong, tokoh yang ternama dari kota itu. Selain kaya dan terbuka tangannya kepada setiap orang, pun Han Bun Liong juga termasyhur memiliki kepandaian yang tinggi. Dia banyak sekali mengikat persahabatan dengan kaum persilatan, baik dari golongan Hitam maupun Putih. Dan sebagai tokoh terkemuka sudah tentu dia juga bersahabat dengan walikota dan para pembesar setempat.
Perjalanan itu memang tidak mudah. Thay-goan terletak didaerah yang sudah berada dalam kekuasaan kerajaan Ceng yang saat itu sudah menduduki daerah sebelah timur utara sungai Hong-ho.
Mereka naik kuda dan hari itu setelah menyeberangi sungai Hong-ho, mereka menuju ke timur laut.
In Hong pesan beberap macam hidangan dan arak. Sambil menikmati hidangan mereka bercakap-cakap.
"Aneh mengapa orang Boan memaksa rakyat Han harus memelihara kuncir ?" kata In Hong.
"Mungkin sebagai tanda setya kepada kerajaan Ceng," kata Han Bi Ing.
"Ah, tidak," jawab In Hong, "kurasa orang Boan memang sengaja hendak menghina bangsa kita."
"Menghina bagaimana ?"
"Coba bayangkan saja orang- yang memelihara kuncir itu. Apakah mereka tidak menyerupai babi ?"
"St, jangan keras2, "Kim Yu Ci memberi peringatan seraya memandang ke bawah jalanan "tuh lihat, ada serombongan prajurit Ceng datang. Kalau mereka masuk ke rumah makan ini dapat melihat kita....."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blo'on Cari Jodoh
AcakLanjutan "Pendekar Blo'on" CELOTEH BLOON : Wah, maaf beribu maaf, pembaca yang budiman. Karena baru sekarang saya dapat nongol lagi. Tidak jemu kan melihat tampang saya? Kali ini saya diberi peran lain dari yang lain. Keblo'onan saya dikurangi sedik...