Ch. 15

104 4 0
                                    

## update-an ceritaku makin lama 😂😅😅 sorry....
Selamat membaca semuanya  😊😊 ##

*********

Dan akhirnya selama 20 menit aku merasakan sensasi ngebut di jalanan sepi itu. Bahkan ketika laju mobil mulai memelan, tubuhku masih terus gemetar. Mobil Ryan berbelok memasuki jalanan sempit yang belum beraspal. Sekelilingnya di tumbuhi beberapa pepohonan dan rumput tinggi. Awalnya terasa menyeramkan, namun saat mobil semakin melaju ke dalam, sekeliling mulai terlihat perumahan yang cukup ramai.
"A--pa di ujung jalan sini pantainya?" Gigiku bergemeretak setiap kali aku bicara. Ryan tidak menjawab dan terus melajukan mobilnya. Deru ombak mulai terdengar samar. Tak lama kemudian aku melihat sebuah bangunan mewah dengan pencahayaan terang di pesisir pantai. "Uwaaah," gumanku tanpa sadar. Bangunan yang sepertinya rumah itu terlihat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Ryan menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah itu dan menekan klakson mobilnya. Pintu gerbang pun segera di buka oleh seorang pria setengah baya. Mobil Ryan melaju memasuki halaman rumah itu dan langsung parkir di depan pintu masuk.
"Ayo turun!" Tukasnya. Aku segera mengikutinya dengan sadar.
"Apa ini vila? Punya kamu??" Tanyaku sambil berlari kecil mengikuti Ryan. Kami berjalan menuju samping rumah. Disana ada sebuah pintu yang langsung terhubung dengan pantai.
Ini pertama kalinya aku pergi ke pantai di saat subuh. Angin laut yang berhembus terasa dingin menusuk tulang, namun rasanya tidak membuatku menggigil. Aroma air laut yang asin, deburan ombak yang memecah keheningan subuh. Bahkan jika hanya berdiam diri sambil memejamkan mata, aku merasa semua bebanku terlepas. Aku merasa sangat bahagia saat itu. Segera kulepaskan sandal yang kupakai dan membenamkan kakiku ke dalan pasir. Berlari-lari kecil mengejar ombak yang menggulung ke pesisir. Tanpa aku sadari aku begitu menikmati saat itu hingga aku lupa dengan siapa aku datang. Aku berbalik dan melihat Ryan masih berdiri di posisi awalnya. Menatapku dengan tatapan yang tak begitu terlihat jelas karena sekeliling kami cukup gelap. Aku menghentikan tingkahku dan balas menatapnya. Bahkan dalam keadaan gelap aku bisa tetap melihat garis wajahnya yang sempurna. Mendadak aku merasa sangat menyesal. Orang yang saat ini berada di sampingku adalah seseorang yang berada jauh dari jangkauanku. Berada di dekatnya seolah hanya ilusi mata, karena aku bahkan tidak bisa menyentuhnya sedikitpun. Kenapa aku harus mengalami hal ini.
Angin laut yang bertiup perlahan memainkan rambutku yang terurai, menghalangi pandanganku. Aku harus segera sadar dan tidak berhayal yang aneh-aneh. Aku mencari-cari karet gelang yang selalu tersisip di saku celana atau bajuku. Saat menemukan, segera kusisir rambutku dengan jemariku agar rapi.
"Jangan ikat rambutmu," guman Ryan. Gerakanku terhenti. Aku menoleh kearah Ryan. "Aku suka melihat rambutmu tergerai. Biarkan saja," lanjutnya.
Kenapa dia harus menunjukkan sikap lembutnya kepadaku. Jika dia memang ingin membenciku, seharusnya jangan perlakukan aku seperti ini. Kalau terus begini, aku tidak akan bisa menerima kenyataan.
Perlahan kuturunkan kedua tanganku, rambutku kembali tergerai. "Jika harus membenciku, bencilah aku sampai kamu benar-benar tidak mau melihatku. Jangan bersikap lembut kepadaku!" Tukasku.
Ryan tidak mengomentari perkataanku, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan menatap lurus hamparan laut yang mulai terlihat biru. Deburan ombak yang berlomba menuju pesisir masih menjadi latar belakang suasana kami.
"Aku sangat membencimu, terlalu amat sangat!" Ujarnya tanpa beranjak dari posisinya.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali saat mendengarkan ucapan Ryan. Aku bahkan tidak sempat menghindar saat ombak mendekatiku dan membuat ujung celanaku basah. Hembusan angin yang terus memainkan rambutku dengan lembut terasa semakin memberikan sensasi dingin yang menusuk kulitku. Aku hanya memakai baju lengan panjang yang tipis, jadi angin pagi ini cukup membuat tubuhku mengidik.
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu, namun mulutku terkunci. Seorang Ryan yang hebat itu sedang menunjukkan kelemahannya di hadapanku. Untuk beberapa saat kami hanya berdiri terdiam menerima terpaan angin laut dan terus menatap garis cakrawala. Dalam diam aku sesekali menatap Ryan. Dia menunjukkan ekspresi polos yang tidak pernah dia tunjukkan saat disekolah, di rumah, bahkan saat bersama teman-temannya. Dalam ekspresi itu aku merasa dia sangat kesepian. Kakiku langsung melangkah tanpa kusadari. Selangkah demi selangkah meninggalkan jejak kaki yang langsung di hapus oleh ombak. Aku berhenti terlalu dekat di samping Ryan. Menatap sosok sempurna itu lebih dekat dari yang diijinkan.
"Selayaknya jejak kaki yang tertinggal di atas pasir basah yang langsung menghilang karena ombak yang datang, semoga perasaan yang kamu rasakan terhadapku bisa menghilang dengan cepat. Dan jika perasaan itu muncul kembali, segera acuhkan saja. Hal ini bukan hanya untukmu saja, aku mengatakannya untuk diriku juga. Karena aku tahu dengan pasti kalau mencintaimu adalah hal mustahil yang tidak memiliki akhir. Kita masih sangat muda, aku tidak ingin tersiksa seperti ini hanya karena mencintai orang yang tidak seharusnya kucintai," gumanku pelan.
Ryan menoleh menatapku, matanya memerah, "bagaimana perasaanmu padaku?" Bisiknya.
Aku tersenyum tipis, "cowok sesempurna dirimu, cewek mana yang tidak menyukaimu,"
"Bagaimana dengan cinta?"
"Aku bahkan tidak berani mengakui hal itu. Karena aku tahu dari segala hal, aku sangat tidak pantas,"
Ryan memutar tubuhku menghadapku, "kamu tahu sejak kapan aku merasakan hal ini padamu?"
"Sudah lama?"
"Sejak awal masuk sekolah. Saat kamu bersikap bodoh agar tidak ada senior yang mengincarmu saat masa orientasi. Mengikuti semua aturan, bahkan terlalu sesuai sehingga membuat dirimu terlihat terlalu baik dan tidak banyak bicara. Bertindak tanpa banyak bicara," penjelasan Ryan membuatku terkejut. Aku tidak percaya hal itu, pria sempurna ini sudah melihatku sejak awal. "Kukira kamu bertingkah seperti itu hanya agar terlindung dari hukuman dan hal bodoh lainnya. Tapi ternyata itu adalah sifat aslimu. Seorang introvert yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu,"
Aku langsung mundur perlahan, "ini tidak boleh," gumanku sambil menggeleng pelan.
"Tentu saja tidak boleh," jawabnya langsung. "Namun jika disuruh memilih antara Ruby dan dirimu, aku tidak bisa,"
"Jangan memilih, karena kamu dilahirkan bukan untuk memilih!"
Ryan langsung mendekap tubuhku kedalam pelukannya. Aku terkejut namun aku tidak ingin lepas dari pelukannya. "Meskipun aku sangat menyayangi Ruby, namun aku juga tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu," bisiknya di telingaku.
Aku terus terdiam. "Kenyataannya melampiaskan amarahku kepadamu hanya membuatku semakin tidak bisa lepas darimu,"
Ryan semakin mendesak wajahnya ke dalam rambutku. Terasa aneh karena ini pertama kalinya seseorang memelukku seperti ini, "apa yang harus aku lakukan," guman Ryan sambil mengeratkan pelukannya. Perlahan tanganku terangkat untuk memeluk punggungnya yang bidang dan hangat.
"Jangan terus membuatku berharap jika pada akhirnya kita memang tidak bisa bersama. Karena apapun yang kamu inginkan, pada akhirnya hanya aku yang terluka!" Bisikku.
Ryan terdiam beberapa saat, hembusan napasnya membuat leherku terasa panas. Dan dia langsung melepaskan pelukannya. Langit ufuk timur mulai berwarna kekuningan. Sedikit lagi matahari akan menunjukkan kuasanya.
"Aku akan melepaskanmu. Tidak akan pernah mencampuri urusanmu lagi. Namun jika sikapmu membuatku tidak bisa menahan perasaanku, tanggung resikonya sendiri," tukas Ryan sambil berbalik pergi.
Suasana romantis tadi langsung berubah, kenapa pula aku yang menderita saat dia tidak bisa menahan perasaannya. "Hey! Kamu mau pulang atau tidak!" Teriak Ryan karena aku tidak kunjung bergerak dari posisiku.
Aku langsung mengambil sendalku dan berlari menyusul Ryan. Sambil menyamakan langkahku dengan langkah Ryan, aku memikirkan betapa beruntungnya diriku karena seseorang seperti Ryan bisa menyukaiku. Sesekali kulirik wajahnya sambil tersenyum bahagia.
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, penjaga vila mengatakan bahwa mereka sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Aku merasa sedikit khawatir dengan waktu. Satu jam lagi seharusnya aku sudah siap berangkat sekolah.
"Makan saja. Jangan khawatir, akan kupastikan kamu tidak akan terlambat," ujar Ryan saat kami makan. Mungkin dia membaca ekspresi khawatirku.
Tanpa membantah lagi aku sengaja mengambil makanan sedikit dan menghabiskan dengan cepat. Terlalu cepat hingga aku tersedak. Seorang perempuan setengah bayadengan celemek pink langsung membawakan segelas air untukku.
"Pelan-pelan makannya nona," ujarnya. Aku tersenyum malu dan menegak air itu.
Setelah selesai makan, kami pun berpamitan. Saat keluar kulihat langit sudah semakin terang dan sinar matahari sudah mulai terlihat dari balik pegunungan. "Tepat waktu," bisik Ryan saat mobilnya melaju keluar. Dia menghentikan mobil dan terdiam beberapa saat memandangi momen sunrise. Cahaya keemasan dari sinar matahari pagi menyoroti wajah Ryan dan memberikan sensasi berkilau pada wajah sempurnanya itu. Segaris senyuman tipis terukir samar di sudut bibirnya.
Ternyata ada momen dimana Ryan menunjukkan senyuman tulusnya. Dan mulai tiba momen ketika aku benar-benar tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

Ready For Your Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang